Sabtu, 25 Februari 2017

September - Noorca M. Massardi


Judul Buku
:
September
Penulis
:
Noorca M. Massardi
Penerbit
:
Tiga Serangkai
Tahun Terbit
:
(Pertama kali terbit tahun 2006. Yang saya baca adalah versi PDF
yang tidak mencantumkan keterangan tahun terbit dan penerbit)




September berisi petualangan ajaib seseorang yang sedang dalam keadaan terpuruk ke kehidupan pribadi orang-orang media dan peristiwa kudeta  politik yang tidak mungkin tidak berasosiasi dengan peristiwa politik di Indonesia walaupun latarnya diburamkan.

Peristiwa politik yang berasosiasi dengan buku ini adalah Gestapu. Tapi, asosiasi itu sengaja diburamkan dengan beberapa cara. Nama kota diganti dengan nama julukannya. Jakarta disebut Ibukota, Bandung disebut Kota Bunga, Bogor disebut Kota Talas, dst.. Nama lembaga diplesetkan. Resimen Cakrabirawa diganti menjadi Resimen Kresnobirowo, ABRI diganti menjadi Angkatan Perang, PKI diganti menjadi Parki, dst.. Nama orang diplesetkan atau dianagramkan. Soekarno jadi Soekresno, Soeharto jadi Theo Rosa, Ahmad Yani jadi Mahya Nida, AH Nasution jadi Tasnio Hanu, DN Aidit jadi Ditia Nusadipa, dst.. Keterangan tentang Gestapu juga diplesetkan. Istilah itu mengacu pada Gerakan September Tiga Puluh. Tapi, dalam buku ini peristiwa itu terjadi antara tanggal 10 dan 11 September sehingga namanya adalah Gestapul, Gerakan September Sepuluh. 

Dalam kaitannya dengan pemlesetan itu, muncul tokoh dan lembaga yang berkaitan dengan demonstrasi ’66 dan ’98. Disebut Partai Republik Demokratis yang mengingatkan kita dengan Partai Rakyat Demokratis. Ada Moreni, seorang aktivis HAM, yang jika dianagramkan, menjadi Moenir. Selain itu, ada Mubandi Soemodjakti alias Budiman Soedjatmiko. Dalam adegan demo itu ada seorang mahasiswa Institut Pertanian Beragama (IPB) yang menulis puisi. Namanya Fatiqu Salimi. Siapa lagi kalau bukan Taufiq Ismail. Tentu demo ’66 dan ’98 mengandung unsur historisnya masing-masing. Secara permukaan pun sasaran demonya jelas bukan pihak yang sama. Tapi, pembaurannya ke dalam satu adegan demo menguak suatu dimensi peristiwa semacam itu. Dalam kaitannya dengan protes terhadap ketidakadilan, secara simbolis demo ’98 adalah semacam penerus demo ’66. Kalau melihat dampak adegan itu, demo ’98 seakan menuntaskan apa yang belum tuntas oleh demo ’66. 

Meskipun demikian, kalau dilihat dari sisi lain, tampak juga sisi borok demo semacam itu. Misalnya, tengok saja bagaimana buku ini berargumen bahwa Arief Rahman Hakim, yang dalam buku ini bernama Farie Harman Hikam, sekadar simbol yang sengaja dibuat belaka. Bahwa sebenarnya orang yang bernama Farie Harman Hikam itu tidak ada. Yang ada sebenarnya adalah mayat berdarah seorang gelandangan bernama Farie yang kebetulan diselubungi jaket almamater yang bertanda milik Hikam, dan dia bukan mati karena ditembak Angkatan Darat. Di balik demo-demo semacam itu terdapat rekayasa-rekayasa tertentu.

Anakronisme dalam buku ini bukan hanya pembauran dua demo tadi. Kehadiran telepon, komputer, dan internet adalah anakronisme lainnya. Tapi, kehadirannya bukan tanpa alasan, bahkan dalam kasus ini keberadaannya menjadi sangat berarti. Bersama dengan penggunaan tokoh yang berprofesi sebagai awak media sebagai tokoh utama, dan dengan demikian kerja-kerja media sebagai upaya untuk membantu Presiden Soekresno menangkal propaganda-propaganda Theo Rosa dan kroni-kroninya, media informasi menjadi kata kunci dalam pertarungan tersebut. Peristiwa fisik, seperti peperangan atau pembantaian, disebabkan, diakibatkan, disangkal, dibenarkan lewat media informasi. Barangsiapa yang memegang kendali atas sarana informasi dialah yang menguasai pengetahuan dan, pada gilirannya, kebenaran.

Sehubungan dengan Gestapu, lewat investigasi dan diskusi panjang lebar tokoh-tokohnya dalam beberapa kesempatan buku ini membuat beberapa argumentasi. Citra politis Indonesia di mata Amerika dan bloknya saat itu dinilai condong ke kubu komunis. Hal ini ditunjukkan dengan sikap konfrontatif Soekarno terhadap Malaysia, kedekatannya dengan PKI, bantuan senjata Cina pada Angkatan Udara, dan pembicaraan tentang Angkatan Kelima antara Cina dan Indonesia, beberapa hal yang dimunculkan dalam buku ini. Dalam pada itu, keadaan ABRI, khususnya Angkatan Darat, sedang bergejolak. Posisi-posisi panglima sedang menjadi kursi panas. Berlatarkan faktor pribadi dan profesional, Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad hendak menyingkirkan lawannya. CIA menilai keadaan ini sebagai celah untuk sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Maka, lembaga itu menyokong rencana Soeharto dan bekerja sama dengan beberapa politisi yang pro-Amerika. Ahmad Yani yang dianggap sebagai kesayangan Soekarno menjadi salah satu orang yang disingkirkan. Angkatan Udara dan PKI yang punya kedekatan dengan Soekarno pertama-tama dicitrakan buruk. Mereka dicitrakan sebagai dalang kudeta G-30-S/PKI. Lokasi-lokasi yang berkaitan dengan kegiatan mereka dikait-kaitkan dengan peristiwa itu. Lalu, di tengah masa pembekuan media secara janggal koran PKI dibiarkan terbit dan bersikap mendukung gerakan itu, suatu hal yang dianggap sebagai rekayasa kubu Soeharto oleh buku ini. Dengan demikian, dibenarkanlah pembantaian terhadap orang-orang yang dianggap berafiliasi dengan PKI, suatu hal yang diumpamakan sebagai sodomi mendadak terhadap orang sipil oleh militer –sebagaimana beberapa adegan lain dalam buku ini, adegan ini sangat impresif! 

Berlainan dengan sumber ilhamnya di dunia nyata, dalam buku ini kisah ini berakhir sangat bahagia banget. Theo Rosa yang mengundurkan diri dari jabatannya setelah demo besar-besaran dan diadili itu, bunuh diri secara langsung di hadapan kamera yang merekam pengumumannya. Soekresno tetap menjabat sebagai Presiden dan menyukur-nyukuri Theo Rosa. Ada kesamaan motif antara adegan-adegan yang kontras dengan sumber ilhamnya ini dan kehidupan Darius, tokoh yang memandu pembaca menyaksikan seluruh peristiwa dalam buku ini: hasrat untuk mengubah hidup. Awalnya, Darius terpuruk karena menjadi pengangguran setelah pabrik kecap tempatnya bekerja dinyatakan pailit. Keterpurukan itu secara ajaib membawanya masuk ke dalam dunia yang ajaib tadi lewat rasuk-merasuki tokoh lain, dari awak media, selebritis, ajudan, sampai presiden. Setelah menyaksikan akhir bahagia dalam dunia ajaib itu, mendadak dia kembali ke dunianya. Saat kembali itulah dia mendapatkan rejeki nomplok yang secara mengherankan berkaitan dengan dunia ajaib yang ditualanginya. Darius menjadi perumpamaan kebanyakan orang Indonesia yang menerima hidupnya begitu saja tanpa merenungkannya. Tanpa adanya perenungan tidak akan ada kesadaran sejarah. Selain mengubah nasibnya sendiri, campur tangan Darius pada kejadian-kejadian ajaib yang disaksikannya mengubah sejarah, mengubah nasib banyak orang. Dalam konteks Gestapu, kalau saja Soeharto diadili, sebagaimana yang dibayangkan buku ini, akan ada banyak orang yang nasibnya berubah sedrastis hidup Darius. Untuk mencapai perubahan nasib, diperlukan campur tangan yang tidak sedikit.

September adalah suatu pengandaian tentang nasib yang jauh lebih baik apabila hal-hal yang berkaitan dengan Gestapu diselesaikan, yang didasarkan pada serangkaian analisis. Bersamaan dengan itu, penggaliannya mengantarkan kita pada perenungan skeptis tentang media dan kebenaran.

Kamis, 23 Februari 2017

Hikayat Putri Penelope - Idrus


Judul Buku
:
Hikayat Putri Penelope
Penulis
:
Idrus
Penerbit
:
Balai Pustaka
Tahun Terbit
:
2011 (terbit pertama kali tahun 1973)




Hikayat Putri Penelope berisi upaya pencarian jodoh bagi putri mahkota kerajaan Australia, kehebohan tentang suku Aborigin dan imigran di negeri itu, dan persaingan dua kubu dalam suatu pemilu.

Urusan jodoh Putri Penelope yang sudah berusia 21 tahun dan beberapa tahun lagi mewarisi tahta Raja Adrian II adalah sesuatu yang menjadi perhatian banyak kalangan. Masalahnya, dalam kedudukannya sebagai lambang suatu bangsa, penampilan fisiknya, suatu hal yang dianggap sebagai lambang identitas, berada di bawah standar orang kulit putih. Dia cantik tapi dia kontet. Koran-koran bahkan secara tidak langsung pesimis soal keberhasilan usaha pencarian jodohnya. Kedudukannya inilah yang justru menjadi penghambat pencarian jodohnya. Kalau saja dia orang kulit putih biasa, tidak terlalu sulit dia mendapatkan jodoh, sebagaimana yang dialami oleh gadis-gadis kulit putih yang mendapatkan jodoh dalam pertemuan-pertemuan Organisasi Gelap Pembela Mahasiswa Asia. Oleh karena itu, raja menitahi Sir Alexander dan Tuan Wheat untuk mencarikan jodoh baginya.

Kehebohan muncul setelah penerbitan beberapa tulisan yang berpandangan miring tentang imigran yang datang ke Australia. Katanya, kehadiran kaum imigran yang oportunis itu justru mengurangi kesempatan warga Australia untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Selain itu, karena perbedaan budaya, mereka sulit untuk berasimilasi dengan budaya Australia, suatu hal yang mengurangi rasa memiliki mereka atas Australia. Dalam pada itu, ada beberapa negara yang disebut secara tersurat. Budaya poligami negara Islam, seperti Turki dan Pakistan, dan budaya kebersihan mereka dianggap tidak sesuai dengan budaya Australia. Seorang jago tua partai oposisi yang berhaluan sosialis secara mengejutkan malah mendukung pandangan antimigran itu, walaupun dia membuat kekecualian bagi orang Cina. Di sisi lain, muncul pelbagai aksi massa yang dilakukan oleh orang Aborigin, bahkan  di beberapa tempat sempat terjadi bentrok fisik antara mereka dan polisi. Bersamaan dengan itu, terbit suatu penelitian yang menyatakan bahwa selama ini sejarah tentang Australia yang diajarkan seolah-olah menganggap bahwa sebelum orang-orang kulit putih datang tanah yang mereka tempati sekarang adalah suatu yang kosong, tanpa kehadiran orang Aborigin. Timbullah kesan bahwa orang kulit putih sok-sokan menganggap diri sebagai pribumi Australia yang merasa diancam imigran padahal mereka sendiri adalah imigran yang mendikreditkan orang Aborigin.

Ada dua partai yang perseteruannya berpuncak pada pemilu. Yang pertama adalah partai penguasa yang salah satu tokohnya adalah Sir Alexander, perdana menteri Australia. Sebagaimana penguasa menjadi lambang mayoritas warganya, pandangan partai ini sejalan dengan mayoritas warganya. Rasa superior kulit putih, misalnya, tampak dalam kecurigaan mereka tentang pemanfaatan aksi orang Aborigin oleh kalangan oposisi, dan harapan seorang perempuan agar anaknya dari pernikahannya dengan lelaki bernama Zaini kelak memiliki kulit yang tidak segelap bapaknya dan ikut menjadi Kristen. Yang kedua adalah partai oposisi yang berkecenderungan sosialis dan mendambakan suatu sistem republik. Tuan Wheat, seorang mantan perdana menteri yang sosialis moderat dan teman kuliah raja, adalah tokoh partai ini. Dalam pidato kampanye pemilu, dia mengeritik penilaian pemerintah tentang ketidakmampuan Papua New Guinea untuk mandiri secara pemerintahan, dan mendukung pemberian hak tanah pada orang Aborigin. 

Dalam mencarikan jodoh bagi Putri Penelope, Tuan Wheat dan Sir Alexander dipengaruhi oleh pandangan dunia yang diejawantahkan oleh partainya. Sir Alexander yang putus asa mencari calon menantu raja dari keturunan sah bangsawan Eropa, tetap berkeras mencari darah biru kulit putih di antara anak-anak haram mereka. Usaha ini disarukan dalam sebuah pencarian aktor di Paris oleh dua orang kaki tangannya, suatu usaha yang ditertawakan oleh faksi partai oposisi saat kebenarannya bocor. Tuan Wheat justru memperluas jangkauannya dengan mempertimbangkan bangsawan dari bangsa selain Eropa. Salah satunya adalah Raden Sukmoro, seorang bangsawan Jawa yang pernah ditaksir dan satu kampus dengan Putri Penelope. Tuan Wheat bahkan mengatur suatu wawancara palsu untuk mencari tahu pandangannya tentang Australia, setelah dia diberi tahu kawannya yang seorang Indonesianis bahwa bangsawan Indonesia setelah kemerdekaan tetap memiliki rasa kerakyatan yang tinggi, antikolonialisme, dan antifeodalisme. Tapi, keduanya gagal. Dalam keadaan putus asa itu, mata mereka terbuka pada pandangan lain yang berseberangan. Sir Alexander mendapatkan ilham itu saat menyadari diskriminasi rasial yang terjadi dalam seleksi peserta Mis Bikini, suatu acara yang diselenggarakannya. Tuan Wheat akhirnya merasa lebih senang jika dipimpin oleh raja dari keturunan bangsa sendiri (baca: kulit putih) daripada keturunan bangsa lain yang tidak diketahui sifatnya. Titik balik itu adalah suatu ejekan terhadap dua pandangan dunia tadi.

Rasisme, khususnya superioritas kulit putih, adalah suatu persoalan yang berulang muncul dalam buku ini. Pertama-tama, wujudnya adalah penampilan fisik, sebagaimana yang dialami oleh Putri Penelope, dan tampak pada cibiran beberapa orang kulit putih pada orang kulit kuning, sawo matang, dan hitam. Kemudian hal itu merembet pada urusan-urusan lain yang mengikutinya. Misalnya, kulit putih berasosiasi dengan Kristen, sehingga, sebagai konsekuensi superioritas kulit putih, beberapa tokoh menganggap Kristen lebih baik dari Islam. Lebih lanjut lagi, kulit putih berasosiasi dengan kolonialisme dan feodalisme. Dalam kasus Australia, superioritas kulit putih itu menjadi selubung mindernya. Sebagai bangsa yang punya pertalian darah dengan orang Eropa, mereka ingin diakui sebagai orang Eropa, sebagaimana Sir Alexander yang selalu merasa dirinya sebagai orang Inggris. Tapi, di sisi lain, mereka sadar bahwa mereka bukan orang Eropa. Hal ini, misalnya, tampak dalam pengiyaannya saat orang bilang bahwa apa-apa dari Jerman lebih baik daripada apa-apa dari Australia. 

Dengan sendirinya, usaha-usaha yang menentang rasisme itu diasosiasikan dengan sosialisme atau (secara tersirat) komunisme. Meskipun demikian, dua paham ini pun tidak luput dari ejekan, sebagaimana yang diejawantahkan oleh Tuan Wheat dan temannya yang jago tua partai oposisi. Tuan Wheat yang sosialis moderat berpandangan bahwa untuk mencapai tujuan dan ekonomi partainya dia harus bekerja sama dengan kapitalis karena merekalah yang mempunyai modal untuk mendanainya. Si jago tua partai oposisi justru menjadi rasis dengan cara mendukung kebijakan-kebijakan antimigran tapi memberi kekecualian pada Cina.

Putri Penelope menjadi korban silang sengkarut segala persoalan itu. Penampilan fisiknya yang tidak sesuai dengan standar orang kulit putih yang kolonialis menjerumuskannya dalam rasisme. Kedudukannya sebagai putri mahkota menjeratnya dalam aturan-aturan feodalisme, bahkan untuk urusan pribadi sekalipun. Untungnya, dengan nada optimis yang tidak sungguh-sungguh, dia berhasil membebaskan diri dari segala kerangkeng itu. Dia memutuskan untuk menikah dengan seorang pemuda biasa dan menyerahkan tampuk kekuasaan pada partai mana pun yang menang pemilu, dan dengan demikian atas rasa sayang orang tuanya membiarkan monarki itu berakhir.

Hikayat Putri Penelope adalah suatu sindiran tengil terselubung atas feodalisme, kolonialisme, sosialisme, dan rasisme di balik kisah ala dongeng putri malang mencari pangeran.

Minggu, 19 Februari 2017

Bianglala Sastra - Dick Hartoko



Judul Buku
:
Bianglala Sastra
Penyadur
:
Dick Hartoko
Penulis Versi Asli
:
Rob Nieuwenhuys
Penerbit
:
Djambatan
Tahun Terbit
:
1979 (Terbit pertama kali pada tahun 1972 dalam Bahasa
Belanda dengan judul Oost-Indische Spiegel)


Bianglala Sastra berisi profil dan fragmen tulisan faktual maupun fiktif 32 penulis yang berkiprah pada zaman Hindia Belanda. Fragmen dan profil itu menyiratkan kecenderungan penyorotan geografisnya, figur sentral, latar sosial penulis perempuan, beberapa lembaga, dan pandangan atas tanah Hindia Belanda.

Ada suatu kemiripan antara perempuan-perempuan yang profilnya dicantumkan dalam buku ini, yakni pertama-tama mereka adalah seorang ibu rumah tangga yang bersuamikan seorang pegawai pemerintah atau swasta. Latar sosial semacam inilah yang dianggap menjadi landasan kiprah mereka dalam penulisan. Untuk mengisi waktu luang mereka membaca. Setelah membaca, timbullah hasrat untuk menulis. Lalu, mereka menulis di surat kabar. Lebih jauh lagi, kebiasaan perempuan keturunan Eropa di Hindia Belanda ini kemudian dianggap sebagai keadaan yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran literer dan, lebih dalam lagi, emansipasi di kalangan perempuan pribumi, contohnya kasus Kartini. Hal ini dinyatakan secara tersurat dalam profil Christina Sloot alias Melati van Java.

Lelaki-lelaki yang diprofilkan dalam buku ini memiliki profesi yang beragam. Meskipun demikian, yang paling banyak adalah orang pers, wartawan maupun pemilik pers tersebut. Van Hoevell, P.A. Daum, Pieter Brooshooft, dan Zentgraff adalah beberapa di antaranya. Selain itu, ada juga orang pemerintahan, seperti van der Capellen dan C.S.W. Hogendorp yang sama-sama pernah menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda. Yang juga banyak diprofilkan adalah ilmuwan, ahli biologi seperti Rumphius, ahli bahasa seperti van der Tuuk dan Ph. P. Roorda van Eysinga, dan ahli farmakologi seperti Junghuhn yang mempelopori penggunaan kina di Hindia Belanda.

Dalam buku ini banyak penulis disebutkan memiliki hubungan dalam pelbagai bentuk: Hubungan darah, seperti hubungan antara Onno Zweir van Haren, Dirk van Hogendorp, dan C.S.W. van Hogendorp; Pertemanan, seperti hubungan antara Junghuhn dan Isaac Groneman; bahkan permusuhan seperti hubungan antara Eddy du Perron dan Zentgraaff. Di antara semua hubungan itu terdapat beberapa penulis yang menjadi figur sentral. Setidaknya ada tiga figur sentral yang berpengaruh dalam aspek yang bervariasi di antara penulis-penulis dalam buku ini. Pertama, van der Capellen, figur sentral bagi penulis-penulis yang aktif awal tahun 1800-an, seperti keluarga Hogendorp dan Ph. P. Roorda van Eysinga. Van der Capellen menjadi sosok yang menonjol di antara penulis-penulis yang terkena pengaruh arus Fajar Budi (istilah dalam buku ini yang merujuk pada Renaisans), khususnya dalam kaitannya dengan haluan liberal dan kebudayaan. Kedua, Multatuli, figur sentral bagi penulis-penulis yang berada di puncak pada tahun 1850-an, khususnya penulis-penulis liberal yang radikal, seperti S.E.W. Roorda van Eysinga dan Courier dit Dubekart. Multatuli menjadi sosok radikal yang menuntut otonomi Hindia Belanda dari Belanda walaupun dalam kasus Multatuli, dia sebenarnya menginginkan jabatan untuk dirinya sendiri. Terlepas dari itu, kesamaan penulis-penulis yang berfigur sentral Multatuli adalah kritis terhadap Eropa dan keturunan Eropa yang tinggal di Hindia Belanda sehingga timbul kesan samar bahwa mereka berpihak pada pribumi walaupun tidak selalu begitu sebenarnya. Kecenderungan inilah yang kemudian memercikkan ide-ide politik etis. Ketiga, Eddy du Perron, figur sentral bagi penulis-penulis yang aktif pada tahun 1900-an, seperti Beb Vuyk dan Suwarsih Djojopuspito. Yang menonjol dari du Perron adalah individualitasnya. Hal ini jugalah yang tampak pada penulis-penulis yang menjadi satelitnya, seperti Vuyk dan Djojopuspito. Kalau tiga figur sentral itu dianggap sebagai suatu rangkaian kronologis, tampaklah hubungan antara liberalisme dan individualitas.

Persoalan identitas kebangsaan muncul pada pembahasan beberapa penulis. Yang kental unsur politisnya adalah Zentgraff. Dia mendukung gagasan Pax Neerlandica bahwa semua jajahan Belanda mesti bersatu di bawah naungan kerajaan Belanda. Latar sosialnya adalah masa menjelang Perang Dunia, saat Belanda mulai terdesak oleh Jerman. Dalam konteks lain, Notosoeroto, seorang Jawa yang banyak dipengaruhi pola didik politik etis, sejalan dengan pandangan Zentgraff. Dia merasa diri sebagai orang Belanda. Di sisi lain, van der Tuuk malah menjadikan dirinya sebagai pribumi Hindia Belanda, spesifiknya orang Bali, bahkan dia mengganti namanya menjadi Gusti Dertik. Tjalie Robinson alias Vincent Mahieu justru menjunjung tinggi identitasnya sebagai orang Indo.

Ada perbedaan arti Hindia Belanda bagi tiap penulis dalam buku ini. Setidaknya ini ditunjukkan lewat tulisannya. Penulis yang dibahas di awal-awal buku cenderung memaknai Hindia Belanda sebagai suatu benda. Apa-apa yang terjadi di Hindia Belanda sekadar alat untuk kepentingannya, seperti van Haren yang menggunakan kisah Sultan Ageng Banten sebagai perumpamaan pertikaiannya dengan lawan politiknya, atau apa-apa yang ada di Hindia Belanda adalah suatu objek penelitian yang eksotis, sebagaimana tampak pada cara pandang Rumphius atas Maluku. Ada juga penulis yang memandang Hindia Belanda dengan kaca mata kolonialis. Penulis yang memiliki kecenderungan ini menganggap pribumi Hindia Belanda sebagai kalangan terbelakang. Misalnya, Brumund secara tersirat menganggap orang-orang yang meyakini kesaktian Pangeran Diponegoro sebagai orang bodoh yang gampang diperdaya oleh karisma sang pangeran. Lalu, ada juga penulis yang memaknai Hindia Belanda sebagai medan pertarungan kuasa antara keturunan Eropa yang sudah mukim lama di Hindia Belanda dan orang Belanda itu sendiri. Contohnya, jelas Multatuli. Penulis yang aktif pada tahun 1900-an justru memandang Hindia Belanda sebagai suatu tempat penuh kenangan. Mereka menuliskan Hindia Belanda dengan nostalgia. Eddy du Perron, Maria Dermout, Tjalie Robinson, dan Rob Nieuwenhuys adalah beberapa di antaranya.

Selain pemerintah kerajaan Belanda dan pemerintah Hindia Belanda yang tidak sedikit dikecam oleh penulis-penulis yang diprofilkan dalam buku ini, setidaknya ada dua lembaga lagi yang muncul berulang dalam buku ini. Yang pertama adalah Batavisch Genoteschaap, suatu lembaga kajian ilmu yang didirikan pada masa-masa terpengaruhnya Hindia Belanda oleh semangat Fajar Budi. Rumphius dan van der Capellen adalah beberapa penulis yang dikaitkan dengan lembaga ini. Lembaga yang lainnya adalah pers. Bahkan, dalam buku ini dicantumkan tulisan Van Hoevell yang memperingatkan pemerintah Hindia Belanda supaya mendidik pribumi Nusantara tentang pers sebelum mereka mendapatkan gagasan yang bertentangan dengan pemerintah tentang pers. Beberapa surat kabar yang disebutkan dalam buku ini adalah Bataviasche Courant yang memuat salah satu tulisan van der Capellen, De Locomotief yang dipimpin Brooshooft, Java Bode yang dipimpin oleh Zentgraff.

Wilayah geografis yang paling banyak dibahas kebanyakan penulis dalam buku ini adalah Jawa. Dari keadaan alam liar Pantai Selatan yang dengan eksotis digambarkan Junghuhn dan Daum, pengamatan Brumund atas penghormatan rakyat jelata atas Pangeran Diponegoro, kisah van Goens tentang zaman Sunan Amangkurat I yang berbeda dari versi Babad Tanah Jawi, sampai asimilasi budaya Jawa dalam diri Hans Resink. Dengan kata lain, ketertarikan mereka mulai dari yang ragawi sampai yang rohaniah, dari rakyat jelata sampai bangsawan. Beberapa daerah lain dibahas juga walaupun satu dua. Ambon adalah yang dibahas lebih dari dua penulis. Rumphius sempat menulis sebuah buku yang membahas flora dan fauna di sana. Maria Dermout, yang menemukan arsip tulisan Rumphius, menulis tentang daerah itu dengan rasa nostalgia. Van der Capellen, yang pernah menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda, menulis suatu propaganda untuk mengambil hati pribumi Ambon pada masa perlawanan Pattimura. Selanjutnya, Bali. Maria van Zeggelen menuliskan suatu kisah tentang kehidupan bangsawan muda Bali. Van der Tuuk, seorang peneliti bahasa Batak, bahkan menjadikan dirinya seorang Bali. Sisanya, beberapa daerah yang hanya dibahas satu penulis. Misalnya, Maria Szekely-Lulofs, seorang istri mandor perkebunan, menulis kisah kuli Deli; Friedericy menulis kisah balas dendam seorang keturunan bangsawan Sulawesi Selatan terhadap pemerintah kolonial; Fabricus menulis cerita tentang seorang bangsawan Sumba yang berlindung pada Belanda. Intensitas kemunculan Jawa dalam buku ini memberi kesan bahwa Jawa sejak dulu adalah suatu pusat.

Bianglala Sastra memberikan gambaran tentang pengaruh latar sosial, ekonomi, dan politik terhadap cara pandang 32 penulis tersebut atas keadaan dan konsep Hindia Belanda itu sendiri.