Kamis, 29 November 2018

Paul - Greg Mottola


Seth Rogen Berbulu Alien

Judul Film: Paul
Sutradara: Greg Mottola
Penulis Naskah: Simon Pegg & Nick Frost
Rumah Produksi: Relativity Media, Working Title Films, Big Talk Pictures, StudioCanal
Distributor: Universal Pictures
Tahun Rilis: 2011


Agak cebol dengan perut buncit, berkepala besar, bermata besar tanpa pupil. Begitulah salah satu citra alien dalam budaya populer. Alien semacam itu juga yang ditampilkan dalam Paul. Tapi dalam film yang banyak merujuk pada film-film fiksi ilmiah Steven Spielberg ini alien itu lebih terasa seperti tokoh tipikal Seth Rogen dalam film-filmnya yang lain. 

Paul, nama sang alien, adalah tukang ejek. Begitu juga sifat Seth Rogen sejak penampilan pertamanya di Freaks & Geeks. Di sana dia mengejek para anak culun bahkan teman-temannya sendiri, anak bandel. Paul meledek tingkah Clive Gollings (Nick Frost) dan Graeme Willy (Simon Pegg). Misalnya, waktu Graeme curi-curi menggambarnya. Lebih gamblang lagi ketika dia mengejek pandangan Ruth Buggs soal evolusi.

Paul adalah pemadat berat. Dia mengisap lintingan ganja dosis tinggi sepanjang film. Ketika Clive mencobanya, dia langsung klenger. Seth Rogen dikenal sebagai tukang ngegele di Hollywood. Konon dialah yang menulari sutradara Kevin Smith untuk ikut-ikutan ngegele. Di layar pun dia memerankan tokoh-tokoh tukang giting. Lihat saja Pineapple Express dan Knocked Up.

Paul itu anaknya mageran dan cerdas. Itulah sifat yang menggambarkan tokoh-tokoh yang diperankan Seth Rogen dalam banyak film maupun serial. Dalam Undeclared dia adalah otak dari anak-anak tongkrongannya. Pada salah satu episodenya dia berspekulasi di bursa saham dan mengesankan seolah bursa saham adalah permainan untuk orang-orang cerdas mageran.

Naskah Paul ditulis oleh Simon Pegg dan Nick Frost, dua pelawak yang punya gaya humor lumayan berbeda dengan Seth Rogen. Dalam aspek cerita gaya lawakan mereka terasa, khususnya dalam hal lawakan-lawakan referensial. Alur cerita Paul adalah perpaduan antara perjalanan mengantar E.T. pulang dengan potongan-potongan Close Encounters of the Third Kind. Tapi khusus untuk tokoh Paul, rasanya tokoh itu tidak ada bedanya dengan tokoh-tokoh yang ditulis Seth Rogen dalam filmnya. Seth Rogen menonjolkan persona filmnya dalam kulit Paul. Jadi bisa dibilang Paul adalah Seth Rogen berbulu alien.

Minggu, 25 November 2018

Nick and Norah's Infinite Playlist - Peter Sollett

Biar Masa Bodo dengan Plotnya Saya Masih Bisa Menikmati Film Ini


Judul Film: Nick and Norah’s Infinite Playlist
Sutradara: Peter Sollett
Penulis Naskah: Lorene Scafaria
Berdasarkan Novel Karya: Rachel Cohn & David Levithan
Pemain: Michael Cera & Kat Dennings
Rumah Produksi: Mandate Pictures
Distributor: Columbia Pictures
Tahun Rilis: 2008


Teman yang teler dan tersesat serta pentas rahasia nan mendadak sebuah band tenar. Dua hal itulah penggerak utama plot Nick and Norah’s Infinite Playlist. Tapi sejujurnya keduanya sama sekali tidak menarik. Saya tidak peduli apakah si teman maupun lokasi pentas rahasia itu akhirnya ditemukan. Tapi saya masih tetap bisa menikmati film ini karena hal-hal berikut.

Jujur saja saya betah menonton film ini karena Kat Dennings walaupun mulanya saya tertarik menonton film ini karena Michael Cera. Tapi kemudian saya merasa sudah cukup berfokus padanya setelah beberapa adegan mengesahkan bahwa Nick adalah percampuran antara tokoh yang diperankan Cera dalam Superbad, Juno, dan Scott Pilgrim. Jadi saya memerhatikan senyum Dennings yang jarang-jarang karena di sini dia memerankan perempuan yang agak sinis dan muka datar. Satu dua kali saya menyerapahi Nick karena dia terlalu tenggelam dalam perasaannya pada mantannya. Dasar kufur nikmat! Padahal dia sudah bertemu Norah yang tidak suka menonjolkan diri dan sebenarnya adalah penggemar mixtape yang dia buat untuk mantannya itu.

Satu lagi hal yang membuat saya menikmati film ini masih bagian dari unsur visual: suasana kota yang masih hidup pada malam hari. Nick dan Norah keluyuran di New York City. Betapa nikmatnya melihat restoran pinggir jalan yang masih buka larut malam. Melihat orang-orang lalu-lalang dan berkerumun di trotoar-trotoar gedung-gedung tinggi. Pergi dari satu tempat ke tempat lain berkali-kali dalam waktu sesingkat itu. Bahkan kalau perjalanan itu dilakukan di Yugo Nick yang sempit atau van The Jerk-Offs, bandnya, yang berguncang-guncang, atau bahkan naik motor. Saya membayangkan bahkan kalaupun perjalanan itu tidak diwarnai obrolan apa pun, selama pemandangannya seperti tadi, rasanya nikmat juga. Pulang pagi lalu tidur nyenyak.

Terkutuklah film yang di judulnya ada istilah “playlist” dan bercerita tentang musisi amatir yang suka bikin mixtape tapi tidak berisi lagu-lagu yang enak. Untungnya film ini terberkati. Sepanjang film kita akan menyimak lagu-lagu yang lumayan enak. Mulai dari “Boys Don’t Cry” sebagai nada sambung hape Nick sampai adegan joget merayu dilatari “You Sexy Thing” Hot Chocolate. Mulai dari lagu yang khusyuk macam “Speed of Sound” Chris Bell, yang asem manis macam “Fever” Takka Takka, sampai yang kasar macam “Riot Radio” The Dead 60s. 

Kalau boleh menambah sedikit lagi, selain tiga hal tadi, sebenarnya satu dua momen lawak di film ini cukup memancing senyum, seperti adegan hape Caroline (Ari Graynor), teman Norah yang tersesat itu, nyemplung ke jamban dan adegan dia nyerocos minta makan ke orang yang sama sekali tidak bicara di stasiun. Makanya bisa dibilang equalizer Nick and Norah’s Infinite Playlist adalah plot diputar ke nyaris nol, lawak lumayan, visual dan suara cukup tinggi.

Kamis, 22 November 2018

Aroma Karsa - Dewi Lestari


Aku Jadi Begini Gara-Gara Aroma Karsa

Judul Buku: Aroma Karsa
Penulis: Dewi Lestari
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Terbit: 2018

Novel terbaru Dewi Lestari tentang pencarian tanaman bertuah oleh nenek-nenek batu yang mengibuli pemuda-pemudi polos ini amat menyihir. Ketika saya membacanya, tahu-tahu berjam-jam telah lewat begitu saja. Dan tak tahulah orang lain bagaimana. Tapi yang pasti saya jadi mengalami gejala-gejala di luar kebiasaan gara-gara membaca Aroma Karsa. Makanya saya akan menuliskan gejala-gejala itu di sini sebelum daya Aroma Karsa melumpuhkan ingatanku. *nyanyi*

Yang pertama-tama terasa adalah saya jadi sok-sokan mengkhusyukkan diri ketika menghirup aroma. Semua ini gara-gara Jati Wesi si Hidung Tikus, si pemuda polos tadi, yang sedikit-sedikit membedakan bau-bau yang diciumnya. Dengan penuh penghayatan dia mempereteli dan—ini yang lebih penting—mendefinisikan bebauan dari benda harum semacam parfum di Attarwalla sampai benda tengik semacam bangkai bayi di Bantar Gebang. Dalam adegan bercinta yang pemanasannya digambarkan amat sensual, Jati bahkan menggunakan penciumannya untuk memandu hidungnya menyusuri tubuh lawan mainnya. Bagaimana tidak saya jadi ikut-ikutan sok khusyuk mencium aroma kalau bahkan untuk menghibur dirinya Jati berusaha mencium aroma-aroma terjauh yang bisa dicapainya? Tapi apa daya saya bukan Jati yang penciumannya tajam. Aroma kuat yang bisa saya tangkap paling-paling aroma masakan terdekat atau bau kentut orang.

Setelah membaca Aroma Karsa, tiap kali mendengar bapak-bapak dengan dandanan agak lusuh ngomong Bahasa Jawa saya jadi menyangka dia berasal dari dunia lain dan omongannya adalah petunjuk dari suatu teka-teki besar. Tiap kali begitu saya, sebagai orang yang tidak berbahasa Jawa, merasa sedang berhadapan dengan Anung Linglung yang kata-katanya mengandung petunjuk tentang rahasia Jati Wesi dan Aroma Karsa. Pada gilirannya hal ini membuat saya jadi ingin belajar Bahasa Jawa Kuno juga soalnya supaya mengerti teka-teki besar tadi. Saya jadi menyangka salah satu fungsi Aroma Karsa adalah juru kampanye jurusan Sastra Jawa atau Filologi, khususnya jurusan Sastra Jawa UI.

Meskipun ekspedisi tim Jati ke Gunung Lawu berakhir tidak begitu bagus, tetap saja saya jadi membayangkan ekspedisi atau setidaknya pendakian gunung yang seru kalau saya punya teman tentara, arkeolog, dan ahli botani. Dari si tentara mungkin saya akan belajar ilmu sintas atau setidaknya minta tolong selundupkan ransum yang enak itu. Nanti saya akan todong si ahli botani untuk mengoceh terus-terusan tentang tetumbuhan yang ada di sepanjang pendakian. Pada si arkeolog saya akan bertanya tentang cerita-cerita prasejarah seputar jalan yang kami tempuh. Mungkin perjalanan itu tidak akan terjadi sekarang. Tapi kalau sejak sekarang saya banyak nongkrong dengan anak akmil, anak sejarah, dan anak pertanian, sepuluh tahun lagi hal itu akan terwujud. Ah, tapi tidakkah kamu mencium aroma itu? Aroma gunung yang memanggil-manggil untuk didaki!

Dari dalam diri saya meletup-letup suatu dorongan untuk mencuri. Tapi bukan sembarang mencuri. Yang ingin saya curi adalah pusaka bertuah yang tersembunyi di kraton tradisional (maksudnya yang semacam kraton Jogja) atau kraton modern (maksudnya semacam Istana Presiden). Konon kan pembesar-pembesar negeri ini punya pusaka-pusaka bertuah. Soekarno saja konon katanya lho ya punya emas batang berkilo-kilo. Dengan pusaka bertuah semacam itu pastilah saya bisa lebih mudah memanjat tangga sosial sebagaimana Janirah. Kalau dia yang mencuri ekstrak Aroma Karsa saja bisa sampai sukses sehingga keturunannya punya Kemala, perusahaan kosmetik terbesar, bagaimana dengan saya? Mungkin saya bisa jadi raja Nusantara dengan slogan “Kalau kemahsyuran tidak bisa kudapatkan dengan jalan biasa, aku akan mencurinya.”

Terakhir, dan inilah yang paling bikin parno sebenarnya. Saya merasa hidup saya selama ini hanyalah kebohongan belaka. Dan orang-orang di sekitar sebenarnya merancang kebohongan itu untuk menjauhkan saya dari kebenaran tentang diri saya yang sejati. Mereka bilang waktu saya lahir beginilah, waktu saya kecil begitulah, dan seterusnya padahal itu bohong belaka, padahal saya adalah makhluk super yang punya kekuatan melompat ke sana ke mari secepat kilat seperti Wong Banaspati. Eh tapi kalau dipikir-pikir, tanpa Aroma Karsa juga kok sepertinya dunia menjauhkan kita dari menjadi diri sejati kita ya. Jangan-jangan... *kemudian tersadar dan membelalak*

Setelah menuliskan semua ini kok saya justru merasa pengaruh Aroma Karsa makin kuat ya. Astaga! Ini bertolak belakang dengan apa yang saya bayangkan ketika memulai tulisan ini. Tapi untungnya saya jadi bertanya-tanya apakah gejala ini terjadi pada saya belaka, ataukah memang begitulah efek membaca Aroma Karsa. Kalau memang begitu, marilah para pembaca Aroma Karsa kita tuntut Dewi Lestari karena telah menciptakan kitab bertuah pelet semacam ini.

Kamis, 15 November 2018

Letter Quest Grimm's Journey Remastered - Bacon Bandit Games


Kalau Scrabble Kawin dengan Anak Pak RPG dan Bu Kartun

Judul Gim: Letter Quest: Grimm’s Journey Remastered
Pengembang: Bacon Bandit Games
Penerbit: Digerati Distribution
Tahun Rilis: 2015


Kata selalu menarik untuk dipermainkan. Mulai dari plesetan, bersilat lidah, sampai permainan kata yang dikategorikan “gim”. Scrabble, salah satu dedengkot gim kata, melahirkan penerus yang amat bikin candu. Namanya Letter Quest: Grimm’s Journey Remastered. Dia lahir dari perjodohan antara scrabble dengan anak RPG dan kartun. Mari kita telanjangi anak itu!

Sangat kentara mekanisme scrabble dalam Letter Quest. Kita diberi sekumpulan huruf acak. Kita harus menyusunnya menjadi kata Bahasa Inggris untuk mendapat poin. Bedanya, dalam gim ini, poin tadi diakumulasikan jadi kekuatan untuk memukul lawan yang berwujud roh ikan dan manusia, zombi, kelinci kekar nan jahat, sampai manusia seri(ng)gala(u). Mereka menghadang kita sang malaikat pencabut nyawa yang jalan ngebet ke restoran piza. Ceritanya memang agak nonsens. Tapi desain visualnya amat imut, mengingatkan pada desain kartun-kartun Amerika. Dan yang lebih penting, mekanisme scrabble tadi dikembangkan sedemikian rupa sehingga perhatian kita akan terus tersedot sampai tamat.

Musuh memiliki jumlah darah yang beragam. Jadi kekalahan musuh bergantung pada jumlah darahnya dan poin yang kita hasilkan dari kombinasi huruf-huruf tadi. Selain itu, darah kita juga terbatas. Jadi kita harus lebih dulu mengalahkan mereka selama gantian saling serang. Belum lagi kalau kita bermain dalam mode yang kalau kata Iwan Fals, “izrail sekecil itu berkelahi dengan waktu” yang memberikan lebih banyak duit. Kita bukan hanya dituntut untuk mengalahkan musuh, melainkan juga harus membasminya sebelum batas waktu tertentu.

Tapi itu belum apa-apa. Sejumlah musuh memiliki keahlian tertentu yang mempersulit perjuangan kita. Ada musuh (biasanya para panglima) yang hanya bisa dilukai dengan kata-kata tertentu, seperti kata yang mengandung huruf ‘t’ dan ‘s’, serta yang diawali dengan huruf ‘o’. Kalau kata-katamu tidak memenuhi syarat itu, seranganmu percuma saja. Dalam mode yang lebih menantang dan hadiahnya lebih menggiurkan, para kroco sekalipun memiliki kemampuan semacam itu. Bahkan syarat ngelmu saja lebih mudah daripada itu.

Belum lagi kalau mereka punya kutukan yang mengacak-acak huruf-huruf kita. Soalnya ada musuh yang bisa menimbulkan efek menyebalkan pada huruf-huruf kita: menjadikannya beracun, terus dikocok tiap ganti giliran, retak sehingga tidak mengandung daya serang sama sekali, membatu sehingga tidak bisa dipakai, sampai mengubahnya menjadi tamu yang tak dikehendaki. Bayangkan saja. Sudah capek-capek membayangkan kata 9 huruf berpoin besar, seperti ‘confusion’. Eh tahu-tahu si kunyuk itu mengubah empat huruf menjadi ‘x’ yang notabene jarang ada dalam perbendaharaan kata saya yang bahasa pertamanya bukan Bahasa Inggris. Kan sialan.

Untungnya fitur-fitur RPG mempersakti kita sepanjang petualangan mencari piza suci ini. Kita bisa menambah darah dan mempertebal jubah sehingga makin tahan banting, menajamkan arit bahkan menggantinya dengan arit yang punya keistimewaan tertentu, sampai memperbanyak kantong untuk membawa jamu. Ya kita bisa membeli jamu penambah darah maupun jamu penangkal kutukan huruf. Ada juga barang-barang khusus yang banyak faedahnya, seperti melipatgandakan daya serang kata-kata yang berhuruf tertentu atau memperbesar kemungkinan mendapatkan durian runtuh berupa ramuan-ramuan ajaib.

Demikianlah anak yang dibidani Bacon Bandit Games ini mengunci perhatian kita selama lebih dari 30 babak dalam kurang lebih 4 jam. Dan begitu tiba di akhir permainan kita jadi merasa lebih percaya diri (bahkan mungkin sedikit jumawa) dengan perbendaharaan kata Bahasa Inggris kita padahal bisa jadi di sepanjang permainan kita sembarang saja menyusun huruf-huruf itu. Begitulah cara permainan membuat orang merasa lebih baik.

Minggu, 11 November 2018

This Is The End - Seth Rogen & Evan Goldberg


Pesta Pora lalu Kiamat adalah Perubahan Atmosfer yang Drastis

Judul Film: This Is the End
Sutradara: Seth Rogen & Evan Goldberg
Pemain: Seth Rogen, Jay Baruchel, James Franco, Jonah Hill, Danny McBride, Craig Robinson
Rumah Produksi: Mandate Pictures, Point Grey Pictures
Distributor: Columbia Pictures
Tahun Rilis: 2013

Kalau menyukai karya seorang seniman, saya cenderung penasaran dengan karya-karya lain seniman itu. Menurut saya, betapa menghiburnya Superbad yang naskahnya ditulis Seth Rogen & Evan Goldberg sehingga saya berkali-kali menontonnya. Baik itu menyaksikannya dari awal maupun dari tengah-tengah dan dilewat-lewat. Makanya saya mencicipi film debut mereka sebagai sutradara, This Is the End.

Jujur saja, walaupun dibintangi sejumlah nama besar di Hollywood, film ini tidak segreget Superbad. Barangkali gara-gara gagasan dasarnya kelewat fantastis sementara penggarapannya kurang kolosal: para bintang Hollywood yang memerankan dirinya sendiri dalam versi yang kadang kelewatan, harus menghadapi semacam hari kiamat. Meskipun demikian, ada hal yang membuat film ini menang dari Superbad. Dan saya amat menikmatinya. Hal itu adalah lompatan-lompatan atmosfernya.

Atmosfer pertama yang menjadi titik tolak film ini adalah pesta pora. Sebab setelahnya semuanya berubah sama sekali. James Franco mengadakan pesta untuk merayakan rumah barunya di Los Angeles. Para seleb Hollywood, termasuk Michael Cera yang bersikap amat bertolak belakang dengan personanya selama ini, membanjiri pesta itu. Bagian ini menampilkan adegan pesta rumahan ala Hollywood: penuh zat memabukkan, sesak oleh suara musik, obrolan, dan tindakan-tindakan gila para pecandu pesta. Meskipun tidak persis terjadi pada sekuen pesta itu, adegan James Franco meludeskan seluruh sisa persediaan bahan maboknya menggambarkan benar gegap gempita itu. Dengan gerak lambat dalam polesan warna neon ala diskotik dan diiringi “Gangnam Style”, semua kegilaan itu menjadi amat gemilang. Satu lagi unsur tipikal adegan pesta Hollywood: orang yang merasa amat terpencil di tengah keramaian pesta itu. Dalam hal ini, orang itu adalah Jay Baruchel.

Selanjutnya, atmosfer mencekam ala-ala film sintas di tempat terpencil dengan sumber daya makin menipis. Tempat terpencil itu adalah (lagi-lagi) rumah James Franco yang agaknya menjadi latar sebagian besar film ini. Serangkaian kejadian yang menyerupai kiamat mengubah atmosfernya dari tempat pesta menjadi tempat terpencil. Meskipun para tokoh memilih tinggal di sana karena menganggapnya paling aman, tempat itu justru jadi ladang ketegangan dengan pencahayaan temaramnya. Makanan yang menipis memperburuk keadaan. Para penyintas saling berahasia. Dan rahasia itu bukan rahasia yang bagus. Konflik antartokoh itu akhirnya meledak karena tindakan-tindakan Danny McBridge sang pengacau suasana: menghamburkan persediaan seenak jidat, berbicara sembarangan, dstml. alias dan serangkaian tindakan menyebalkan lainnya. Oya, pada bagian ini ada satu momen mencekam yang dipelintir sehingga jadinya amat kocak, yakni adegan penghormatan pada The Exorcist dan komentar yang amat sadar atas tindakan itu.

Lalu, atmosfer kiamat itu sendiri. Serangkaian peristiwa dahsyat yang menggoncang suasana dalam film ini mengikuti pakem film tentang kiamat. Bumi belah-belah dan memuncratkan api dan menelan orang-orang. Makhluk-makhluk yang tampaknya terbuat dari api bergentayangan mengusik ketentraman. Bahkan pada mulanya kabut panas menutupi pandangan di luar rumah. Rasanya neraka pindah ke bumi. Yang kemudian menjadi kocak adalah cara orang-orang baik diselamatkan dan dinaikkan ke surga. Mereka ditarik ke langit oleh suatu cahaya seperti cahaya dalam film UFO. Dan itu memakan waktu. James Franco yang ditarik ke langit setelah mengorbankan dirinya demi teman-temannya justru dijatuhkan lagi ke bumi karena dia mengolok-olok orang selama proses penarikannya itu.

Peristiwa yang seperti kiamat itu ternyata bukan akhir dunia. Sebab, masih ada orang yang hidup setelahnya. Meskipun demikian, atmosfernya seperti film pos-apokalips semacam Mad Max atau Tinju Bintang Utara. Manusia menjadi kanibal lengkap dengan dandanan berjaket kulit berduri-duri dan bertopeng. Tidak lupa mobil gedenya, bangunan-bangunan roboh, dan puing-puing yang terbakar. Walaupun tidak se-pos-apokalips film-film kanonnya, atmosfer pos-apokalips dalam film ini sama menonjolnya dengan dua atmosfer sehingga sehingga tidak mungkin saya lewatkan.

Permulaan film ini berisi adegan-adegan yang mengisyaratkan bahwa hubungan pertemanan Jay Baruchel dan Seth Rogen adalah unsur penting. Tapi barangkali Seth Rogen dan Evan Goldberg merasa sudah beres berurusan dengan tema “hubungan dua sahabat” pada Superbad. Jadilah masalah yang digarap secara kurang mengesankan itu sebuah kecohan untuk menghanyutkan kita ke dalam atmosfer-atmosfer yang hiperbola itu. Dan kali ini saya menggunakan istilah hiperbola untuk pengertian yang positif.