Kamis, 27 September 2018

Aruna dan Lidahnya - Laksmi Pamuntjak


Makanannya Enak Tapi Yang Lainnya Tidak Begitu

Judul Buku: Aruna & Lidahnya
Penulis: Laksmi Pamuntjak
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2014


Pernahkah kamu membaca buku yang mengingatkanmu pada seseorang? Saya kenal orang yang cerewet kalau sudah ketemu makanan. Dia bahas rasa, bahan, dan seterusnya. Kadang juga dia masakin saya. Sebagai orang yang lidahnya keseringan makan indomie dan minum nira kelapa muda, ya, saya sih senang-senang saja disodori makanan yang beraneka ragam itu. Lha, wong enak kok. Makanya saya jadi teringat orang itu waktu baca Aruna dan Lidahnya karya Laksmi Pamuntjak ini. Buku ini cocok buat orang semacam dia.

Yang paling akan disukainya pastilah unsur kuliner dalam buku ini. Kita diajak untuk berkenalan dengan kuliner-kuliner di pelbagai daerah di Indonesia. Madura, Palembang, Medan, Banda Aceh, Lombok, Pontianak. Dari Bebek Madura, mi bihun Medan yang mencengangkan, sampai fine dining ala Jason Atherton. Tidak hanya komentar tentang rasa makanan atau seluk-beluknya yang panjang lebar, deskripsi ruangnya pun begitu. Lihat saja, misalnya, deskripsi suasana saat Aruna dkk. makan soto medan dan melancong di Jalan Selat Panjang. 

Kisah penelusuran tempat-tempat makan juga tidak lupa tersaji, seperti saat Bono mencari tempat makan mi di Singkawang dan malah hanyut ke tempat-tempat makan lain. Kontras dengan semua pengalaman menyenangkan itu, buku ini berusaha untuk tidak terlalu mengagung-agungkan makanan. Beberapa kali Aruna kecewa dengan makanan yang dikiranya enak, seperti saat dia makan sate lalat. “Gini doang,” katanya. Segala paparan tentang serba-serbi makanan itu sangat cerewet sampai-sampai terdengar seperti daftar belanjaan saat akan hajatan. Kecerewetan ini menggambarkan obsesi yang diakui sendiri oleh Aruna: makanan.

Di sisi lain, obsesi itu pulalah yang agaknya menghalangi persoalan-persoalan lain dalam buku ini. Konflik utama dalam buku ini pertama-tama digerakan oleh masalah flu burung atau dalam istilah buku ini: flu unggas. Aruna adalah seorang konsultan bagi sebuah kementerian yang berkaitan dengan kesehatan. Dia diutus ke delapan daerah di Indonesia untuk menyelidiki kasus-kasus yang diduga flu burung. Adegan-adegan makanan terjadi karena Aruna bersama teman-temannya senang melipir di tengah dinasnya itu.

Yang ingin ditekankan di sini adalah masalah kongkalikong pihak-pihak tertentu dalam memanfaatkan isu flu burung untuk keuntungan ekonomi. Jadi sejak awal hasil penyelidikan Aruna itu sudah dibayangkan para pengutusnya: flu burung positif di tempat-tempat itu. Tapi, kenyataannya di lapangan justru negatif. Ada pasien-pasien yang kongkalikong dengan pihak rumah sakit supaya dirinya didata sebagai pengidap flu burung untuk, misalnya, terbebas dari biaya rawat yang tinggi atau terbebas dari kekangan orang tua. Bahkan, ada laporan yang sampai ke kantor kementerian pusat itu adalah laporan abal-abal yang disanggah oleh petugas-petugas di lapangan, seperti kasus Aceh.

Aruna adalah orang jujur dan polos di tengah kongkalikong itu. Maka, setelah orang-orang itu mencium bahwa Aruna tidak akan membawa hasil yang sesuai dengan keinginan mereka, Aruna disingkirkan secara terselubung. Inilah yang membuat plot setelah peristiwa ini sangat lemah. Tidak ada lagi dorongan plot. Kesannya, sebagaimana tersirat dalam omongan tokoh-tokohnya, sudah tanggung jalan, ya, bereskan sajalah sampai rencana awal beres. Kesan episodik yang sebenarnya sudah terasa sejak awal, makin terasa setelah itu. Seakan tiap bab setelahnya terlepas begitu saja.

Penokohan juga ditilap oleh obsesi makanan Aruna. Beberapa tokoh tidak tergali. Yang paling kentara adalah Bono. Dia pada awalnya dicitrakan dengan sangat mengesankan: dari kemampuan memasaknya sampai wataknya dalam dunia memasak. Karismanya malah memudar saat perjalanan itu berlangsung. Dia hanya tampak seperti orang yang sedikit-sedikit lihat IPad untuk cek info tentang makanan yang ingin dijajal selanjutnya, walaupun bahasan tentang kekokiannya sesekali muncul.

Di sana-sini beberapa isu muncul berulang. Isu agama, misalnya, mewujud dalam bentuk kekolotan beragama orang di suatu daerah di Madura, beragam aspek hidup di Aceh, dan FPI di Singkawang. Meskipun tidak frontal, di sini agama dibahas cukup problematis. Adegan di Singkawang juga mengangkat masalah etnis Tionghoa lewat mulut Encik beroler merah jambu.

Kalau berharap mendapatkan informasi berlimpah tentang kuliner nusantara, Aruna dan Lidahnya bisa memuaskan keinginan itu. Tapi, jelas ini bukan tipe buku yang menekankan pada masalah plot.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar