Kamis, 08 November 2018

Jalan Miguel - V.S. Naipaul


Orang-Orang Favorit Saya Tinggal di Jalan Miguel

Judul Buku: Jalan Miguel
Penulis: V.S. Naipaul
Penerjemah: Lutfi Mardiansyah
Penerbit: Trubadur
Tahun Terbit: 2018


Omongan John Lennon amat cocok untuk memulai pembicaraan ini. Ada tempat-tempat yang saya ingat sepanjang hidup walaupun beberapa di antaranya telah berubah.  Tapi semua tempat itu punya momennya sendiri-sendiri. Itulah yang terbersit ketika baru-baru ini seorang teman mengajak saya ke suatu daerah dan bercengkerama dengan para penduduknya. 

Tempat itu berada di Pelabuhan Spanyol, Trinidad Tobago. Namanya Jalan Miguel, sebuah daerah yang katanya kumuh tapi dipenuhi orang-orang berkepribadian menarik. Dari montir yang suka menyanyikan larik-larik Ramayana, tukang kembang api yang ingin sekali membuat orang tertawa, sampai ibu-ibu yang punya anak delapan dari tujuh lelaki.

Kadang saya menjumpai mereka di dalam rumahnya. Lebih sering dia mengajak saya menemui mereka di tempat nongkrong favorit kebanyakan mereka: di trotoar depan rumah seorang lelaki yang amat dihormatinya. Begitulah sambil kadang saling pamer kehebatan, membual, dan menggunjingkan perang, tentara, sampai naik turunnya peruntungan orang-orang yang ada di Jalan Miguel (terutama dalam hal bercinta), mereka nyanyi bersama lagu kalipso.

Di antara semua sahabat dan orang-orang yang dimabuk cinta itu ada tiga orang yang sering saya pikirkan sepulang dari sana. Satu orang dijuluki Big Foot. Sebagaimana julukan itu, penampilannya sangar. Kegarangan itu makin bertambah karena dia tidak banyak omong dan tatapannya tajam. Katanya, waktu dia kerja sebagai supir bus dia pernah menyuruh semua penumpangnya mandi di tengah perjalanan dan mereka semua manut, bahkan tentara Amerika saja langsung ngacir waktu dia menyuruhnya pergi. Konon seni melunakkan orang. Tapi tukang perkusi ini bahkan makin jutek ketika dia khusyuk menggebuk-gebuk drum.

Cuma saya sedih juga waktu mendengar masa lalunya. Katanya dulu bapaknya suka memukulinya dan anak-anak sebayanya suka menggencetnya sampai-sampai dia jadi pelari tercepat saking dia suka lari terbirit-birit kalau sudah begitu. Saya sebenarnya diam-diam geram pada orang-orang di Jalan Miguel waktu mereka menertawakannya dalam acara yang sebenarnya amat membanggakan mereka. Ya ampun! Padahal dia sudah bertindak sebaik-baiknya sehormat-hormatnya.

Sementara itu, saya tidak pernah mendengar mereka menertawakan orang satu lagi tapi saya merasa mereka menganggapnya agak aneh. Titus Hoyt memang cukup eksentrik. Dia punya pemikiran-pemikiran yang agak kurang pas dengan lingkungan Jalan Miguel. Dia berniat mendidik bocah-bocah di sana supaya bisa berbahasa Latin, menikmati sastra, dan mempelajari sejarah, sedangkan anak-anak itu hanya menikmati film. Memang saya akui dia itu agak terlalu ngeyel kepengen mengajar. Dalam dirinya ada semacam dorongan untuk mendidik yang keterlaluan sehingga kadang dia jadi menggurui.

Tapi saya kira itu mula-mula berasal dari niat baiknya untuk menyebarkan ilmunya sebagai orang bergelar Intermediate of Arts. Dia itu punya niat baik yang besar. Kalau tidak begitu, mana mungkin dia mau mengantar pulang anak yang tersesat sampai ke rumahnya dan amat mempedulikan gizi dan pendidikannya? Cuma ya memang terselip secuil sikap menyebalkan di antara kebaikan itu. Tapi toh itu tidak membatalkan kebaikannya, bukan?

Satu lagi adalah orang yang amat dihormati oleh teman saya itu. Selalu ada Hat dalam setiap kejadian yang melibatkan orang-orang dari Jalan Miguel. Dia itu semacam pemimpin tongkrongan yang suka saya datangi itu. Bahkan teman saya amat suka mengutip kata-katanya ketika bercerita tentang segala macam. Yang paling saya ingat adalah ketika dia bilang bahwa seringkali kalau kita amat menginginkan sesuatu, ketika kita mendapatkannya, kita justru amat tidak menyukainya.

Lebih-lebih saya takjub pada Hat ketika dia sendirian menghabiskan waktu. Dia jarang melakukan tindakan luar biasa, bahkan bisa dibilang kegiatannya amat rutin. Tapi dia amat sangat menikmati segala yang dilakukannya. Dari mulai jadi bandar judi kecil-kecilan, nonton kriket, mengurus beo dan nuri, sampai mengibuli bocah-bocah. Orangnya santai kayak di pantai pula. Setelah cukup lama bercengkerama dengannya, saya akhirnya mengerti kenapa teman saya itu amat hormat padanya.

Tahu tidak kenapa saya menulis semua ini dengan gaya seakan-akan saya sungguhan pernah ke Jalan Miguel dan sungguhan pernah bertemu dengan puluhan orang yang hidup di sana, padahal tempat itu amat jauh dari Indonesia dan bahkan mereka semua ada pada zaman Perang Dunia II? Kenapa saya sok akrab banget dengan orang-orang yang saya tulis kali ini?

Jawabannya adalah karena teman saya itu, si V.S. Naipaul, amat intim dengan mereka dan amat mesra selama menceritakannya pada kita. Jadilah saya merasa bukan sedang menghadapi kata-kata yang berderet dalam buku, melainkan orang yang bercerita tentang tempat dan orang-orang yang begitu berarti baginya dengan tatapan menerawang. Jadi saya menulis semua ini dalam keadaan masih tertular keakrabannya. Membaca buku ini, rasanya seperti mendengarkan “In My Life” John Lennon dalam bentuk kisah yang bahkan keharuannya lebih melekat lagi. Membuat kita teringat pada segala kenangan tentang orang-orang dan tempat-tempat yang amat berarti bagi kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar