Senin, 10 September 2018

Rijsttafel - Fadly Rahman


Keadaanmu Memengaruhi Gaya Bersantapmu

Judul Buku: Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942
Penulis: Fadly Rahman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2011


Perkedel, pastel, risoles, semur, ayam suwir. Semua itu adalah makanan enak yang selama ini saya kira berasal dari Nusantara. Tapi, ternyata semua makanan itu bermula sebagai resep dari luar yang berakulturasi dengan kebiasaan makan di sini. Sarana akulturasinya adalah suatu budaya makan yang bernama Rijsttafel, sebagaimana dinyatakan dalam buku berjudul sama karya Fadly Rahman.

Dalam buku itu, Fadly menelusuri asal-mula Rijstaffel. Beberapa kali dia menekankan bahwa budaya pernyaian berperan besar dalam kemunculan Rijstaffel. Orang-orang Eropa yang berusaha di bidang perkebunan tidak membawa istrinya karena keadaan sarana-prasarana di Jawa tidak memungkinkan untuk kehidupan keluarga Eropa. Lantas mereka mengawini perempuan-perempuan pribumi. Selain karena urusan makanan kemudian diurus oleh para nyai, bahan makanan ala Eropa pun tidak banyak tersedia, jadilah para orang Eropa itu menyesuaikan lidahnya dengan makanan setempat. Hidangan utamanya adalah nasi, yang menjadi makanan utama setempat walaupun Fadly menyatakan bahwa nasi tidak dari dulu jadi makanan utama di Hindia. Hidangan utama itulah yang kemudian menjadi dasar penamaan sebuah budaya makan bernama rijsttafel; rijst berarti nasi dan tafel berarti harafiah meja tapi berarti juga hidangan.

Menyebarnya rijsttafel sampai pada taraf menjamur, Fadly mengisyaratkan, disokong oleh pembukaan Terusan Suez, penggalakan industri pariwisata (khususnya bidang perhotelan) di Jawa sejak akhir abad ke-19, dan beredarnya buku-buku masak yang berisi resep rijsttafel. Peresmian Terusan Suez pada 1869 bukan hanya memperlancar aliran perempuan-perempuan Eropa, melainkan juga bahan-bahan makanan dan alat-alat masak ala Eropa. Ketersediaan bahan dan alat memperkaya ragam menu dalam rijsttafel. Sementara itu, aspek yang menonjol ditekankan dalam pembahasan dampak makin banyaknya perempuan Eropa di Jawa pasca-Terusan Suez adalah peran mereka dalam menulis buku masak yang berisi resep rijsttafel. Salah satu yang dibahas secara khusus oleh Fadly adalah J.M.J. Catenius van der Meijden. Di bidang industri pariwisata sendiri rijsttafel disertakan sebagai pilihan hidangan di kapal pesiar maupun hotel yang ada di Jawa. Beberapa hotel yang dibahas adalah Hotel Des Indes dan Savoy Homann.

Dalam buku ini disebutkan bahwa penyurutan budaya rijstaffel di Jawa besar dipengaruhi oleh pendudukan Jepang dan migrasi orang Eropa (Belanda) ke Eropa sejak masa itu. Maka, kemudian lama-lama yang tinggal adalah kesan bahwa rijsttafel hanya budaya makan yang dilakukan di hotel.
Sementara itu, dalam buku ini, penyebaran budaya rijsttafel di kalangan pribumi dibahas dalam kerangka pengaruh kuasa kolonial. Pribumi—di sini yang lebih banyak dibahas adalah para pegawai pemerintahnya walaupun ada juga bahasan tentang orang keraton—makan-makan dengan gaya rijsttafel sebagai peniruan terhadap kebiasaan orang-orang Eropa yang dianggap lebih tinggi. Rijsttafel mengandung prestise tersendiri.

Meskipun demikian, ada yang menarik soal citra rijsttafel yang berkaitan dengan pihak-pihak yang menikmatinya. Pada mulanya terdapat kesan bahwa rijsttafel adalah bentuk tunduk orang Eropa (Belanda) di Jawa. Ditambah lagi, terdapat penjelasan bahwa orang Belanda tidak memiliki budaya makan tinggi. Malah dalam buku ini terdapat paparan mencemooh budaya makan orang Belanda. Kehadiran rijsttafel dianggap sebagai tanda bahwa orang Belanda “naik derajat”. Lalu, rijsttafel berubah menjadi lambang kolonialisme (lihat alinea selanjutnya), dan kesan “naik derajat” dan anggapan kebarat-baratan apabila pribumi menyantap rijsttafel. Lalu, yang terakhir adalah citra rijsttafel sebagai budaya makan Indies, sebuah budaya hibrida dari budaya pribumi, barat, dan lainnya.

Mengenai rijsttafel sebagai lambang kolonialisme, lihat bagian-bagian yang membahas cara penyajian. Penekanan hal ini khususnya terdapat pada soal pengerahan tenaga pribumi sebagai pramusaji. Dalam rijsttafel, nasi disertai oleh jenis makanan lain yang banyak jumlahnya dan besar porsinya—makanan-makanan enak yang saya absen di awal tulisan ini termasuk di dalamnya. Tiap pramusaji membawa jenis makanan yang berbeda. Hal ini berdampak pada banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menjadi pramusaji. Pada lingkungan perkebunan banyak pegawai perkebunan dilatih untuk menjadi pramusaji. Dalam buku ini banyaknya pramusaji rijsttafel misalnya dapat dilihat pada foto rijsttafel di Hotel Des Indes dan Savoy Homann (hlm. 64 & 65). Kesan kuasa dalam rijsttafel dapat dilihat dalam lukisan W.O.J. Nieuwenkamp (hlm. 46). Pada lukisan itu satu sosok yang bisa diidentifikasikan sebagai orang Eropa berongkang kaki sedangkan seorang berblangkon berjongkok di sebelahnya menghidangkan sesuatu.

Lama kemudian rijsttafel dihidangkan dengan gaya prasmanan yang berasal dari Prancis. Perihal perubahan cara penyajian ini, Fadly mengatakan dua hal: perubahan ini dipengaruhi oleh perubahan mental kolonial di kalangan Eropa dan masalah kepraktisan. Tapi, sayang sekali, pembahasan soal perubahan cara penyajian ini tidak dijabarkan lebih lanjut dalam buku ini. Padahal kalau lebih dirincikan, bisa jadi argumen soal pengaruh perubahan mental kolonial terhadap perubahan cara penyajian rijsttafel bisa lebih meyakinkan.

Meskipun demikian, buku Rijstaffel karya Fadly Rahman ini mengenyangkan juga bagi orang-orang yang lapar akan asal-usul apa-apa yang disantapnya. Bahkan, pecinta sambal akan dikenyangkan secara harfiah oleh buku ini apabila mampu berbahasa Belanda. Sebab, terdapat lampiran resep dan cara memasak beragam jenis sambal di dalamnya. Terakhir, buku ini mengingatkan kita bahwa tiap kali memakan sesuatu kita tidak hanya sedang menelan bahan-bahan yang sudah diolah itu, tetapi kita menelan sejarah dan budaya juga. Duh, pantas saja, setelah kekenyangan begini, kok saya jadi mulas ya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar