Senin, 03 September 2018

Interlude - Windry Ramadhina


Trauma di Antara Kekerasan Seksual dan Domestik

Judul: Interlude
Penulis: Windry Ramadhina
Penerbit: Gagasmedia
Tahun Terbit: 2014


Masa lalu selalu ada bersama kita. Masa lalu yang tidak menyenangkan selalu mencengkeram kita. Masa lalu semacam itulah yang seringkali mengekang kita sehingga sulit bergerak. Dalam Interlude, Windry Ramadhina menelisik trauma mahasiswi yang pernah diperkosa oleh kakak kelasnya.

Mahasiswi itu adalah Hanna. Setelah cuti kuliah satu tahun karena pemerkosaan itu, dia kembali masuk kelas dengan perasaan tidak nyaman. Bicara dengan lelaki barista kopi saja dia amat tidak nyaman, apalagi dengan seorang gitaris jazz perayu macam Kai, tokoh utama lelaki dalam novel ini. Hubungan Hanna dan Kai adalah jembatan yang harus dilalui Hanna untuk mendapatkan kebebasan dari traumanya, peristiwa yang dikilaskan pada bab pembuka.

Beberapa perubahan sikap Hanna terhadap Kai menandakan kepulihan Hanna atas trauma itu. Pada mulanya Hanna menuruti ajakan (atau tepatnya perintah) Kai lebih sebagai perempuan yang tidak berdaya menghadapi agresivitas sehingga pasrah. Titik baliknya adalah ketika Kai menciumnya setelah menganggap sikap malu-malu Hanna muslihat perempuan belaka. Setelah Kai meminta maaf dan melakukan beberapa tindakan lain, Hanna perlahan mulai melihatnya dengan mata seorang perempuan yang jatuh cinta.

Hanya saja Hanna masih ragu karena trauma itu masih menggelayut walaupun sebenarnya pada titik itu prospek hubungan Hanna dan Kai sebenarnya sudah lumayan cerah. Maka, dibutuhkan satu peristiwa yang cukup dahsyat untuk menggedor kesadaran Hanna.

Peristiwa itu adalah Hanna menyaksikan Gitta dipukul oleh pacarnya. Peristiwa itu sendiri sebenarnya sudah dipadahkan beberapa kali lewat memar-memar pada tubuh Gitta yang disaksikan Hanna. Pengalaman menjadi cermin bagi Hanna. Dia merenungkannya dan mencapai kesadaran baru tentang Kai. Dia bahkan berinisiatif menemui Kai, sesuatu yang sebelum-sebelumnya tidak terbayangkan akan dilakukannya.

Kita hanya diberi tahu sedikit saja bagaimana sifat Hanna sebelum peristiwa traumatis itu. Paling-paling hanya ketika Hanna teringat pada hubungan dia dengan pemerkosa itu karena hubungan dia dengan Kai. Jadi bisa dibilang dulu Hanna kurang lebih bersifat kalem, tidak seperti Gitta yang bersifat dominan cenderung maskulin. Pada mulanya bahkan dikesankan bahwa Gittalah yang akan menjadi pelindung Hanna. Gitta berupaya keras agar Kai, teman satu bandnya, untuk tidak mendekati Hanna. Gitta yang mulanya kuat berubah menjadi tidak berdaya karena hubungannya dengan Ian. Kontras antara sifat Gitta dan Hanna ini menonjolkan bahwa hubungan penuh kekerasan mampu melemahkan perempuan yang kuat sekalipun.

Hanya saja dalam peristiwa Gitta dan Ian itu ada hal yang bisa jadi dipermasalahkan oleh suatu kalangan. Setelah Ian kabur dan Hanna berupaya untuk memulihkan Gitta, Hanna mengatakan hal yang masuk dalam daftar ucapan tabu bagi korban kekerasan domestik: “kenapa kamu tidak melawan?” Tapi tolong ingat, yang saya ingin katakan dengan membahas hal ini adalah adanya perkataan itu dalam novel ini menunjukkan bahwa kasus kekerasan domestik, khususnya kekerasan dalam pacaran, masih perlu perhatian lebih banyak supaya kita bisa lebih berempati dengan korban.

Kasus Gitta dan Ian juga menyisakan satu pertanyaan yang hanya dijawab sekenanya saja oleh Interlude kalau novel ini diniatkan untuk menggali kekerasan domestik dan pemerkosaan: Kenapa lelaki melakukan kekerasan domestik atau kekerasan seksual pada perempuan? Dalam hal Gitta dan Ian, jawabannya hanya Ian bersifat kasar. Itu pun hanya diisyaratkan lewat kesan-kesan sekilas tentang Ian: ketika dia berhadapan dengan para personil Second Day Charms, band Gitta. Dalam kasus pemerkosaan Hanna, pelakunya lebih samar lagi. Hanya dikesankan bahwa lelaki itu adalah tipe lelaki yang suka memanfaatkan kepolosan adik kelas perempuan.

Terlepas dari itu, saya menikmati satu keyakinan yang dianut novel ini, yakni cinta memberi kekuatan untuk menjadi lebih baik. Selain tentu saja bagi Hanna, hal ini juga berlaku bagi Kai. Hanna berhasil mengatasi traumanya karena dia mencintai Kai. Kai mengatasi masalah keluarganya dan akhirnya menemukan tujuan hidup karena dia mencintai Hanna. Lihat saja pengakuan Kai bahwa dia mengajak Hanna ke makan malam perpisahan bapak dan ibunya karena tanpa Hanna dia tidak akan bisa menghadapi peristiwa itu. Bukan hanya menghadapi, Kai bahkan melakukan tindakan untuk memperbaiki hubungan bapak dan ibunya. Sumber kekuatannya adalah kehadiran Hanna di sampingnya. Adegan dalam buku ini yang menyatakan bahwa cinta memberi kekuatan untuk menjadi lebih baik, tidak pernah gagal untuk membuat saya tersentuh.

Interlude memberikan harapan bahwa setelah kekang masa lalu terlepas, akan ada hidup yang lebih tenang, bahkan senang. Mengingat betapa putus asanya hidup dalam trauma, harapan yang ditiupkan Interlude itu bukan hal kecil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar