Judul Buku
|
:
|
Ladang Perminus
|
Penulis
|
:
|
Ramadhan KH
|
Penerbit
|
:
|
Pustaka Utama Grafiti
|
Tahun Terbit
|
:
|
1990
|
Ladang Perminus berisi intrik di kalangan petinggi di
Perusahaan Minyak Nusantara pada tahun ‘70an, saat berita tentang minyak ramai
di surat kabar.
Gaya hidup petinggi perusahaan itu dimunculkan
berulang-ulang. Kerjanya sehari-hari adalah menerima tamu yang kebanyakan
adalah kontraktor asing maupun lokal. Tamu itu datang dalam rangka lobi untuk
mengegolkan proyeknya. Kalau petinggi itu pergi ke luar negeri –dalam buku ini
yang sering didatangi adalah Singapura, bos-bos kontraktor di sana menjamunya semaksimal
mungkin, dari mengurusi transportasi, akomodasi, sampai gadis-gadis untuk
menemani. Hadiah-hadiah diberikan sebagai oleh-oleh. Lobi-lobi juga dilakukan
dalam keadaan yang tidak formal, seperti dalam jamuan di suatu pulau atau
sambil main golf. Tapi, pada suatu adegan yang menentukan digambarkan juga lobi
yang menegangkan: perundingan terjadwal antara tim Perminus dan sebuah
kontraktor Belgia yang melibatkan tim-tim ahli.
Adalah lazim seorang petinggi memiliki obyekan dengan
(mantan) rekan bisnisnya. Obyekan ini dijadikan celah untuk mengeruk keuntungan
dari kantornya. Pada suatu kunjungan kerja seorang petinggi ditawari kontraktor-kontraktor
untuk mendirikan perusahaan kapal, penerbangan, dan penginapan untuk menunjang
proyek kerja sama antara mereka. Seringkali lewat relasi dengan kontraktor di
luar negeri petinggi itu membuat perusahaan di luar negeri. Obyekan dan segala
hadiah ini adalah upaya untuk menjaga hubungan baik demi kelancaran tender.
Dalam keadaan demikian saling sikut tidak terelakan.
Kontraktor berlomba-lomba untuk menjadi yang paling pemurah di mata
petinggi-petinggi. Orang yang dekat dengan petinggi dipepet supaya berpihak
pada mereka. Kalangan petinggi sendiri tidak jarang mengorbankan bawahannya
demi menyelamatkan kedudukannya, seperti terjadi pada saat tersiarnya berita
yang mengindikasikan ada korupsi di Perminus. Orang-orang jadi saling curiga.
Yang jabatannya tidak terlalu tinggi mendekati bagian pengamanan yang dikuasai
oleh orang militer supaya aman. Orang yang punya relasi dengan orang medialah
yang kena, tidak peduli apakah memang dia orangnya yang membocorkan informasi
atau bukan. Kalau seorang petinggi tidak menyetujui kemungkinan kenaikan
derajat bawahannya, dia bisa saja menjatuhkannya lewat relasinya dengan
pejabat-pejabat di lembaga lain. Tidak jarang bawahan mesti memberikan hadiah
yang didapatnya dari kontraktor pada petinggi. Para pegawai diam atas dasar
tahu sama tahu.
Tapi, dalam buku ini keadaan korup itu tidak dikesankan
seburuk itu. Semua itu ditampakkan seperti sesuatu yang biasa saja karena
dilihat dari mata salah seorang petingginya, Hidayat Martakusumah. Sebagai orang yang pernah
menjabat sebagai kepala Badan Koordinasi Kontraktor Asing dan asisten Wakil
Direktur sebelum memutuskan pensiun, dia sudah biasa melihat semua
penyelewengan itu. Meskipun begitu, sebagai veteran yang punya visi kebangsaan
warisan Angkatan ’45, dalam kebungkaman itu diam-diam memanfaatkan jabatannya
untuk membantu orang yang tidak lebih beruntung darinya. Tiap kali diisyarati
kontraktor yang ingin memberinya upeti dia malah menyuruh mereka untuk
mempekerjakan tenaga Indonesia dan mengurangi jumlah tenaga asing di
perusahaannya. Banyak orang susah yang dibantunya mendapatkan pekerjaan lewat
jabatannya. Dia mengajak teman-temannya semasa sekolah di zaman Jepang
–orang-orang yang lebih disenanginya ketimbang orang-orang yang sehari-hari
ditemuinya di kantor—untuk membantunya membangun ekonomi warga di Kadudampit,
di kaki Gunung Gede.
Ketinggian budi ini ditekankan lagi lewat keisengannya
dengan seorang pramugari muda. Perempuan itu sangat kesengsem padanya,
sedangkan dia yang sama sekali tidak punya pikiran seksual terhadap perempuan
itu memperlakukannya seperti anaknya. Pada perempuan itu dia mengakui status
perkawinannya. Pada istrinya, yang tidak kalah tinggi budinya, dia santai saja
bercerita tentang pramugari itu. Hubungan ini dikontraskan dengan perselingkuhan
temannya yang merupakan wujud penyalahgunaan kekuasaannya, padahal Hidayatlah
yang memberikan jabatan itu padanya. Hidayat ditampilkan sebagai manusia
teladan keterlaluan di tengah lingkungan yang korup. Makanya, wajar kalau
kemudian dia dicalonkan teman-temannya untuk jadi gubernur Jawa Barat.
Tapi, agaknya kontrol diri yang tampak dipermukaan itu
adalah hasil pembendungan gila-gilaan kedongkolannya. Dalam obrolannya tentang
nasib orang susah tersirat amarahnya pada para koruptor. Dia juga sebenarnya gampang
panasan terhadap orang-orang yang dianggapnya tidak becus menjalankan tugasnya
sebagai pejabat tinggi, seperti yang ditunjukkannya saat akhirnya menyetujui
pencalonannya karena yang dikabarkan akan menjadi calon gubernur juga adalah
orang yang dianggapnya sangat korup. Malahan sekalinya bendungannya jebol
kesehatannya langsung terpuruk, seperti saat dia menyadari perselingkuhan
temannya atau saat dia dikabari bahwa atasannya yang korup dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan. Dia kena serangan jantung sampai harus diopname.
Sekalipun seorang yang berbudi tinggi dan punya daya
dijadikan tokoh utama untuk menghadapi lingkungan korup itu, kesan yang
ditunjukkan buku ini adalah kekalahannya. Memang, lambang korupsi dalam buku
ini pada akhirnya kalah. Tapi, kekalahan itu dibikin mudah saja. Dimatikan
begitu saja dan korupsinya terbongkar. Sudah. Selain itu, pada akhirnya Hidayat
mengiyakan juga bahwa zaman ini bukan untuk orang-orang seperti dirinya.
Ladang Perminus adalah suatu gambaran pesimistis tentang perlawanan
terhadap korupsi sekalipun dari sudut pandang sosok yang punya daya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar