Makanannya Enak Tapi Yang Lainnya Tidak Begitu
Judul Buku: Aruna & Lidahnya
Penulis: Laksmi Pamuntjak
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2014
Pernahkah kamu membaca buku yang mengingatkanmu pada
seseorang? Saya kenal orang yang cerewet kalau sudah ketemu makanan. Dia bahas
rasa, bahan, dan seterusnya. Kadang juga dia masakin saya. Sebagai orang yang
lidahnya keseringan makan indomie dan minum nira kelapa muda, ya, saya sih senang-senang
saja disodori makanan yang beraneka ragam itu. Lha, wong enak kok. Makanya saya
jadi teringat orang itu waktu baca Aruna
dan Lidahnya karya Laksmi Pamuntjak ini. Buku ini cocok buat orang semacam
dia.
Yang paling akan disukainya pastilah unsur kuliner dalam
buku ini. Kita diajak untuk berkenalan dengan kuliner-kuliner di pelbagai
daerah di Indonesia. Madura, Palembang, Medan, Banda Aceh, Lombok, Pontianak. Dari
Bebek Madura, mi bihun Medan yang mencengangkan, sampai fine dining ala Jason
Atherton. Tidak hanya komentar tentang rasa makanan atau seluk-beluknya yang
panjang lebar, deskripsi ruangnya pun begitu. Lihat saja, misalnya, deskripsi
suasana saat Aruna dkk. makan soto medan dan melancong di Jalan Selat Panjang.
Kisah penelusuran tempat-tempat makan juga tidak lupa
tersaji, seperti saat Bono mencari tempat makan mi di Singkawang dan malah
hanyut ke tempat-tempat makan lain. Kontras dengan semua pengalaman
menyenangkan itu, buku ini berusaha untuk tidak terlalu mengagung-agungkan
makanan. Beberapa kali Aruna kecewa dengan makanan yang dikiranya enak, seperti
saat dia makan sate lalat. “Gini doang,” katanya. Segala paparan tentang
serba-serbi makanan itu sangat cerewet sampai-sampai terdengar seperti daftar
belanjaan saat akan hajatan. Kecerewetan ini menggambarkan obsesi yang diakui
sendiri oleh Aruna: makanan.
Di sisi lain, obsesi itu pulalah yang agaknya menghalangi
persoalan-persoalan lain dalam buku ini. Konflik utama dalam buku ini
pertama-tama digerakan oleh masalah flu burung atau dalam istilah buku ini: flu
unggas. Aruna adalah seorang konsultan bagi sebuah kementerian yang berkaitan
dengan kesehatan. Dia diutus ke delapan daerah di Indonesia untuk menyelidiki
kasus-kasus yang diduga flu burung. Adegan-adegan makanan terjadi karena Aruna
bersama teman-temannya senang melipir di tengah dinasnya itu.
Yang ingin ditekankan di sini adalah masalah kongkalikong
pihak-pihak tertentu dalam memanfaatkan isu flu burung untuk keuntungan
ekonomi. Jadi sejak awal hasil penyelidikan Aruna itu sudah dibayangkan para
pengutusnya: flu burung positif di tempat-tempat itu. Tapi, kenyataannya di
lapangan justru negatif. Ada pasien-pasien yang kongkalikong dengan pihak rumah
sakit supaya dirinya didata sebagai pengidap flu burung untuk, misalnya,
terbebas dari biaya rawat yang tinggi atau terbebas dari kekangan orang tua.
Bahkan, ada laporan yang sampai ke kantor kementerian pusat itu adalah laporan
abal-abal yang disanggah oleh petugas-petugas di lapangan, seperti kasus Aceh.
Aruna adalah orang jujur dan polos di tengah kongkalikong
itu. Maka, setelah orang-orang itu mencium bahwa Aruna tidak akan membawa hasil
yang sesuai dengan keinginan mereka, Aruna disingkirkan secara terselubung.
Inilah yang membuat plot setelah peristiwa ini sangat lemah. Tidak ada lagi
dorongan plot. Kesannya, sebagaimana tersirat dalam omongan tokoh-tokohnya,
sudah tanggung jalan, ya, bereskan sajalah sampai rencana awal beres. Kesan
episodik yang sebenarnya sudah terasa sejak awal, makin terasa setelah itu.
Seakan tiap bab setelahnya terlepas begitu saja.
Penokohan juga ditilap oleh obsesi makanan Aruna. Beberapa
tokoh tidak tergali. Yang paling kentara adalah Bono. Dia pada awalnya
dicitrakan dengan sangat mengesankan: dari kemampuan memasaknya sampai wataknya
dalam dunia memasak. Karismanya malah memudar saat perjalanan itu berlangsung.
Dia hanya tampak seperti orang yang sedikit-sedikit lihat IPad untuk cek info
tentang makanan yang ingin dijajal selanjutnya, walaupun bahasan tentang
kekokiannya sesekali muncul.
Di sana-sini beberapa isu muncul berulang. Isu agama,
misalnya, mewujud dalam bentuk kekolotan beragama orang di suatu daerah di
Madura, beragam aspek hidup di Aceh, dan FPI di Singkawang. Meskipun tidak
frontal, di sini agama dibahas cukup problematis. Adegan di Singkawang juga
mengangkat masalah etnis Tionghoa lewat mulut Encik beroler merah jambu.
Kalau berharap mendapatkan informasi berlimpah tentang
kuliner nusantara, Aruna dan Lidahnya
bisa memuaskan keinginan itu. Tapi, jelas ini bukan tipe buku yang menekankan
pada masalah plot.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar