Cara Lezat Membuat Film yang Kelihatan Serius Jadi Lebih Kocak
Judul-Judul Film: Shaun of the Dead, Hot Fuzz, The World's End
Sutradara: Edgar Wright
Penulis Naskah: Simon Pegg & Edgar Wright
Rumah Produksi: Studio Canal, Working Title Films, Big Talk Productions, Film4 Productions, Relativity Media
Distributor: Universal Pictures
Tahun Rilis: 2004, 2007, 2013
Film fiksi ilmiah, polisi, dan zombi. Kebanyakan film yang
mengusung genre itu biasanya menyajikan ceritanya dengan raut serius. Adegan-adegannya
dibuat sedemikan intens sehingga membuat penonton menyaksikannya dengan
khusyuk. Edgar Wright dan Simon Pegg yang banyak dikenal karena lawakannya
dalam serial Spaced menggarap tiga
film yang sering disebut sebagai trilogi Three
Flavoured Cornettos: Shaun of the
Dead (film zombi), Hot Fuzz (film
polisi), dan The World’s End (film
fiksi ilmiah). Bagaimana jadinya tiga genre tersebut bila diberi sentuhan lawak
Wright dan Pegg? Mari kita bahas cara mereka melakukannya.
Salah satu motif dalam film zombi adalah orang biasa
berusaha sintas di tengah ancaman zombi. Shaun
of the Dead menyantaikan situasi genting itu dengan menjadikan seorang
lelaki yang kurang punya ambisi dan temannya yang pengangguran dan lebih tidak
berambisi sebagai tokoh utama.
Kontras antara mereka yang tidak insaf dan kita penonton
yang insaf akan kehadiran zombi adalah salah satu sumber lawak di sini. Lihat
saja adegan Shaun jalan pagi-pagi dengan sisa mabuk semalam menuju toserba.
Sepanjang jalan tanda-tanda kehadiran zombi kelihatan jelas tapi dia hanya
fokus pada belanjaan. Lihat juga adegan mereka yang bernyanyi-nyanyi mabuk
berat lalu mendengar zombi mengerang. Mereka malah menyesuaikan nyanyinya
sehingga erangan zombi itu terdengar seperti isian bas dalam sebuah lagu. Atau
lihat waktu mereka menyangka seorang zombi perempuan sebagai perempuan yang
kelewat mabuk dan sange.
Ketika mereka sudah menyadari wabah zombi itu, mereka tetap
saja membuat kita mengakak lewat cara mereka yang seperti tidak serius
menghadapi masalah itu. Saat menghadapi dua zombi di halaman belakang kontrakan
Shaun, mereka sempat-sempatnya berselisih soal barang yang paling pas untuk
melawan zombi. Mulai dari kaleng, keranjang cuci, sampai piringan hitam koleksi
Shaun. Waktu mereka bertemu rombongan lain yang berusaha sintas juga mereka
hanya menyapa dan bukannya menggabungkan diri atau apalah untuk sintas bersama.
Satu lagi, cara mereka melewati kerumunan zombi untuk masuk ke pub, tempat yang
menurut mereka paling aman: mereka bertingkah seperti zombi. Lengkap dengan
erangan dan cara jalan yang patah-patah. Bahkan mereka sempat latihan akting
dulu dengan panduan salah satu tokoh yang pekerjaannya adalah aktor.
Sejujurnya Hot Fuzz
adalah yang paling tidak terlalu terasa lawakannya dibandingkan dua film
lainnya. Tapi itu bukan berarti tidak ada kejenakaan sama sekali. Polisi baik
melawan lingkungan korup adalah salah satu motif dalam film polisi. Di sini
motif itu dipadukan dengan unsur investigasi pembunuhan.
Kelucuan itu berasal dari cara film ini menunjukkan
kebusukan itu. Petinggi polisi maupun warga desa tempat si polisi keren (hot fuzz) itu ditugaskan sama-sama
korup. Oleh mereka semua sifat korup itu ditunjukkan dengan amat lebay sehingga
mereka semua sangat mencurigakan dan keculasan itu amat kentara. Lihat saja
keramahan yang gamblang dibuat-buat oleh atasan Nicholas Angel sang polisi
teladan (sehingga dia dipindahtugaskan) dan warga Sandford.
Kontras antara pembawaan Angel dengan tokoh-tokoh lainnya
juga menimbulkan senyum dalam hati. Angel itu orang yang kelewat serius.
Kalaupun dia sedang tidak serius, dalam sikapnya selalu ada rasa khusyuk yang
mencanggungkan. Tokoh-tokoh lain kebalikannya. Mulai dari Simon Skinner sang
pengusaha yang paling dicurigai Angel sampai Danny sang polisi serampangan yang
kemudian menjadi konco Angel. Saking kontrasnya sampai-sampai mungkin pada
Angel kita akan nyeletuk,“Buset! Serius amat, Pak.”
Sekarang kita bahas film favorit saya dalam seri ini, The World’s End. Film ini penuh
plesetan. Judulnya mengisyaratkan cerita tentang akhir dunia. Di satu sisi,
memang benar film ini bercerita tentang akhir dunia karena invasi alien. Tapi
di sini juga The World’s End adalah nama pub terakhir dalam pelesir minum-minum
yang ditempuh para tokohnya. Makna ganda semacam itu juga berlaku pada tema
film ini. Sebagaimana dinyatakan oleh Edgar Wright dalam salah satu
wawancaranya, ketika kita mudik, seringkali kita teralienasi. Di sini ‘alienasi’ diartikan secara harfiah sebagai
invasi alien. Jadilah ini film pendewasaan diri yang di permukaannya adalah
fiksi ilmiah.
Dengan penggarapan yang berbeda dari Hot Fuzz, The World’s End
menggunakan kontras pembawaan tokoh sebagai sumber kelucuan. Di sini Gary King
adalah satu-satunya tokoh yang secara harfiah menolak dewasa. Dia hidup pada
tahun 2010-an tapi dia bersikap seperti ketika dia remaja pada tahun ’90-an.
Dia dan teman-temannya tarik-menarik. Dia berusaha menyeret mereka untuk hidup
seperti ketika mereka berusia belasan. Mereka terus-terusan menariknya supaya
bersikap dewasa. Bahkan ketika mereka menyeretnya untuk melarikan diri dari
serangan alien itu, Gary menarik mereka untuk tetap menyelesaikan pelesir
minum-minum itu. Semua itu diwujudkan dalam tindakan-tindakan yang menarik.
Sambil tetap memanfaatkan pakem-pakem genre tersebut, Wright
dan Pegg menyuntikkan humor dengan pertama-tama menempatkan tokoh utama yang
bersikap menyeleweng dari tokoh utama yang biasa ada dalam genre-genre
tersebut. Karena itulah film-film itu lucu tapi tidak jatuh menjadi film
parodi. Lebih tepat disebut film fiksi ilmiah, polisi, dan zombi dengan
suntikan humor ala Wright dan Pegg. Penggarapan semacam itu membuat film-film
itu seperti berkata,“Memang masalah-masalah ini amat mendesak. Tapi itu tidak
berarti kita tidak bisa menghadapinya sambil ngupil dan garuk-garuk pantat,
bukan?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar