Jumat, 21 September 2018

Elegi Rinaldo - Bernard Batubara


Saya Jadi Ingin Membaca Karya Bernard Batubara Lainnya Karena Tiga Hal dalam Elegi Rinaldo

Judul buku: Elegi Rinaldo (dalam seri Blue Valley)
Penulis: Bernard Batubara
Penerbit: Falcon Publishing
Tahun rilis: 2016
Penyunting: Jia Effendie

Apa yang asyik dari mencicipi sembarang penulis yang karyanya belum pernah dibaca? Salah satu jawabannya adalah kadang kita jadi menyadari suatu aspek dalam pengalaman membaca yang biasanya diluputkan. Itulah yang saya alami ketika membaca Elegi Rinaldo. Tikaian dan penyelesaiannya sejak awal cerita sudah amat jelas. Ada lelaki lajang yang punya masalah dengan menikah dan ada perempuan yang amat gamblang difungsikan sebagai sosok yang akan mengubah pandangan lelaki itu. Jadi kita tinggal menikmati saja laju ceritanya sampai akhir. Barangkali itulah sebabnya saya jadi memerhatikan hal-hal lain selama membaca. Berikut adalah tiga hal yang saya amati ketika membaca kontribusi Bernard Batubara dalam seri Blue Valley ini.

Pertama, latar kota Jakarta. Kebanyakan novel yang saya baca selama tahun ini tidak berlatar di Indonesia. Novel terakhir berlatar Indonesia, tepatnya Jakarta, yang saya baca adalah Interlude Windry Ramadhina. Dan satu-satunya latar yang meyakinkan di situ pun hanya ada ketika para tokohnya berlibur ke salah satu gugusan Pulau Seribu. Jadi saat mendapati Jakarta dalam Elegi Rinaldo, saya merasa latar itu digambarkan dengan segar. Tentu saja nama perumahan Blue Valley tempat tinggal Rinaldo bukan yang saya bahas di sini. Yang saya maksud adalah tempat-tempat lain, seperti lokasi kafe UNO, co-working space, kawasan Kemang, dan Grand Indonesia. Lalu, kosan Jenny yang ada di suatu gang yang mulutnya dekat dengan minimarket di kawasan Cilandak. Latar itu makin hidup dengan komentar-komentar para tokohnya akan keadaan kota Jakarta yang diletakkan pada adegan yang relevan. Mulai dari trotoar yang tidak bisa dipakai jalan kaki karena digunakan tukang sate, pembangunan jalan layang yang entah kapan beresnya, dan tentu saja kemacetan. Saya tidak ingat kapan terakhir kali menikmati latar cerita sebagai sesuatu yang bisa berdiri sendiri. Jadi saya menganggap sensasi ini sebagai suatu nilai tambah.

Kedua, adegan ciye-ciye alias adegan goda-goda romantis. Adegan semacam ini bertaburan dalam Elegi Rinaldo. Lihat saja ledekan antara Rinaldo dan Jenny di kafe UNO setelah malam sebelumnya mereka berciuman karena terbawa suasana. Ada yang jadi ceria ‘gitu. Lihat juga obrolan mereka setelah Jenny mengunggah foto Rinaldo di Instagram dan memberi keterangan berisi ledekan atas keseriusan ekspresinya. Adegan-adegan semacam itu membuat tokoh-tokoh itu lebih terasa seperti orang sungguhan yang tidak melulu memikirkan traumanya atau terlilit gairah cinta yang sengit. Selain itu, tentu saja adegan semacam itu menjadi penyegar bagi alur. Saya jadi penasaran dengan adegan-adegan serupa dalam karya-karya lain. Mungkin saya bisa membuat artikel “7 novel dengan adegan goda-goda romantis terciye” atau semacamnya.

Ketiga, benda sebagai unsur penguat identitas tokoh. Dalam kasus Elegi Rinaldo, kebanyakan benda tersebut adalah makanan. Roti adalah benda yang amat mengingatkan Rinaldo pada kejengkelannya terhadap ibunya. Gara-gara roti Rinaldo dan Jenny berseteru. Sate pinggir jalan menunjukkan sisi Rinaldo sebagai fotografer makanan yang suka berburu makanan kaki lima. Lalu, rawon hangat di tengah cuaca dingin yang turut andil menghangatkan hubungan Rinaldo dan Jenny. Lalu banyak lagi makanan lain yang dibahas dalam buku ini. Cukup menyegarkan membaca bagaimana cerita difokuskan pada suatu makanan lalu makanan itu dijadikan titik pijak untuk mengembangkan cerita atau menggali tokoh lebih dalam.

Tiga hal ini memberi saya pengalaman membaca yang dalam beberapa buku terakhir tidak saya temui. Dan bukankah menyadari suatu aspek dalam kegiatan membaca yang jarang diperhatikan adalah hal yang membahagiakan bagi para pembaca? Atas dasar itulah saya berterima kasih pada Elegi Rinaldo. Saya akan berterima kasih dengan cara membaca karya-karya Bernard Batubara yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar