Kamis, 22 November 2018

Aroma Karsa - Dewi Lestari


Aku Jadi Begini Gara-Gara Aroma Karsa

Judul Buku: Aroma Karsa
Penulis: Dewi Lestari
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Terbit: 2018

Novel terbaru Dewi Lestari tentang pencarian tanaman bertuah oleh nenek-nenek batu yang mengibuli pemuda-pemudi polos ini amat menyihir. Ketika saya membacanya, tahu-tahu berjam-jam telah lewat begitu saja. Dan tak tahulah orang lain bagaimana. Tapi yang pasti saya jadi mengalami gejala-gejala di luar kebiasaan gara-gara membaca Aroma Karsa. Makanya saya akan menuliskan gejala-gejala itu di sini sebelum daya Aroma Karsa melumpuhkan ingatanku. *nyanyi*

Yang pertama-tama terasa adalah saya jadi sok-sokan mengkhusyukkan diri ketika menghirup aroma. Semua ini gara-gara Jati Wesi si Hidung Tikus, si pemuda polos tadi, yang sedikit-sedikit membedakan bau-bau yang diciumnya. Dengan penuh penghayatan dia mempereteli dan—ini yang lebih penting—mendefinisikan bebauan dari benda harum semacam parfum di Attarwalla sampai benda tengik semacam bangkai bayi di Bantar Gebang. Dalam adegan bercinta yang pemanasannya digambarkan amat sensual, Jati bahkan menggunakan penciumannya untuk memandu hidungnya menyusuri tubuh lawan mainnya. Bagaimana tidak saya jadi ikut-ikutan sok khusyuk mencium aroma kalau bahkan untuk menghibur dirinya Jati berusaha mencium aroma-aroma terjauh yang bisa dicapainya? Tapi apa daya saya bukan Jati yang penciumannya tajam. Aroma kuat yang bisa saya tangkap paling-paling aroma masakan terdekat atau bau kentut orang.

Setelah membaca Aroma Karsa, tiap kali mendengar bapak-bapak dengan dandanan agak lusuh ngomong Bahasa Jawa saya jadi menyangka dia berasal dari dunia lain dan omongannya adalah petunjuk dari suatu teka-teki besar. Tiap kali begitu saya, sebagai orang yang tidak berbahasa Jawa, merasa sedang berhadapan dengan Anung Linglung yang kata-katanya mengandung petunjuk tentang rahasia Jati Wesi dan Aroma Karsa. Pada gilirannya hal ini membuat saya jadi ingin belajar Bahasa Jawa Kuno juga soalnya supaya mengerti teka-teki besar tadi. Saya jadi menyangka salah satu fungsi Aroma Karsa adalah juru kampanye jurusan Sastra Jawa atau Filologi, khususnya jurusan Sastra Jawa UI.

Meskipun ekspedisi tim Jati ke Gunung Lawu berakhir tidak begitu bagus, tetap saja saya jadi membayangkan ekspedisi atau setidaknya pendakian gunung yang seru kalau saya punya teman tentara, arkeolog, dan ahli botani. Dari si tentara mungkin saya akan belajar ilmu sintas atau setidaknya minta tolong selundupkan ransum yang enak itu. Nanti saya akan todong si ahli botani untuk mengoceh terus-terusan tentang tetumbuhan yang ada di sepanjang pendakian. Pada si arkeolog saya akan bertanya tentang cerita-cerita prasejarah seputar jalan yang kami tempuh. Mungkin perjalanan itu tidak akan terjadi sekarang. Tapi kalau sejak sekarang saya banyak nongkrong dengan anak akmil, anak sejarah, dan anak pertanian, sepuluh tahun lagi hal itu akan terwujud. Ah, tapi tidakkah kamu mencium aroma itu? Aroma gunung yang memanggil-manggil untuk didaki!

Dari dalam diri saya meletup-letup suatu dorongan untuk mencuri. Tapi bukan sembarang mencuri. Yang ingin saya curi adalah pusaka bertuah yang tersembunyi di kraton tradisional (maksudnya yang semacam kraton Jogja) atau kraton modern (maksudnya semacam Istana Presiden). Konon kan pembesar-pembesar negeri ini punya pusaka-pusaka bertuah. Soekarno saja konon katanya lho ya punya emas batang berkilo-kilo. Dengan pusaka bertuah semacam itu pastilah saya bisa lebih mudah memanjat tangga sosial sebagaimana Janirah. Kalau dia yang mencuri ekstrak Aroma Karsa saja bisa sampai sukses sehingga keturunannya punya Kemala, perusahaan kosmetik terbesar, bagaimana dengan saya? Mungkin saya bisa jadi raja Nusantara dengan slogan “Kalau kemahsyuran tidak bisa kudapatkan dengan jalan biasa, aku akan mencurinya.”

Terakhir, dan inilah yang paling bikin parno sebenarnya. Saya merasa hidup saya selama ini hanyalah kebohongan belaka. Dan orang-orang di sekitar sebenarnya merancang kebohongan itu untuk menjauhkan saya dari kebenaran tentang diri saya yang sejati. Mereka bilang waktu saya lahir beginilah, waktu saya kecil begitulah, dan seterusnya padahal itu bohong belaka, padahal saya adalah makhluk super yang punya kekuatan melompat ke sana ke mari secepat kilat seperti Wong Banaspati. Eh tapi kalau dipikir-pikir, tanpa Aroma Karsa juga kok sepertinya dunia menjauhkan kita dari menjadi diri sejati kita ya. Jangan-jangan... *kemudian tersadar dan membelalak*

Setelah menuliskan semua ini kok saya justru merasa pengaruh Aroma Karsa makin kuat ya. Astaga! Ini bertolak belakang dengan apa yang saya bayangkan ketika memulai tulisan ini. Tapi untungnya saya jadi bertanya-tanya apakah gejala ini terjadi pada saya belaka, ataukah memang begitulah efek membaca Aroma Karsa. Kalau memang begitu, marilah para pembaca Aroma Karsa kita tuntut Dewi Lestari karena telah menciptakan kitab bertuah pelet semacam ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar