Roberto Bolano yang Ingin Diperlihatkan Trubadur
Judul Buku: Panggilan Telepon
Penulis: Roberto Bolano
Penerjemah: Lutfi Mardiansyah
Penerbit: Trubadur
Tahun Terbit: 2017
Setidaknya setahun sekali nama Roberto Bolano disebutkan
dalam tulisan para seleb sastra Indonesia dalam enam tahun terakhir. Setidaknya
begitulah hasil gugling singkat yang saya akhiri di salah satu tulisan Eka
Kurniawan di blognya. Tapi itu kan Bolano dalam pergunjingan. Bagaimana kalau
kita menjumpai karyanya langsung, atau setidaknya terjemahannya? Panggilan Telepon adalah salah satu
personanya di Indonesia karena novel-novel jagoannya belum pernah diterjemahkan
di sini. Jadi seperti apakah karya Bolano berdasarkan kumpulan yang diterbitkan
Trubadur ini?
Mula-mula kita diperkenalkan dengan Bolano yang suka
mengomentari sastra dan membicarakan pengalaman literernya. Pada suatu cerita dia
mengoceh tentang sastra Cili di kancah sastra berbahasa Spanyol. Pada
kesempatan lain dia bicara tentang portofolionya dan semacam visinya dalam
menulis. Tapi yang paling mengena bagi saya adalah cerita tentang pengalaman
dia mencuri buku di Kota Meksiko. Di sini dia mengakui pengaruh Edgar Allan
Poe, Albert Camus, serta sejumlah penulis Amerika Latin selagi menceritakan
keluyurannya dari satu toko buku ke toko buku lain. Saya kira ini
mengejawantahkan salah satu pernyataannya yang banyak dikutip, “Aku jauh lebih
bahagia membaca daripada menulis.”
Kita juga diperkenalkan pada Bolano yang suka bercerita
tentang perempuan. Dia bercerita tentang para perempuan yang punya
kecenderungan bunuh diri tinggi, punya naluri memberontak yang tinggi tapi amat
terbekap. Mereka terlibat dalam sebuah hubungan romantis jangka panjang yang
putus-nyambung dan tidak pasti. Para tokoh lelakinya rela saja meladeni mereka
bagaimanapun tidak jelasnya hubungan mereka.
Selain dua sisi Bolano yang amat ditonjolkan itu, kita juga
diperlihatkan sisi yang cukup mengesankan walaupun tidak dominan. Kita akan
menjumpai Bolano si penulis kisah fantastis yang menulis tentang nekrofilia
dari sudut pandang arwah dari jasad yang disetubuhinya. Kita juga akan
mendapati catatan perjalanan ke pantai dengan suasana angin sepoi-sepoi yang
kentara dan lagi-lagi bertokoh seorang pecandu buku. Di sini juga kita berpapasan
dengan Arturo Belano dan Ulises Lima, dua tokoh Bolano yang paling terkenal.
Saya kira cerita-cerita tersebut dipilih di kumpulan cerpen ini supaya Bolano
tidak mentok dianggap sebagai penulis yang kelewat suka mengomentari kancah
sastra atau mengenang perempuan-perempuan depresi.
Selama membaca kumpulan cerpen ini, saya amat dibuat takjub
oleh daya amat dan kepiawaian deskripsi Bolano. “Colonia Lindavista” bisa
dibilang adalah deskripsi belaka tentang anggota keluarga tetangga yang
mula-mula memikat narator yang anak umur belasan ketika dia susah tidur.
“Labirin” lebih dahsyat lagi. Mulanya itu hanya terdengar
seperti pengamatan yang kelewatan detil atas foto sejumlah intelektual Prancis
tahun 70-an (Julia Kristeva dan konco-konconya) yang sedang nongkrong. Dari
mimik, gestur, sampai posisi dia bahas. Lalu dia membawa kisahnya ke semua
kemungkinan yang muncul dari tampilan yang ada di foto itu. Mulai dari apa-apa
yang sedang dilihat para model itu selagi mereka dipotret, perselingkuhan di
antara mereka, sampai orang-orang yang mungkin mereka temui pada waktu
dekat-dekat pengambilan foto itu. Para pembaca akan dibuat terkagum-kagum
dengan deskripsi dan spekulasinya. Orang-orang yang belajar menulis bisa banyak
mencuri jurus dari sini.
Seluruh cerpen dalam buku ini dipilah-pilih dari empat buku
kumpulan tulisannya, Between Parenthesis,
The Secret of Evil, The Return, dan Last Evenings on Earth. Tapi, agak keterlaluan kalau mengatakan
buku ini mampu menggambarkan kecenderungan Bolano secara luas. Meskipun
demikian, sebelas tulisan di sini dijamin akan membuatmu jadi makin penasaran
untuk menjelajahi semesta Roberto Bolano.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar