Tampilkan postingan dengan label ramadhan kh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ramadhan kh. Tampilkan semua postingan

Senin, 06 Maret 2017

Ladang Perminus - Ramadhan KH


Judul Buku
:
Ladang Perminus
Penulis
:
Ramadhan KH
Penerbit
:
Pustaka Utama Grafiti
Tahun Terbit
:
1990



Ladang Perminus berisi intrik di kalangan petinggi di Perusahaan Minyak Nusantara pada tahun ‘70an, saat berita tentang minyak ramai di surat kabar.

Gaya hidup petinggi perusahaan itu dimunculkan berulang-ulang. Kerjanya sehari-hari adalah menerima tamu yang kebanyakan adalah kontraktor asing maupun lokal. Tamu itu datang dalam rangka lobi untuk mengegolkan proyeknya. Kalau petinggi itu pergi ke luar negeri –dalam buku ini yang sering didatangi adalah Singapura, bos-bos kontraktor di sana menjamunya semaksimal mungkin, dari mengurusi transportasi, akomodasi, sampai gadis-gadis untuk menemani. Hadiah-hadiah diberikan sebagai oleh-oleh. Lobi-lobi juga dilakukan dalam keadaan yang tidak formal, seperti dalam jamuan di suatu pulau atau sambil main golf. Tapi, pada suatu adegan yang menentukan digambarkan juga lobi yang menegangkan: perundingan terjadwal antara tim Perminus dan sebuah kontraktor Belgia yang melibatkan tim-tim ahli.

Adalah lazim seorang petinggi memiliki obyekan dengan (mantan) rekan bisnisnya. Obyekan ini dijadikan celah untuk mengeruk keuntungan dari kantornya. Pada suatu kunjungan kerja seorang petinggi ditawari kontraktor-kontraktor untuk mendirikan perusahaan kapal, penerbangan, dan penginapan untuk menunjang proyek kerja sama antara mereka. Seringkali lewat relasi dengan kontraktor di luar negeri petinggi itu membuat perusahaan di luar negeri. Obyekan dan segala hadiah ini adalah upaya untuk menjaga hubungan baik demi kelancaran tender. 

Dalam keadaan demikian saling sikut tidak terelakan. Kontraktor berlomba-lomba untuk menjadi yang paling pemurah di mata petinggi-petinggi. Orang yang dekat dengan petinggi dipepet supaya berpihak pada mereka. Kalangan petinggi sendiri tidak jarang mengorbankan bawahannya demi menyelamatkan kedudukannya, seperti terjadi pada saat tersiarnya berita yang mengindikasikan ada korupsi di Perminus. Orang-orang jadi saling curiga. Yang jabatannya tidak terlalu tinggi mendekati bagian pengamanan yang dikuasai oleh orang militer supaya aman. Orang yang punya relasi dengan orang medialah yang kena, tidak peduli apakah memang dia orangnya yang membocorkan informasi atau bukan. Kalau seorang petinggi tidak menyetujui kemungkinan kenaikan derajat bawahannya, dia bisa saja menjatuhkannya lewat relasinya dengan pejabat-pejabat di lembaga lain. Tidak jarang bawahan mesti memberikan hadiah yang didapatnya dari kontraktor pada petinggi. Para pegawai diam atas dasar tahu sama tahu.

Tapi, dalam buku ini keadaan korup itu tidak dikesankan seburuk itu. Semua itu ditampakkan seperti sesuatu yang biasa saja karena dilihat dari mata salah seorang petingginya, Hidayat  Martakusumah. Sebagai orang yang pernah menjabat sebagai kepala Badan Koordinasi Kontraktor Asing dan asisten Wakil Direktur sebelum memutuskan pensiun, dia sudah biasa melihat semua penyelewengan itu. Meskipun begitu, sebagai veteran yang punya visi kebangsaan warisan Angkatan ’45, dalam kebungkaman itu diam-diam memanfaatkan jabatannya untuk membantu orang yang tidak lebih beruntung darinya. Tiap kali diisyarati kontraktor yang ingin memberinya upeti dia malah menyuruh mereka untuk mempekerjakan tenaga Indonesia dan mengurangi jumlah tenaga asing di perusahaannya. Banyak orang susah yang dibantunya mendapatkan pekerjaan lewat jabatannya. Dia mengajak teman-temannya semasa sekolah di zaman Jepang –orang-orang yang lebih disenanginya ketimbang orang-orang yang sehari-hari ditemuinya di kantor—untuk membantunya membangun ekonomi warga di Kadudampit, di kaki Gunung Gede. 

Ketinggian budi ini ditekankan lagi lewat keisengannya dengan seorang pramugari muda. Perempuan itu sangat kesengsem padanya, sedangkan dia yang sama sekali tidak punya pikiran seksual terhadap perempuan itu memperlakukannya seperti anaknya. Pada perempuan itu dia mengakui status perkawinannya. Pada istrinya, yang tidak kalah tinggi budinya, dia santai saja bercerita tentang pramugari itu. Hubungan ini dikontraskan dengan perselingkuhan temannya yang merupakan wujud penyalahgunaan kekuasaannya, padahal Hidayatlah yang memberikan jabatan itu padanya. Hidayat ditampilkan sebagai manusia teladan keterlaluan di tengah lingkungan yang korup. Makanya, wajar kalau kemudian dia dicalonkan teman-temannya untuk jadi gubernur Jawa Barat.

Tapi, agaknya kontrol diri yang tampak dipermukaan itu adalah hasil pembendungan gila-gilaan kedongkolannya. Dalam obrolannya tentang nasib orang susah tersirat amarahnya pada para koruptor. Dia juga sebenarnya gampang panasan terhadap orang-orang yang dianggapnya tidak becus menjalankan tugasnya sebagai pejabat tinggi, seperti yang ditunjukkannya saat akhirnya menyetujui pencalonannya karena yang dikabarkan akan menjadi calon gubernur juga adalah orang yang dianggapnya sangat korup. Malahan sekalinya bendungannya jebol kesehatannya langsung terpuruk, seperti saat dia menyadari perselingkuhan temannya atau saat dia dikabari bahwa atasannya yang korup dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Dia kena serangan jantung sampai harus diopname. 

Sekalipun seorang yang berbudi tinggi dan punya daya dijadikan tokoh utama untuk menghadapi lingkungan korup itu, kesan yang ditunjukkan buku ini adalah kekalahannya. Memang, lambang korupsi dalam buku ini pada akhirnya kalah. Tapi, kekalahan itu dibikin mudah saja. Dimatikan begitu saja dan korupsinya terbongkar. Sudah. Selain itu, pada akhirnya Hidayat mengiyakan juga bahwa zaman ini bukan untuk orang-orang seperti dirinya.

Ladang Perminus adalah suatu gambaran pesimistis tentang perlawanan terhadap korupsi sekalipun dari sudut pandang sosok yang punya daya.

Sabtu, 22 Oktober 2016

Kemelut Hidup - Ramadhan KH


Judul Buku
:
Kemelut Hidup
Penulis
:
Ramadan K.H.
Penerbit
:
Pustaka Jaya
Tahun Terbit
:
1977



Kemelut Hidup berisi upaya seorang pensiunan pegawai negeri untuk tetap bisa membiayai keluarganya dan mengatasi segala persoalan yang timbul karena pensiunnya itu dalam bolak-baliknya antara Bandung-Jakarta.

Pensiunan itu adalah Drs. Abdurrahman Prawiradikusumah. Sebelum pensiun dia adalah pejabat tinggi di suatu departemen yang berhubungan dengan tenaga kerja –dia tahu tentang info suatu jabatan di ILO—dan pabrik –semasa menjabat dia punya wewenang untuk memberi izin operasi suatu pabrik (kemungkinan departemen tenaga kerja dan transmigrasi atau departemen perindustrian). Nama panjangnya dan informasi tentang almarhum bapaknya yang disebutkan dalam kata sambutannya di hari pensiunnya menyiratkan latar belakangnya: dia berasal dari keluarga menak. Gelar yang mendahului namanya berasal dari studinya sebagai sarjana ekonomi. Istrinya bernama Ina, seorang ibu rumah tangga. Mereka punya enam anak. Abdurrahman masih sering berkumpul dengan saudara-saudaranya dan masih berhubungan dengan ibu tirinya, Bi Tini, yang sudah menikah lagi.

Untuk mengatasi persoalan ekonomi keluarga yang setelah dia pensiun menjadi sangat mendesak, Abdurrahman menempuh bermacam-macam jalan: mencari kerja lagi, berusaha mengklaim haknya atas tanah warisan ibunya, dan meminjam uang pada ibu tirinya. Sementara itu, Abdurrahman pun dihadapkan pada masalah hubungan dengan keluarganya. Ina serong dengan suami baru ibu tirinya, Sukanda. Susana, anaknya yang kedua, menjadi pelacur. Aminah, anaknya yang lain, pulang lebih cepat dari studi di Belanda dalam keadaan gila dan hamil tanpa diketahui siapa bapak jabang bayinya. Semua itu berkelindan menjadi suatu kemelut hidup Abdurrahman.
Buku ini menunjukkan bahwa ekonomi, sosial, dan politik saling timbal balik menjadi sebab-akibat. Barang siapa yang memiliki kedudukan tinggi secara ekonomi dialah yang memiliki kuasa secara sosial dan politis. Misalnya, Sukanda mampu memerintah Ina untuk berhubungan seks dengannya karena dia memiliki uang yang dibutuhkannya. Karena kedudukan ekonominya tinggi, Sukanda mendobrak relasi sosialnya dengan Ina, istri anak tiri istrinya. Politik dan hubungan sosial adalah sarana untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Misalnya, Suhandar, sebagai saingan Abdurrahman dalam mencari kerja di suatu pabrik susu di Cibinong, mewajarkan dirinya memberi keterangan keliru tentang Abdurrahman –bahwa Abdurrahman wafat dalam kecelakaan yang menimpanya, sehingga dialah yang diterima di pabrik itu. Contoh lain: beberapa saudaranya menyesali Abdurrahman yang tidak mempekerjakan anak-anak mereka di tempatnya saat dia masih dinas di departemen, padahal pejabat-pejabat lain melakukannya.

Lewat kelindan antara ekonomi, sosial, dan politik itu, buku ini mengangkat persoalan etis. Persoalan-persoalan ini dijawab lewat tindakan-tindakan Abdurrahman. Saat masih dinas, Abdurrahman menilai bahwa memasukkan kenalan-kenalannya ke tempat yang berkaitan dengan departemennya atau mengizinkan keluarga untuk memakai fasilitas dinas adalah sesuatu yang salah. Setelah dia mengalami kemelut pasca-pensiun, penilaian itu goyah. Dalam upaya mengklaim haknya atas tanah warisan ibunya, pada awalnya Abdurrahman berniat untuk menyelesaikannya sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Lalu, dia menyadari bahwa kedudukannya dalam kasus ini kurang menguntungkan. Pada akhirnya dia mewajarkan penyogokan. Dulu, saat pertama kali mengetahui Susana melacur, Abdurrahman murka. Susana melacur karena dorongan ekonomi. Lama kemudian, setelah menghilang, Susana kembali dalam keadaan yang lebih mapan darinya. Abdurrahman menerima dukungan ekonomi Susana yang didapat dari hasil melacur. Apakah semua cara boleh dilakukan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi? Pada awalnya, tindakan-tindakan Abdurrahman menyiratkan jawaban ‘tidak’. Ada cara-cara yang tidak baik dilakukan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Tapi, setelah mengalami kemelut pasca-pensiun, jawaban itu berubah jadi ‘ya’. Dalam keadaan yang mendesak semua cara boleh dilakukan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Meskipun demikian, agaknya Ramadhan KH masih condong pada jawaban ‘tidak’ sehingga untuk memberikan ‘rasa keadilan’ dia menghukum dulu Abdurrahman dengan cara mencelakakannya setelah Abdurrahman menyogok jaksa dan hakim, dan membuatnya melewatkan suatu kesempatan kerja karena kecelakaan itu.

Kemelut Hidup menunjukkan bahwa walaupun tekanan ekonomi mempengaruhi hubungan sosial dan politik, dan cenderung menihilkan nilai, seseorang harus berusaha bersikap normatif atau kalaupun memutuskan untuk tidak bersikap normatif, bersiap-siaplah untuk mendapatkan ‘hukuman’ sebagai penyeimbang.

Senin, 25 Juli 2016

Keluarga Permana - Ramadhan K.H.


Judul Buku
:
Keluarga Permana
Penulis
:
Ramadhan K.H.
Penerbit
:
Pustaka Jaya
Tahun Terbit
:
1976



Keluarga Permana berisi pergolakan sebuah keluarga setelah kepala keluarganya ditimpa kemalangan.

Kemalangan itu adalah pemecatan atas tuduhan penyelewengan dana. Inilah yang membuat Permana, sang kepala keluarga, kehilangan pekerjaan sebagai kepala bagian pembangunan di suatu perusahaan negara. Hubungan baiknya dengan pemborong langganan perusahaan dijadikan dasar tuduhan direkturnya. Setelah menganggur, Permana jadi sering melamun, gampang marah, dan kehilangan kepercayaan diri. Kemalangan itu menggoncang jiwa  Permana.

Keadaan jiwa Permana berpengaruh pada hubungannya dengan istri dan anaknya. Rendah diri akibat pengangguran membuat dia mencurigai Saleha, istrinya, selingkuh dengan direktur kantornya. Ingatan tentang bekas kantornya yang tak hentinya terpikirkan karena dia menganggur menekannya. Dampaknya, hal-hal sepele, seperti piring pecah tak sengaja, sudah cukup untuk menyulut kemarahannya. Ida, anaknya, adalah sasaran empuk bagi kemarahannya. Tak jarang gadis itu dipukuli. Stres Permana memperburuk hubungan mereka.

Walaupun keduanya sama tak tahan dengan sikap Permana, Saleha dan Ida mengambil keputusan yang berbeda untuk menyiasati keadaan mereka. Saat kemuakan memuncak, Saleha mengungsi ke rumah neneknya di Lengkong. Walaupun Bi Tati sudah mendukungnya, dia tak menceraikan Permana. Sementara itu, Ida mendambakan bisa minggat dari rumahnya. Dambaan ini menemukan celah saat Permana mengizinkan rumahnya diindekosi Sumarto. Ida sangat berharap Sumarto membawanya pergi dari rumah itu. Ida memutuskan untuk meninggalkan rumah Permana, sedangkan Saleha berusaha membetahkan diri.

Dambaan Ida ini adalah bibit ironi. Senggamanya dengan Sumarto membuat Ida hamil. Awalnya, dia menutup-nutupinya. Orang tuanya baru mengetahuinya setelah Permana telanjur ‘menggusah’ Sumarto dari rumah mereka. Tapi, kalaupun Sumarto masih tinggal pun Permana keberatan menikahkan mereka. Akhirnya, Permana dan Saleha memutuskan untuk menggugurkan kandungan Ida. Tindakan ini seperti bom waktu yang meledak saat semuanya telah terlambat. Sebagaimana dambaannya, Ida memang berhasil keluar dari rumah Permana, tapi tidak dalam keadaan hidup.
Hubungan keluarga Permana, khususnya Ida, dan Sumarto menunjukkan soal lain. Pertama-tama, alasan Permana menolak hubungan Sumarto dan Ida adalah umur Ida yang masih terlalu muda. Lalu, alasan Permana menolak kemungkinan perkawinan Sumarto dan Ida yang telanjur hamil adalah perbedaan agama. Sumarto Katolik, sedangkan Permana sekeluarga Islam. Antara keluarga Permana dan Sumarto terdapat jurang agama.

Pada dua ritus (pernikahan dan pemakaman) jurang agama ini meruncing. Setelah penggugurannya diketahui Sumarto, Ida mendesak orang tuanya untuk mengizinkan mereka menikah. Ida memutuskan untuk menyesuaikan agamanya dengan Sumarto. Mereka dinikahkan secara Katolik. Sementara itu, pemakaman jenazah Ida dipertanyakan oleh pegawai rumah sakit sampai keluarga besar Permana. Pertanyaan ini dilambangkan dengan penyebutan dua TPU di Bandung, latar novel ini: Sirnaraga, TPU yang identik dengan Muslim, dan Pandu, TPU yang identik dengan Kristen. Ida dimakamkan di Pandu. Terhadap dua kejadian ini, Permana dan Saleha berusaha tidak mempermasalahkan agama walaupun merasa tidak setuju juga. Justru yang paling panas memandangnya adalah kerabatnya, Mang Ibrahim. Dia merasa dua peristiwa ini adalah tanda kekalahan kaumnya. Dalam tiap sikapnya atas dua peristiwa itu amarah kentara, bahkan dia tak sudi menghadiri pemakaman Ida padahal Ida adalah cucu kesayangannya. Amarah ini dicoba diatasi oleh Saifuddin, kerabat lain, yang memandang persoalan ini dengan lebih moderat. Pemilihan tokoh latar sebagai pihak yang justru paling sengit menyikapi jurang agama ini mengisyaratkan bahwa ini bukan lagi sekadar urusan internal keluarga melainkan persoalan umum.

Dalam Keluarga Permana, dengan gerak seperti domino, persoalan kebendaan yang berakibat pada persoalan kejiwaan dibenturkan pada persoalan agama sehingga novel yang penceritaannya apik ini mematrikan kesan kerumitan persoalannya.