Senin, 29 Juni 2015

Four Rooms - Tarantino, Rodriguez, Rockwell, Anders


Judul Film
:
Four Rooms
Sutradara
:
Quentin Tarantino, Robert Rodriguez, Alexandre Rockwell, Allison Anders
Aktor
:
Tim Roth, Antonio Banderas, Jennifer Beals, Madonna, dst
Rumah Produksi
:
A Band Apart
Tahun Rilis
:
1995



Ted adalah sorotan utama dalam Four Rooms. Dia adalah seorang bellhop (pesuruh hotel). Sepanjang film kita menyaksikan dia bertugas malam pertama pada suatu malam tahun baru, mengatasi keganjilan tamu di empat kamar. Cara Tim Roth memerankan Ted tak kalah ajaibnya. Cara jalannya kadang mirip seperti cara jalan Jim Carrey saat menjadi The Mask. Mimiknya saat marah dibuat seberlebihan mungkin sehingga terasa menggelikan, sementara kalau diam, dia tampak seperti seorang bisu pemalu. Kadang juga logatnya dibuat ke-british-british-an. Pemeranan yang tidak wajar ini membuat Ted mencolok.

Sementara itu, sayang sekali dua dari empat kamar yang dilayani Ted berisi kisah yang kurang greget. Segerombolan penyihir (dalam arti sebenarnya) berusaha membangkitkan kembali leluhur mereka yang terjebak di suatu kamar, tapi terhambat karena satu bahan ramuannya tidak tersedia gara-gara kecerobohan seorang penyihir. Bahan ramuan yang hilang itu adalah air mani. Maka saat Ted melayani kamar itu, dia dikerjai. Meskipun hanya pada kisah kamar itu Ted merasa senang, kisah itu benar-benar kering dan gampangan. Segmen itu hanya menjual kebugilan beberapa cewek penyihir, kemontokan badan Madonna yang dibalut latex hitam, serta tingkah sundal tokoh yang diperankan penyanyi tersohor itu. Upacara, yang berisi tarian bugil aneh dan rapalan mantra, tampak konyol, apalagi saat seorang penyihir menyemburkan api dari mulutnya (lewat efek spesial) karena kaget.

Sementara itu, Kekeringan lainnya terjadi pada kisah di kamar Siegfried dan Angela. Ted terdampar di sana gara-gara salah masuk kamar. Maka dia terjebak dalam sandiwara perselingkuhan mereka sebagai orang yang dituduh berselingkuh dengan Angela. Siegfried bertingkah seperti seorang suami sakit jiwa pencemburu, sementara Angela bertingkah manipulatif. Ada kejutan dalam segmen ini: Siegfried mencium Ted setelah Ted marah-marah, dan Angela menyebutkan beragam panggilan untuk penis seakan-akan merapal mantra. Walaupun kalimat selamat datang Siegfried pada Ted bisa jadi kalimat yang khas, secara keseluruhan segmen ini hanya seperti orang meracau.

Di kamar lain Ted mendapat tugas tambahan untuk mengasuh dua anak Antonio Banderas. Mereka anak bandel. Si bocah lelakilah yang paling bandel. Dia curi-curi menonton saluran khusus dewasa, merokok, dan minum alkohol. Muncullah pistol Chekov: bau. Awalnya si bocah perempuan menuduh bau itu berasal dari kaos kaki si bocah lelaki. Seiring kekacauan yang dibuat para bocah, terkuaklah satu per satu petunjuk tentang muasal bau. Ternyata itu berasal dari mayat di balik ranjang. Tapi itu bukan puncaknya. Puncaknya adalah saat para bocah rusuh gara-gara mayat, Ted kalang kabut mengatasi masalah itu, Antonio Banderas pulang dari pesta tahun baru. Segmen “The Misbehavers” ini unggul dalam pembangunan ketegangan, sehingga saat klimaks, ledakannya semeriah mercon yang tampak dari jendela kamar TKP.

Segmen terakhir, disutradarai Tarantino, berlatar di griya tawang hotel tersebut. Ted dipanggil ke sana untuk mengantarkan pesanan yang aneh: tatakan besar, pisau, jarum, seember es, dan segulung besar benang. Awal segmen ini adalah perkenalan para tokoh (Angela muncul lagi dengan tempramen yang lebih waras) dan racauan sembarang khas Tarantino (kali ini tentang film dan rasa minuman keras) yang disajikan lewat satu opname panjang (long take) yang dinamis. Sepanjang itu Ted disambut seakan-akan adalah dia karib Chester Rush (Tarantino), penyewa griya tawang. Lalu, yang ditunggu-tunggu tiba juga: Ted diminta untuk jadi juru pancung dalam taruhan antara Chester dan Norman. Taruhannya seperti taruhan dalam sebuah film Hitchcock: Kalau Norman bisa menyalakan Zippo-nya sepuluh kali berturut-turut tanpa putus, maka dia berhak mendapatkan mobil Chester. Sebaliknya, kalau gagal, maka kelingkingnyalah yang putus. Ted ragu dan Chester sampai mesti mengiminginya uang lumayan banyak. Akhirnya Ted setuju. Norman gagal. Tangannya putus. Ted pergi setelah mengambil upahnya seakan-akan tak terjadi apa-apa. Laju ketegangan sampai puncak kekacauan yang gila dalam segmen “The Man From Hollywood” ini secepat kilat, sehingga penonton bisa saja masih tertawa saat melihat Chester cs kalang kabut mengurusi Norman yang terluka.

Saat menonton Four Rooms, saya merasakan perasaan Ted Si Pesuruh. Kadang tamu memuakkan, kadang juga menyenangkan. Toh, semenyebalkan apa pun tamu itu, seberapa pelit pun tamu itu, kita tetap akan mendapatkan gaji.


Rabu, 24 Juni 2015

Mystery Train - Jim Jarmusch


Judul Film
:
Mystery Train
Sutradara
:
Jim Jarmusch
Aktor
:
Youki Kudoh, Masatoshi Nagase, Screamin’ Jay Hawkins, Cinque Lee, Nicoletta Braschi, Elizabeth Bracco, Rick Aviles, Joe Strummer, Steve Buscemi
Rumah Produksi
:
Mystery Train Inc
Tahun Rilis
:
1989



Jejak Elvis Presley tertoreh dalam di Memphis. Ada Sun Studio, tempat rekaman Elvis yang bersejarah, di sana. Ada penginapan yang dihiasi lukisan-lukisan bergambar Elvis. Ada Patung Elvis. Lalu, mitos tentang hantu Elvis yang mengompreng di suatu persimpangan jalan beredar di penduduknya. Pesona inilah yang membuat Elvis menjadi motif kuat dalam tiga cerita dalam Mystery Train, khususnya lewat pengulangan lagu “Blue Moon”.

Cerita pertama berjudul “Far From Yokohama”. Sepasang orang Jepang, Jun dan Mitsuko, pergi ke Memphis dalam rangka melakukan ziarah ke tempat keramat Rock n Roll di Amerika. Kendala bahasa sepanjang perjalanan mereka banyak menimbulkan kelucuan. Di Sun Studio mereka disambut oleh pemandu wisata yang bicaranya keterlaluan cepat, sehingga kisah-kisah hebat yang berkaitan dengan Sun Studio hanya jadi dengung lalat. Meskipun begitu, Mitsuko tetap takjub pada tempat-tempat yang didatanginya. Dia dan Jun sempat bicara tentang kemiripan Memphis dan Yokohama. Tentang kekagumannya pada Elvis, Mitsuko punya sebuah buku berisi kolase foto berbagai sosok (mulai dari Buddha sampai Madonna) yang saat disandingkan dengan foto Elvis, tampak kemiripan sosok-sosok itu. Dalam kaitannya dengan cerita-cerita selanjutnya, sebagaimana niat Jun dan Mitsuko datang ke Memphis, segmen ini memberi aba-aba,”Lihatlah! Mungkin Anda akan menziarahi sesuatu.”

Cerita kedua yang berjudul “Ghost” dibuka dengan tampilan peti mati di bandara Memphis. Itu adalah peti mati suami Louisa, orang Itali. Selagi menunggu pengantaran jenazah, dia keluyuran di kota itu. Dua kali dia dikerjai orang. Di restoran seorang pria bercerita tentang mitos hantu Elvis hanya sebagai pengantar untuk menjual sisir Elvis, pemerasan terselubung. Seorang tukang koran dan majalah menyerocos terus sehingga dia membeli majalah dan koran yang tidak ingin dia beli. Kedukaannya membuat dia tidak berontak. Hal itu kontras dengan Dee Dee, perempuan yang tersenggol Louisa dan akhirnya ditraktir menginap di penginapan yang sama dengan di segmen “Far From Yokohama”. Dee Dee baru saja putus dengan pacarnya. Dia bicara panjang lebar tentang itu. Sementara itu, saat Louisa hendak bercerita tentang mitos hantu Elvis, Dee Dee langsung memotongnya saking seringnya itu dibicarakan. Kejutan muncul di akhir. Ternyata hantu yang diacu judul segmen ini bukanlah hantu suami Louisa, melainkan hantu Elvis yang muncul di kamar Louisa. Lawakan lempeng ala Jim Jarmusch.

Cerita ketiga, “Lost in Space”, menjawab pertanyaan yang muncul dari bunyi letusan pistol yang terdengar di akhir dua segmen sebelumnya. Bunyi itu berasal dari letusan pistol Johnny, pacar Dee Dee yang sama tidak tahu bahwa pacarnya menginap juga di situ. Letusan itu melukai kaki Charlie, kakak Dee Dee, yang berusaha menggagalkan rencana bunuh diri Johnny. Sebenarnya mereka menginap di penginapan itu dalam rangka sembunyi karena Johnny tak sengaja menembak mati seorang penjaga toko minuman keras. Cerita ini juga, khususnya yang berkaitan dengan hubungan Johnny dan Dee Dee, menjelaskan judul film ini. Mystery Train adalah lagu Elvis yang liriknya bercerita tentang orang yang pacarnya pergi dengan kereta. Dee Dee berjalan di gerbong kereta pada akhir-akhir film ini.

Benang merah tiga cerita dalam Mystery Train jarang-jarang. Segmen “Far From Yokohama” bisa berdiri sendiri kalau saja di akhir cerita tidak ada bunyi letusan pistol asing, bunyi yang jadi teka-teki utama sepanjang cerita, teka-teki yang menghubungkannya dengan segmen “Ghost” dan “Lost In Space”. Rasanya perjalanan Jun dan Mitsuko dan keluyuran Louisa hanya jadi pintu menuju kisah hubungan Dee Dee dan Johnny, kisah yang merupakan perwujudan lirik lagu “Mystery Train”.


Minggu, 14 Juni 2015

Terbangnya Punai - Marianne Katoppo


Judul Buku
:
Terbangnya Punai
Penulis
:
Marianne Katoppo
Penerbit
:
Pustaka Sinar Harapan
Tahun Terbit
:
1991 (terbit pertama: 1977)



Pemplotan kisah yang berlokasi dari ujung utara sampai ujung selatan Stockholm ini tidak dibikin mencapai puncak dramatik. Hubungan Pingkan Nayoan dan Martin Lorch, penyulut utama kedramatisan itu, diungkapkan secara gamblang hanya pada dua bab awal dan tiga bab terakhir. Pada bab-bab di antaranya hanya ditunjukkan bayang-bayangnya lewat interaksi Pingkan dengan tokoh-tokoh lain. Martin tidak hadir karena dia dirawat di rumah sakit gara-gara kecelakaan. Barulah setelah dia kembali, Pingkan menyelesaikan urusan mereka. Penyelubungan sementara hubungan Pingkan dan Martin membuat saya lengah, sehingga saat persoalan itu diangkat kembali ke permukaan, persoalan itu menghentak, apalagi ditambah dengan pengungkapan rahasia Martin.

Selama Martin tidak ada, Pingkan bertemu dengan banyak orang: Miguel, Christel, Agnieszka, Tante Irma, Ulrike, Amanda, Marianne, Dieter, Anderzej, Cecilia, Charlotte, Astrid, dst. Sayang sekali, banyaknya tokoh yang ditemui Pingkan membuat saya sulit mengingat nama mereka, sampai-sampai saya harus menyontek untuk menuliskan kembali nama mereka dalam tulisan ini, padahal dalam interaksi mereka terdapat pembahasan tentang banyak hal yang berkaitan dengan gagasan yang ingin disampaikan Marianne Katoppo pada pembaca. Jadilah nama-nama itu tidak lebih berkesan ketimbang bahasan dalam obrolan mereka.

Cita-cita dan kesuksesan adalah salah satu hal yang diulik cukup jauh dalam Terbangnya Punai. Pingkan tidak diterima oleh sebuah sekolah orthopist. Anderzej mendorongnya untuk mencoba lagi tahun depan. Pingkan bilang bekerja itu untuk bertahan hidup bagaimanapun membosankannya pekerjaan itu. Anderzej bilang buat apa bekerja kalau tak ada rasa cinta terhadap pekerjaan itu. Saat bicara tentang kesuksesan, Pingkan teringat pada teman-temannya yang mengaku-ngaku telah jadi “orang” pada orang tuanya, padahal sebenarnya tidak. Cita-cita dan kesuksesan dirangkum dengan gamblang pada adegan Pingkan memutuskan pulang ke Indonesia. Bukan gelar atau harta yang mematangkan manusia, melainkan pengalaman.

Pulang adalah topik yang berkali-kali muncul dalam Terbangnya Punai. Anderzej, orang Polandia yang tak bisa pulang ke kampung halaman, bilang pada Pingkan betapa menyenangkannya bisa pulang ke kampung halaman. Tante Irma, orang Yahudi, bercerita pada Pingkan tentang pengalamannya di Jerman selama masa pemerintahan Hitler. Lalu, secara tersirat topik ini terkandung dalam kisah Pus, kucing Pingkan, yang tersesat. Selain interaksi dengan mereka, Pingkan juga berkali-kali teringat muasal dia pergi ke Swedia. Surat dari keluarga di Indonesia pun datang mengingatkan agar dia pulang. Akhirnya, dia pulang.

Sebagai seorang perantau, Pingkan juga merasakan perbedaan budaya antara tanah air dan tanah rantau. Berbeda dengan topik lain, naratorlah penutur topik ini. Narator masuk ke dalam benak Pingkan. Ketepatan waktu membuat orang tergesa-gesa. Di sisi lain, orang jadi mesti disiplin. Di Swedia hubungan bebas antara laki-perempuan tidak dipermasalahkan. Kalau di Indonesia, ini bisa jadi gunjingan yang tak ada habisnya. Terakhir, lewat interaksinya dengan Ulrike sang gadis cilik dan ibunya, Charlotte, Pingkan merenung tentang kebijakan pemerintah tentang pengasuhan anak.

Dalam berbagai bentuk, kesetiaan jadi topik yang muncul paling banyak dalam Terbangnya Punai. Hubungan Miguel dan Christel, dan Cecilia dan Kristel menunjukkan ketidaksetiaan, sedangkan hubungan Amanda dan Bertil menunjukkan kesetiaan yang pahit. Pingkan sendiri menjadi pengejawantahan kesetiaan sekaligus ketidaksetiaan. Dia sangat setia pada Martin, bahkan berharap menikah dengannya walaupun Martin terus-menerus menunda. Ternyata Martin tidak setia. Pingkan akhirnya menyerah dan berselingkuh dengan Anderzej. Hal inilah yang akhirnya memantik Pingkan untuk pulang ke kampung halaman.

Saat awal membaca Terbangnya Punai, saya tidak merasa persoalan yang disebutkan di awal adalah bom waktu. Hidung saya justru malah teralihkan pada aroma penyelubungnya, mesiu berupa pembicaraan tentang cita-cita, kesuksesan, pulang , dan kesetiaan.