Keadaanmu Memengaruhi Gaya Bersantapmu
Judul Buku: Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa
Kolonial 1870-1942
Penulis: Fadly Rahman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2011
Perkedel, pastel, risoles, semur, ayam suwir. Semua itu
adalah makanan enak yang selama ini saya kira berasal dari Nusantara. Tapi,
ternyata semua makanan itu bermula sebagai resep dari luar yang berakulturasi
dengan kebiasaan makan di sini. Sarana akulturasinya adalah suatu budaya makan
yang bernama Rijsttafel, sebagaimana dinyatakan dalam buku berjudul sama karya
Fadly Rahman.
Dalam buku itu, Fadly menelusuri asal-mula Rijstaffel.
Beberapa kali dia menekankan bahwa budaya pernyaian berperan besar dalam kemunculan
Rijstaffel. Orang-orang Eropa yang berusaha di bidang perkebunan tidak membawa
istrinya karena keadaan sarana-prasarana di Jawa tidak memungkinkan untuk
kehidupan keluarga Eropa. Lantas mereka mengawini perempuan-perempuan pribumi.
Selain karena urusan makanan kemudian diurus oleh para nyai, bahan makanan ala
Eropa pun tidak banyak tersedia, jadilah para orang Eropa itu menyesuaikan
lidahnya dengan makanan setempat. Hidangan utamanya adalah nasi, yang menjadi
makanan utama setempat walaupun Fadly menyatakan bahwa nasi tidak dari dulu
jadi makanan utama di Hindia. Hidangan utama itulah yang kemudian menjadi dasar
penamaan sebuah budaya makan bernama rijsttafel; rijst berarti nasi dan tafel
berarti harafiah meja tapi berarti juga hidangan.
Menyebarnya rijsttafel sampai pada taraf menjamur, Fadly
mengisyaratkan, disokong oleh pembukaan Terusan Suez, penggalakan industri pariwisata
(khususnya bidang perhotelan) di Jawa sejak akhir abad ke-19, dan beredarnya
buku-buku masak yang berisi resep rijsttafel. Peresmian Terusan Suez pada 1869 bukan
hanya memperlancar aliran perempuan-perempuan Eropa, melainkan juga bahan-bahan
makanan dan alat-alat masak ala Eropa. Ketersediaan bahan dan alat memperkaya
ragam menu dalam rijsttafel. Sementara itu, aspek yang menonjol ditekankan
dalam pembahasan dampak makin banyaknya perempuan Eropa di Jawa pasca-Terusan
Suez adalah peran mereka dalam menulis buku masak yang berisi resep rijsttafel.
Salah satu yang dibahas secara khusus oleh Fadly adalah J.M.J. Catenius van der
Meijden. Di bidang industri pariwisata sendiri rijsttafel disertakan sebagai
pilihan hidangan di kapal pesiar maupun hotel yang ada di Jawa. Beberapa hotel
yang dibahas adalah Hotel Des Indes dan Savoy Homann.
Dalam buku ini disebutkan bahwa penyurutan budaya rijstaffel
di Jawa besar dipengaruhi oleh pendudukan Jepang dan migrasi orang Eropa
(Belanda) ke Eropa sejak masa itu. Maka, kemudian lama-lama yang tinggal adalah
kesan bahwa rijsttafel hanya budaya makan yang dilakukan di hotel.
Sementara itu, dalam buku ini, penyebaran budaya rijsttafel
di kalangan pribumi dibahas dalam kerangka pengaruh kuasa kolonial. Pribumi—di
sini yang lebih banyak dibahas adalah para pegawai pemerintahnya walaupun ada
juga bahasan tentang orang keraton—makan-makan dengan gaya rijsttafel sebagai
peniruan terhadap kebiasaan orang-orang Eropa yang dianggap lebih tinggi.
Rijsttafel mengandung prestise tersendiri.
Meskipun demikian, ada yang menarik soal citra rijsttafel
yang berkaitan dengan pihak-pihak yang menikmatinya. Pada mulanya terdapat
kesan bahwa rijsttafel adalah bentuk tunduk orang Eropa (Belanda) di Jawa.
Ditambah lagi, terdapat penjelasan bahwa orang Belanda tidak memiliki budaya
makan tinggi. Malah dalam buku ini terdapat paparan mencemooh budaya makan
orang Belanda. Kehadiran rijsttafel dianggap sebagai tanda bahwa orang Belanda
“naik derajat”. Lalu, rijsttafel berubah menjadi lambang kolonialisme (lihat
alinea selanjutnya), dan kesan “naik derajat” dan anggapan kebarat-baratan
apabila pribumi menyantap rijsttafel. Lalu, yang terakhir adalah citra
rijsttafel sebagai budaya makan Indies, sebuah budaya hibrida dari budaya
pribumi, barat, dan lainnya.
Mengenai rijsttafel sebagai lambang kolonialisme, lihat
bagian-bagian yang membahas cara penyajian. Penekanan hal ini khususnya
terdapat pada soal pengerahan tenaga pribumi sebagai pramusaji. Dalam
rijsttafel, nasi disertai oleh jenis makanan lain yang banyak jumlahnya dan
besar porsinya—makanan-makanan enak yang saya absen di awal tulisan ini
termasuk di dalamnya. Tiap pramusaji membawa jenis makanan yang berbeda. Hal
ini berdampak pada banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menjadi
pramusaji. Pada lingkungan perkebunan banyak pegawai perkebunan dilatih untuk
menjadi pramusaji. Dalam buku ini banyaknya pramusaji rijsttafel misalnya dapat
dilihat pada foto rijsttafel di Hotel Des Indes dan Savoy Homann (hlm. 64 &
65). Kesan kuasa dalam rijsttafel dapat dilihat dalam lukisan W.O.J.
Nieuwenkamp (hlm. 46). Pada lukisan itu satu sosok yang bisa diidentifikasikan
sebagai orang Eropa berongkang kaki sedangkan seorang berblangkon berjongkok di
sebelahnya menghidangkan sesuatu.
Lama kemudian rijsttafel dihidangkan dengan gaya prasmanan
yang berasal dari Prancis. Perihal perubahan cara penyajian ini, Fadly
mengatakan dua hal: perubahan ini dipengaruhi oleh perubahan mental kolonial di
kalangan Eropa dan masalah kepraktisan. Tapi, sayang sekali, pembahasan soal
perubahan cara penyajian ini tidak dijabarkan lebih lanjut dalam buku ini.
Padahal kalau lebih dirincikan, bisa jadi argumen soal pengaruh perubahan
mental kolonial terhadap perubahan cara penyajian rijsttafel bisa lebih
meyakinkan.
Meskipun demikian, buku Rijstaffel karya Fadly Rahman ini
mengenyangkan juga bagi orang-orang yang lapar akan asal-usul apa-apa yang disantapnya.
Bahkan, pecinta sambal akan dikenyangkan secara harfiah oleh buku ini apabila
mampu berbahasa Belanda. Sebab, terdapat lampiran resep dan cara memasak
beragam jenis sambal di dalamnya. Terakhir, buku ini mengingatkan kita bahwa
tiap kali memakan sesuatu kita tidak hanya sedang menelan bahan-bahan yang
sudah diolah itu, tetapi kita menelan sejarah dan budaya juga. Duh, pantas
saja, setelah kekenyangan begini, kok saya jadi mulas ya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar