Kamis, 01 November 2018

Panggilan Telepon - Roberto Bolano

Roberto Bolano yang Ingin Diperlihatkan Trubadur

Judul Buku: Panggilan Telepon
Penulis: Roberto Bolano
Penerjemah: Lutfi Mardiansyah
Penerbit: Trubadur
Tahun Terbit: 2017


Setidaknya setahun sekali nama Roberto Bolano disebutkan dalam tulisan para seleb sastra Indonesia dalam enam tahun terakhir. Setidaknya begitulah hasil gugling singkat yang saya akhiri di salah satu tulisan Eka Kurniawan di blognya. Tapi itu kan Bolano dalam pergunjingan. Bagaimana kalau kita menjumpai karyanya langsung, atau setidaknya terjemahannya? Panggilan Telepon adalah salah satu personanya di Indonesia karena novel-novel jagoannya belum pernah diterjemahkan di sini. Jadi seperti apakah karya Bolano berdasarkan kumpulan yang diterbitkan Trubadur ini?

Mula-mula kita diperkenalkan dengan Bolano yang suka mengomentari sastra dan membicarakan pengalaman literernya. Pada suatu cerita dia mengoceh tentang sastra Cili di kancah sastra berbahasa Spanyol. Pada kesempatan lain dia bicara tentang portofolionya dan semacam visinya dalam menulis. Tapi yang paling mengena bagi saya adalah cerita tentang pengalaman dia mencuri buku di Kota Meksiko. Di sini dia mengakui pengaruh Edgar Allan Poe, Albert Camus, serta sejumlah penulis Amerika Latin selagi menceritakan keluyurannya dari satu toko buku ke toko buku lain. Saya kira ini mengejawantahkan salah satu pernyataannya yang banyak dikutip, “Aku jauh lebih bahagia membaca daripada menulis.”

Kita juga diperkenalkan pada Bolano yang suka bercerita tentang perempuan. Dia bercerita tentang para perempuan yang punya kecenderungan bunuh diri tinggi, punya naluri memberontak yang tinggi tapi amat terbekap. Mereka terlibat dalam sebuah hubungan romantis jangka panjang yang putus-nyambung dan tidak pasti. Para tokoh lelakinya rela saja meladeni mereka bagaimanapun tidak jelasnya hubungan mereka.

Selain dua sisi Bolano yang amat ditonjolkan itu, kita juga diperlihatkan sisi yang cukup mengesankan walaupun tidak dominan. Kita akan menjumpai Bolano si penulis kisah fantastis yang menulis tentang nekrofilia dari sudut pandang arwah dari jasad yang disetubuhinya. Kita juga akan mendapati catatan perjalanan ke pantai dengan suasana angin sepoi-sepoi yang kentara dan lagi-lagi bertokoh seorang pecandu buku. Di sini juga kita berpapasan dengan Arturo Belano dan Ulises Lima, dua tokoh Bolano yang paling terkenal. Saya kira cerita-cerita tersebut dipilih di kumpulan cerpen ini supaya Bolano tidak mentok dianggap sebagai penulis yang kelewat suka mengomentari kancah sastra atau mengenang perempuan-perempuan depresi.

Selama membaca kumpulan cerpen ini, saya amat dibuat takjub oleh daya amat dan kepiawaian deskripsi Bolano. “Colonia Lindavista” bisa dibilang adalah deskripsi belaka tentang anggota keluarga tetangga yang mula-mula memikat narator yang anak umur belasan ketika dia susah tidur.

“Labirin” lebih dahsyat lagi. Mulanya itu hanya terdengar seperti pengamatan yang kelewatan detil atas foto sejumlah intelektual Prancis tahun 70-an (Julia Kristeva dan konco-konconya) yang sedang nongkrong. Dari mimik, gestur, sampai posisi dia bahas. Lalu dia membawa kisahnya ke semua kemungkinan yang muncul dari tampilan yang ada di foto itu. Mulai dari apa-apa yang sedang dilihat para model itu selagi mereka dipotret, perselingkuhan di antara mereka, sampai orang-orang yang mungkin mereka temui pada waktu dekat-dekat pengambilan foto itu. Para pembaca akan dibuat terkagum-kagum dengan deskripsi dan spekulasinya. Orang-orang yang belajar menulis bisa banyak mencuri jurus dari sini.

Seluruh cerpen dalam buku ini dipilah-pilih dari empat buku kumpulan tulisannya, Between Parenthesis, The Secret of Evil, The Return, dan Last Evenings on Earth. Tapi, agak keterlaluan kalau mengatakan buku ini mampu menggambarkan kecenderungan Bolano secara luas. Meskipun demikian, sebelas tulisan di sini dijamin akan membuatmu jadi makin penasaran untuk menjelajahi semesta Roberto Bolano.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar