Senin, 17 September 2018

Trilogi Three Flavoured Cornettos - Edgar Wright


Cara Lezat Membuat Film yang Kelihatan Serius Jadi Lebih Kocak

Judul-Judul Film: Shaun of the Dead, Hot Fuzz, The World's End
Sutradara: Edgar Wright
Penulis Naskah: Simon Pegg & Edgar Wright
Rumah Produksi: Studio Canal, Working Title Films, Big Talk Productions, Film4 Productions, Relativity Media
Distributor: Universal Pictures
Tahun Rilis: 2004, 2007, 2013


Film fiksi ilmiah, polisi, dan zombi. Kebanyakan film yang mengusung genre itu biasanya menyajikan ceritanya dengan raut serius. Adegan-adegannya dibuat sedemikan intens sehingga membuat penonton menyaksikannya dengan khusyuk. Edgar Wright dan Simon Pegg yang banyak dikenal karena lawakannya dalam serial Spaced menggarap tiga film yang sering disebut sebagai trilogi Three Flavoured Cornettos: Shaun of the Dead (film zombi), Hot Fuzz (film polisi), dan The World’s End (film fiksi ilmiah). Bagaimana jadinya tiga genre tersebut bila diberi sentuhan lawak Wright dan Pegg? Mari kita bahas cara mereka melakukannya.

Salah satu motif dalam film zombi adalah orang biasa berusaha sintas di tengah ancaman zombi. Shaun of the Dead menyantaikan situasi genting itu dengan menjadikan seorang lelaki yang kurang punya ambisi dan temannya yang pengangguran dan lebih tidak berambisi sebagai tokoh utama.
Kontras antara mereka yang tidak insaf dan kita penonton yang insaf akan kehadiran zombi adalah salah satu sumber lawak di sini. Lihat saja adegan Shaun jalan pagi-pagi dengan sisa mabuk semalam menuju toserba. Sepanjang jalan tanda-tanda kehadiran zombi kelihatan jelas tapi dia hanya fokus pada belanjaan. Lihat juga adegan mereka yang bernyanyi-nyanyi mabuk berat lalu mendengar zombi mengerang. Mereka malah menyesuaikan nyanyinya sehingga erangan zombi itu terdengar seperti isian bas dalam sebuah lagu. Atau lihat waktu mereka menyangka seorang zombi perempuan sebagai perempuan yang kelewat mabuk dan sange.

Ketika mereka sudah menyadari wabah zombi itu, mereka tetap saja membuat kita mengakak lewat cara mereka yang seperti tidak serius menghadapi masalah itu. Saat menghadapi dua zombi di halaman belakang kontrakan Shaun, mereka sempat-sempatnya berselisih soal barang yang paling pas untuk melawan zombi. Mulai dari kaleng, keranjang cuci, sampai piringan hitam koleksi Shaun. Waktu mereka bertemu rombongan lain yang berusaha sintas juga mereka hanya menyapa dan bukannya menggabungkan diri atau apalah untuk sintas bersama. Satu lagi, cara mereka melewati kerumunan zombi untuk masuk ke pub, tempat yang menurut mereka paling aman: mereka bertingkah seperti zombi. Lengkap dengan erangan dan cara jalan yang patah-patah. Bahkan mereka sempat latihan akting dulu dengan panduan salah satu tokoh yang pekerjaannya adalah aktor.
Sejujurnya Hot Fuzz adalah yang paling tidak terlalu terasa lawakannya dibandingkan dua film lainnya. Tapi itu bukan berarti tidak ada kejenakaan sama sekali. Polisi baik melawan lingkungan korup adalah salah satu motif dalam film polisi. Di sini motif itu dipadukan dengan unsur investigasi pembunuhan.

Kelucuan itu berasal dari cara film ini menunjukkan kebusukan itu. Petinggi polisi maupun warga desa tempat si polisi keren (hot fuzz) itu ditugaskan sama-sama korup. Oleh mereka semua sifat korup itu ditunjukkan dengan amat lebay sehingga mereka semua sangat mencurigakan dan keculasan itu amat kentara. Lihat saja keramahan yang gamblang dibuat-buat oleh atasan Nicholas Angel sang polisi teladan (sehingga dia dipindahtugaskan) dan warga Sandford.

Kontras antara pembawaan Angel dengan tokoh-tokoh lainnya juga menimbulkan senyum dalam hati. Angel itu orang yang kelewat serius. Kalaupun dia sedang tidak serius, dalam sikapnya selalu ada rasa khusyuk yang mencanggungkan. Tokoh-tokoh lain kebalikannya. Mulai dari Simon Skinner sang pengusaha yang paling dicurigai Angel sampai Danny sang polisi serampangan yang kemudian menjadi konco Angel. Saking kontrasnya sampai-sampai mungkin pada Angel kita akan nyeletuk,“Buset! Serius amat, Pak.”

Sekarang kita bahas film favorit saya dalam seri ini, The World’s End. Film ini penuh plesetan. Judulnya mengisyaratkan cerita tentang akhir dunia. Di satu sisi, memang benar film ini bercerita tentang akhir dunia karena invasi alien. Tapi di sini juga The World’s End adalah nama pub terakhir dalam pelesir minum-minum yang ditempuh para tokohnya. Makna ganda semacam itu juga berlaku pada tema film ini. Sebagaimana dinyatakan oleh Edgar Wright dalam salah satu wawancaranya, ketika kita mudik, seringkali kita teralienasi. Di sini ‘alienasi’ diartikan secara harfiah sebagai invasi alien. Jadilah ini film pendewasaan diri yang di permukaannya adalah fiksi ilmiah.

Dengan penggarapan yang berbeda dari Hot Fuzz, The World’s End menggunakan kontras pembawaan tokoh sebagai sumber kelucuan. Di sini Gary King adalah satu-satunya tokoh yang secara harfiah menolak dewasa. Dia hidup pada tahun 2010-an tapi dia bersikap seperti ketika dia remaja pada tahun ’90-an. Dia dan teman-temannya tarik-menarik. Dia berusaha menyeret mereka untuk hidup seperti ketika mereka berusia belasan. Mereka terus-terusan menariknya supaya bersikap dewasa. Bahkan ketika mereka menyeretnya untuk melarikan diri dari serangan alien itu, Gary menarik mereka untuk tetap menyelesaikan pelesir minum-minum itu. Semua itu diwujudkan dalam tindakan-tindakan yang menarik.

Sambil tetap memanfaatkan pakem-pakem genre tersebut, Wright dan Pegg menyuntikkan humor dengan pertama-tama menempatkan tokoh utama yang bersikap menyeleweng dari tokoh utama yang biasa ada dalam genre-genre tersebut. Karena itulah film-film itu lucu tapi tidak jatuh menjadi film parodi. Lebih tepat disebut film fiksi ilmiah, polisi, dan zombi dengan suntikan humor ala Wright dan Pegg. Penggarapan semacam itu membuat film-film itu seperti berkata,“Memang masalah-masalah ini amat mendesak. Tapi itu tidak berarti kita tidak bisa menghadapinya sambil ngupil dan garuk-garuk pantat, bukan?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar