Saya Jadi Ingin Membaca Karya Bernard Batubara Lainnya Karena Tiga Hal dalam Elegi Rinaldo
Judul buku: Elegi Rinaldo (dalam seri Blue Valley)
Penulis: Bernard Batubara
Penerbit: Falcon Publishing
Tahun rilis: 2016
Penyunting: Jia Effendie
Apa yang asyik dari mencicipi sembarang penulis yang
karyanya belum pernah dibaca? Salah satu jawabannya adalah kadang kita jadi
menyadari suatu aspek dalam pengalaman membaca yang biasanya diluputkan. Itulah
yang saya alami ketika membaca Elegi
Rinaldo. Tikaian dan penyelesaiannya sejak awal cerita sudah amat jelas.
Ada lelaki lajang yang punya masalah dengan menikah dan ada perempuan yang amat
gamblang difungsikan sebagai sosok yang akan mengubah pandangan lelaki itu.
Jadi kita tinggal menikmati saja laju ceritanya sampai akhir. Barangkali itulah
sebabnya saya jadi memerhatikan hal-hal lain selama membaca. Berikut adalah
tiga hal yang saya amati ketika membaca kontribusi Bernard Batubara dalam seri Blue Valley ini.
Pertama, latar kota Jakarta. Kebanyakan novel yang saya baca
selama tahun ini tidak berlatar di Indonesia. Novel terakhir berlatar
Indonesia, tepatnya Jakarta, yang saya baca adalah Interlude Windry Ramadhina. Dan satu-satunya latar yang meyakinkan
di situ pun hanya ada ketika para tokohnya berlibur ke salah satu gugusan Pulau
Seribu. Jadi saat mendapati Jakarta dalam Elegi
Rinaldo, saya merasa latar itu digambarkan dengan segar. Tentu saja nama
perumahan Blue Valley tempat tinggal Rinaldo bukan yang saya bahas di sini.
Yang saya maksud adalah tempat-tempat lain, seperti lokasi kafe UNO, co-working space, kawasan Kemang, dan
Grand Indonesia. Lalu, kosan Jenny yang ada di suatu gang yang mulutnya dekat
dengan minimarket di kawasan Cilandak. Latar itu makin hidup dengan
komentar-komentar para tokohnya akan keadaan kota Jakarta yang diletakkan pada
adegan yang relevan. Mulai dari trotoar yang tidak bisa dipakai jalan kaki
karena digunakan tukang sate, pembangunan jalan layang yang entah kapan
beresnya, dan tentu saja kemacetan. Saya tidak ingat kapan terakhir kali
menikmati latar cerita sebagai sesuatu yang bisa berdiri sendiri. Jadi saya
menganggap sensasi ini sebagai suatu nilai tambah.
Kedua, adegan ciye-ciye alias adegan goda-goda romantis.
Adegan semacam ini bertaburan dalam Elegi
Rinaldo. Lihat saja ledekan antara Rinaldo dan Jenny di kafe UNO setelah
malam sebelumnya mereka berciuman karena terbawa suasana. Ada yang jadi ceria
‘gitu. Lihat juga obrolan mereka setelah Jenny mengunggah foto Rinaldo di
Instagram dan memberi keterangan berisi ledekan atas keseriusan ekspresinya.
Adegan-adegan semacam itu membuat tokoh-tokoh itu lebih terasa seperti orang
sungguhan yang tidak melulu memikirkan traumanya atau terlilit gairah cinta
yang sengit. Selain itu, tentu saja adegan semacam itu menjadi penyegar bagi
alur. Saya jadi penasaran dengan adegan-adegan serupa dalam karya-karya lain.
Mungkin saya bisa membuat artikel “7 novel dengan adegan goda-goda romantis
terciye” atau semacamnya.
Ketiga, benda sebagai unsur penguat identitas tokoh. Dalam
kasus Elegi Rinaldo, kebanyakan benda
tersebut adalah makanan. Roti adalah benda yang amat mengingatkan Rinaldo pada
kejengkelannya terhadap ibunya. Gara-gara roti Rinaldo dan Jenny berseteru.
Sate pinggir jalan menunjukkan sisi Rinaldo sebagai fotografer makanan yang
suka berburu makanan kaki lima. Lalu, rawon hangat di tengah cuaca dingin yang
turut andil menghangatkan hubungan Rinaldo dan Jenny. Lalu banyak lagi makanan
lain yang dibahas dalam buku ini. Cukup menyegarkan membaca bagaimana cerita
difokuskan pada suatu makanan lalu makanan itu dijadikan titik pijak untuk
mengembangkan cerita atau menggali tokoh lebih dalam.
Tiga hal ini memberi saya pengalaman membaca yang dalam
beberapa buku terakhir tidak saya temui. Dan bukankah menyadari suatu aspek
dalam kegiatan membaca yang jarang diperhatikan adalah hal yang membahagiakan
bagi para pembaca? Atas dasar itulah saya berterima kasih pada Elegi Rinaldo. Saya akan berterima kasih
dengan cara membaca karya-karya Bernard Batubara yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar