Kamis, 03 Desember 2015

Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia - Ajip Rosidi


Judul Buku
:
Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia
Penulis
:
Ajip Rosidi
Penerbit
:
Binacipta
Tahun Terbit
:
1986 (terbit pertama: 1969)



Sastra Indonesia memiliki sejarah. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia adalah salah satu buku yang membahas persoalan tersebut.

Pembahasan sejarah sastra Indonesia, pokok buku ini, dibagi menjadi dua bagian yang dibagi lagi ke dalam beberapa bagian. Bagian pertama adalah Periode Kelahiran yang mencakup tahun 1900 sampai 1945. Jangka itu dibagi menjadi tiga, yakni periode 1900 sampai 1933, periode 1933 sampai 1942, dan periode 1942 sampai 1945. Periode ini diawali oleh masa pendirian perusahaan cikal bakal Balai Pustaka, dan diakhiri oleh tahun proklamasi Indonesia. Bagian kedua adalah Periode Perkembangan yang mencakup tahun 1945 sampai 1968 –ingat, buku ini diterbitkan pada tahun 1969. Jangka itu dibagi menjadi tiga juga, yakni periode 1945 sampai 1953, periode 1953 sampai periode 1961, dan periode 1961 sampai sekarang (masa buku ini terbit pertama kali). Periode ini berakhir pada pembahasan masa beberapa tahun setelah peristiwa ’65. Sebelum bagian pokok, buku ini didahului oleh pengantar yang berisi pembahasan tentang sastra Indonesia dan sastra daerah, dan perkembangan sastra sebelum itu. Setelah bagian pokok, secara singkat perkembangan telaah sastra, hadiah sastra, dan masalah angkatan dibahas. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia membahas sejarah sastra Indonesia dari tahun 1900 sampai tahun 1968.

Periodisasi dalam buku ini didasarkan pada keadaan suatu zaman, kata penulisnya. Memang tiap bab pun dimulai oleh pembahasan gambaran keadaan. Periode 1900-1933 dilatari oleh dampak politik etis Belanda, pendirian Comissie voor de Volkslectuur dan “Bacaan Liar”. Periode 1933-1942 dilatari oleh polemik kebudayaan dalam majalah Pujangga Baru dan kebangkitan nasional. Periode 1942-1945 dilatari oleh propaganda Jepang di bidang budaya. Periode 1945-1953 dilatari oleh pembahasan tentang Angkatan ’45. Periode 1953-1961 dilatari oleh polemik krisis sastra dan sastra majalah. Periode 1961-1968 dilatari oleh polemik Lekra dan Manikebu yang dikaitkan dengan pertentangan politik masa itu. Kadang keadaan suatu periode mengacu pada keadaan politik dan sosial (periode 1900-1933, 1942-1945, dan 1961-1968), kadang juga mengacu pada keadaan intern sastra Indonesia (periode 1933-1942, 1945-1953, dan 1953-1961). Agar lengkap mestinya pembahasan keadaannya meliputi keadaan politik dan sosial maupun keadaan intern sastra Indonesia. Keadaan suatu periode yang diacu dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia kurang menyeluruh.

Tiap bab mengandung pembahasan tentang penulis-penulis pada suatu zaman. Pada bab tertentu penulis tertentu dibahas pada bagian tersendiri. Misalnya, pada periode 1900-1933 pembahasan Sanusi Pane, Rustam Effendi, dan Muhammad Yamin dijadikan satu bab tersendiri. Pada bab lain terdapat bab “Tokoh”, misalnya “Tokoh-Tokoh Pujangga Baru” dan “Beberapa Tokoh” Angkatan ’45. Bab lain berisi bagian yang berjudul “Beberapa Pengarang”, “Beberapa Penyair”, bahkan ada bagian yang diembel-embeli kata “Lain”. Karya penyair atau pengarang “Tokoh” dibahas panjang lebar, walaupun kadang tak panjang, hanya sinopsis atau penyantuman puisinya. Penulis “Lain” disebut nama dan judulnya saja, bahkan kadang disebut hanya namanya. Selain itu, perempuan yang menulis selalu dibahas pada bab tersendiri yang selalu ditempatkan di akhir-akhir bab. Secara konsisten mereka di bahas pada bagian berjudul “Para Pengarang Wanita”. Kerincian pembahasan penulis tertentu ketimbang penulis “lain” menyiratkan adanya pengkultusan atau kanonsisasi dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia.

Sementara itu, ada juga bab yang pembahasannya menyatakan beberapa lingkungan sastra pada suatu zaman, misalnya lingkungan Comissie voor de Volkslectuur dan Bacaan Liar (periode 1900-1933), lingkungan Pujangga Baru, roman Medan dan Surabaya, dan penyair Sumatra (periode 1933-1942), dan lingkungan Lekra, keagamaan, dan Manifes (periode 1961-1968). Sedangkan, bab lain tidak menunjukkan adanya kejamakan lingkungan penulis. Paling-paling lingkungannya hanya penulis “tokoh” dan penulis “lain”. Pertanyaannya: apakah pada periode lain hanya ada satu lingkungan penulis? Jika jawabannya adalah tidak, maka barangkali musababnya adalah ketersediaan data. Terlepas dari itu, beberapa bab dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia menunjukkan kehadiran beberapa lingkungan penulis dalam suatu zaman.

Buku ini ditulis tak lama setelah peristiwa ’65.Pengaruh polemik sastra tahun ‘60an terasa di dalamnya. Buku ini menunjukkan keberpihakkannya. Kepindahan Rivai Apin ke Lekra dibahas dengan nada mencibir. Buku puisi Zaman Baru Sitor Situmorang yang diterbitkan oleh penerbit Lekra dianggap jauh lebih rendah mutunya ketimbang karyanya yang lain. Kiprah Pramoedya sebagai redaktur lembar budaya Bintang Timur dihakimi. Puisi H.R. Bandaharo dianggap kurang bermutu. Keberpihakkannya dikentarakan oleh bab khusus tentang Manifes Kebudayaan. Di tengah polemik Manifes Kebudayaan dan Lekra Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia adalah buku yang condong ke arah Manikebu.

Karena ketersediaan data dan keberpihakannya, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia menjadi buku sejarah sastra Indonesia yang sayangnya pembahasan latar belakang suatu periodenya kurang menyeluruh, yang pengkultusannya kentara, dan condong ke Manikebu.


Senin, 30 November 2015

Tiba-Tiba Malam - Putu Wijaya



Judul Buku
:
Tiba-Tiba Malam
Penulis
:
Putu Wijaya
Penerbit
:
Cypress
Tahun Terbit
:
1977

Keterkaitan antara urusan pribadi dan urusan publik adalah salah satu topik dalam karya sastra. Salah satu novel yang membahasnya adalah Tiba-Tiba Malam.

Sehari setelah pesta pernikahannya dengan Utari, Sunatha berangkat dinas sebagai guru ke Kupang. Utari kecewa. Timbul pertentangan antara keluarga Sunatha dan keluarga Utari, lalu merembet pada warga sekitarnya. Dalam keadaan begitu, Ngurah yang kalah cepat dari Sunatha dalam melamar Utari mendekati Utari. Sementara itu, Subali, ayah Sunatha, jadi sangat dekat dengan David, seorang bule yang sedang mengamati masyarakat di desa itu. Perubahan sikap Subali karena pergaulannya dengan David memperpanas posisi keluarga Sunatha di tengah masyarakat. Perkembangan cerita berkisar pada masalah tersebut.

Dalam Tiba-Tiba Malam, semangat komunal besar pengaruhnya terhadap kehidupan pribadi warga yang dilingkupinya. Pandangan warga desa macam-macam saat Sunatha pergi padahal dia belum mengapa-apakan Utari. Pemantik pertamanya adalah prasangka Utari dan orang tuanya bahwa Sunatha mengguna-guna Utari. Martabat keluarga Sunatha kena imbasnya. Keadaan ini diperpanas oleh Subali yang sering mangkir dari kegiatan desa karena pengaruh David, lambang orang asing. Perlahan Subali dicekoki pandangan bahwa adat desa menghambat perkembangan hidupnya sebagai seorang individu. Pertentangan tidak langsung antara Subali dan adat desa adalah pertentangan individualisme dan semangat komunal. Pertentangan lainnya adalah pertentangan antara keluarga Sunatha dan warga desa. Walaupun akhirnya Subali maupun Sunatha menyetujui pandangan individualis yang dibawa David, mereka menyerah pada adat desa. Dalam Tiba-Tiba Malam, akhirnya, karena konsekuensinya di tengah masyarakat, individualisme harus tunduk pada semangat komunal.

Pertentangan itu menimbulkan korban: Sunithi, adik Sunatha, dan ibunya. Mereka tidak punya andil dalam pemicuan pertentangan tersebut. Ibu Sunithi jadi sakit-sakitan setelah pertikaian dengan keluarga Utari. Saat meninggal, penguburannya tidak layak karena keluarganya kena hukum adat. Di sisi lain, Sunithi jadi perempuan yang tangguh setelah serangkaian tekanan (keluarganya didakwa menyimpang, pacarnya, Wedha, sempat meninggalkannya, dst.). Sementara itu, Subali sendiri jadi bisu setelah puncak pemberontakannya. Dalam Tiba-Tiba Malam, ditekankan imbas pertentangan antara individualisme dan semangat kelompok pada orang-orang yang tak berdosa.

Pada akhirnya Sunatha merelakan Utari dinikahi Ngurah. Akhirnya, Sunathalah meminta maaf atas kelakuan keluarganya pada warga desa. Sunatha hanya muncul pada awal cerita dan baru muncul lagi menjelang akhir cerita. Oleh karena itu, itu adalah bentuk tanggung jawabnya atas masalah yang ditimbulkannya di awal cerita. Barangkali tanggung jawabnya itulah yang membuat penulisnya merelakan Sunatha dapat pengganti Utari pada akhir cerita. Minimnya motif penyatuan Sunatha dan Sunari, pengganti Utari, jadi bisa dimaafkan karena itu. Dalam Tiba-Tiba Malam, pada akhirnya tokoh pemicu segala kemelutnya diberi hadiah oleh penulisnya karena telah bertanggung jawab atas segala kemelut yang ditimbulkannya.

Sedikit tentang judul buku ini: Tak ada bagian yang menceritakan masa sebelum Sunatha dan Utari menikah. Paling-paling hanya ada petunjuk bahwa dulu Ngurah mau melamar Utari tapi keduluan Sunatha. Buku ini hanya berisi dampak pernikahan Sunatha dan Utari sampai dampak itu diatasi Sunatha. Muncul kesan bahwa sebelum pernikahan itu tak ada apa pun. Pada awal buku pembaca langsung ditampar oleh suatu masalah, sebuah malam, yang sampai akhir tak dijelaskan asal mulanya. Masalah itu terasa tiba-tiba. Judul Tiba-Tiba Malam mengacu pada ketiba-tibaan yang dirasakan pembaca saat pertama kali ditampar pokok buku ini.

Tiba-Tiba Malam adalah cerita tentang pertentangan individualisme dan semangat komunal yang langsung ditamparkan pada pembaca, yang masa lalunya sengaja tak dijelaskan sampai akhir buku karena ingin menonjolkan dampaknya.

Senin, 23 November 2015

Buku dalam Indonesia Baru - Alfons Taryadi (penyunting)


Judul Buku
:
Buku dalam Indonesia Baru
Penulis
:
Alfons Taryadi
Penerbit
:
Yayasan Obor Indonesia
Tahun Terbit
:
1999



Konon, tidak banyak buku yang membahas tentang buku. Buku dalam Indonesia Baru adalah satu dari sedikit buku tentang buku.

Buku dalam Indonesia Baru berisi lima belas esai dari beragam tokoh. Lima belas esai itu sendiri adalah prasaran yang juga diajukan pada simposium “Meningkatkan Peranan Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Baru Indonesia” yang diselenggarakan oleh Yayasan Obor Indonesia pada tanggal 10-11 Februari 1999. Dalam buku ini, dunia perbukuan dibahas dari beragam sudut pandang, dari sudut pandang pengelolaan, teknologi, sampai sudut pandang kebudayaan. Pembahasan sebagian esai mengelotok, sebagian lain sekadar informatif. Oya, sebagai catatan, kalau kita membacanya dari kaca mata masa kini (tahun 2015), beberapa prediksi dalam buku ini sudah terjadi –ingat, buku ini diterbitkan tahun 1999.

Hampir setengah buku ini informatif belaka. Wagiono Sunarto mengikhtisarkan sejarah seni rupa yang berkaitan dengan dunia sampul buku di Indonesia, dan membicarakan sarana visual dan kemungkinannya. Mohammad Sobary bilang, kalau cerita anak baik, maka anak-anak akan bisa tumbuh dengan baik. Bondan Winarno bilang, penggunaan dana pinjaman luar negeri untuk pencetakan buku sekolah, mesti dibarengi dengan pengawasan mutu isi buku, supaya pencetakan itu tidak sekadar jadi proyekan. P.M. Winarno bicara tentang potensi internet dan komputer bagi bisnis buku –tentu hal ini sudah kita rasakan hari ini. Alfons Taryadi sedikit lebih menukik karena membahas juga dampak globalisasi pada bisnis penerbitan di Indonesia, dan siasat untuk mengatasinya. Sapardi Djoko Damono bilang, penerbitan buku terjemahan mesti digalakkan dan jangan dipandang sebagai ancaman bagi penulis lokal. Tulisan Teddy Surianto tentang potret distribusi buku di Indonesia punya potensi untuk jadi ngelotok, tapi penyajian yang sekadar tafsir tabel dan diagram membuat tulisannya kering. Tapi, tulisan yang paling sekadar informatif adalah tulisan Arselan Harahap tentang visi dan misi IKAPI. Sayang sekali, keinformatifan setengah isi Buku dalam Indonesia Baru malah membuatnya kering.

Beberapa esai ngelotok dan cara penyampaiannya tidak kering. Ignas Kleden menyatakan bahwa buku belum membudaya di Indonesia, karena dalam sejarahnya buku adalah bagian dari kalangan tertentu, sehingga pembaca buku sedikit, apalagi pembeli, walaupun harga buku murah dan tingkat melek aksara tinggi. Karlina Leksono bicara tentang kemungkinan buku sebagai sarana untuk otodidak. Y.B. Mangunwijaya mengajukan klasifikasi-klasifikasi buku sebagai panduan produksi buku IPTEK sebagai siasat untuk menyebarkan pengetahuan ke khalayak. A.B. Sutanto membahas secara rinci siasat pengelolaan intern perusahan penerbitan dan hubungan perusahaan dengan distributor. Untung saja,dengan cara penyajian yang enak, empat esai dalam Buku dalam Indonesia Baru menyajikan gagasan falsafi tentang buku, seseorang, dan keadaan sosekpol, dan gagasan praktis tentang pembatasan pasar dan pengelolaan perusahaan penerbitan.

Tiga esai terakhir dalam buku ini menunjukkan keadaan perbukuan di Thailand dan Pakistan. Berdasarkan tiga esai itu, keadaan perbukuan di Indonesia, Thailand, dan Pakistan mirip. Penerbit buku terpusat di daerah pusat, misalnya Bangkok. Penerbitan buku pendidikan, buku proyek pemerintah, bermutu rendah. Buku sendiri hanya dibaca untuk keperluan pendidikan formal. Buku tidak menjadi bagian gaya hidup. Secara tersirat tampak bahwa keadaan perbukuan di Indonesia lebih mending daripada di Thailand dan Pakistan. Tiga esai tentang penerbitan di Thailand dan Pakistan adalah peringatan bahwa jika Indonesia tak bersiasat, maka Indonesia akan bernasib sama seperti dua negara tersebut.

Buku dalam Indonesia Baru adalah buku tentang buku yang dikeringkan oleh keinformatifan sebagian besar isinya, walaupun disegarkan lagi oleh beberapa tulisan mendalam tentang perbukuan, dan perbandingan tentang keadaan perbukuan di negeri lain.