Rahasia dan Kebohongan Adalah Resep Ketegangan
Judul Buku: Girls in the Dark
Penulis: Akiyoshi Rikako
Penerjemah: Andry Setiawan
Penerbit: Haru
Tahun Terbit: 2014
Biasanya seseorang menarik perhatian orang yang diincarnya
dengan hal yang diminati si incaran. Seumur hidup saya sampai sekarang saya
tahu beberapa orang yang cari perhatian dengan menunjukkan wawasan sastranya
pada si incaran. Baru-baru ini saya menemukan lagi satu orang yang melakukan
cara itu. Namanya adalah Shiraishi Itsumi, seorang ketua Klub Sastra di sebuah
SMA katolik di Jepang. Dia menghidupkan kembali Klub Sastra sebagai siasat
untuk dekat dengan seorang lelaki. Tapi untuk sekarang kita cukupkan dulu
ngomong soal Itsumi sebagai tukang caper. Sebab kita akan membicarakan Itsumi
sebagai gadis yang ditemukan tewas tanpa diketahui penyebab jelasnya, pendorong
plot utama dalam Girls in the Dark
karya Akiyoshi Rikako ini.
Buku ini berisi enam versi cerita kematian Itsumi yang
dibacakan oleh enam anggota Klub Sastra dalam pertemuan mendaras rutinan dalam
gelap yang disebut yami nabe. Para
anggota klub menulis cerita versi mereka atas kejadian naas tadi.
Di sini subjektivitas masing-masing anggota terasa. Dalam
kisah tentang kematian Itsumi terdapat juga banyak informasi tentang diri
mereka masing-masing. Mulai dari cita-cita pribadi sampai alibi. Ya, kamu tidak
salah baca: alibi. Sebab, versi-versi itu mengandung argumen tentang siapa
pembunuh Itsumi. Dan tertuduh di sini adalah para anggota Klub Sastra. Inilah
yang meningkatkan ketegangan.
Katanya, ketika kita menyadari bahwa hal yang kita ketahui
selama ini adalah suatu kebohongan atau setidaknya keliru, rasa percaya kita
akan hal-hal lain jadi berkurang. Begitulah yang saya rasakan begitu membaca cerita
kedua, yakni versi Kominami Akane. Sebab, di situ ada beberapa informasi yang
bertentangan dengan yang disebutkan dalam cerita pertama, versi Nitani Mirei.
Maka, saya yang pada cerita pertama membaca dengan polos dan menerima begitu
saja, tidak bisa lagi percaya begitu saja pada apa-apa yang diceritakan dalam
buku, apalagi tertuduhnya selalu berbeda tiap cerita. Tidak menemukan hal yang
bisa dipercaya dapat menimbulkan ketegangan dan rasa penasaran yang
meletup-letup.
Berdasarkan bagian-bagian yang menunjukkan informasi tentang
si pencerita, bisa dibilang kebanyakan tokoh dalam novel ini adalah orang-orang
yang kelewat ambisius. Pengejawantahannya bisa bermacam-macam. Mulai dari
berambisi untuk mendapatkan pujaan hati, membuka usaha restoran gaya barat,
sampai berambisi untuk menjadi sosok paling penting dalam kehidupan sosial. Dan
di sini ambisius digambarkan tidak terlalu positif. Sebab, sifat itu mendorong
orang untuk melakukan tindakan-tindakan destruktif, seperti memanipulasi orang
untuk tunduk, mencelakakan, sampai membakar gedung.
Di sisi lain, ambisi itu, melalui tindakan-tindakan tadi,
membuat orang itu memiliki rahasia gelap. Tidak berhenti sampai di situ, buku
ini cukup panjang lebar merenungkan rahasia. Salah satu tokoh bahkan berkata
bahwa semakin seseorang kelihatan baik semakin busuklah rahasianya. Inilah yang
kemudian menjadikan rahasia sebagai salah satu kunci untuk menaklukkan dan
mengendalikan orang. Berdasarkan pandangan semacam ini, jelaslah kenapa para
anggota Klub Sastra menulis yang baik-baik tentang dirinya sendiri maupun
tentang Itsumi. Satu-satunya yang digambarkan tidak baik adalah orang yang
dituduh sebagai pembunuh Itsumi.
Soal budaya berahasia ini, Diana Detcheva sebagai murid
internasional, atau dengan kata lain, sebagai orang asing, memiliki pendapat
yang bagus. Dia menyatakan bahwa pergaulan para siswi SMA katolik itu seperti
berdiri di atas jalinan tali yang kedua ujungnya sama-sama ditarik. Semua orang
saling tersenyum di depan. Tapi seperti ada suatu ketidaknyamanan yang kuat di
baliknya. Di sini dia berbicara tentang ketulusan dan kesetiaan dalam
bersahabat. Topik ini digemakan lebih kuat lagi oleh hubungan antara Itsumi dan
anggota Klub Sastra.
Menurut saya, bukan hanya judul maupun acara yami nabe yang gelap dalam buku ini,
tetapi juga cara buku ini memandang persoalan-persoalan di dalamnya. Bahwa
hubungan antarmanusia adalah suatu hal yang suram, tidak bisa dipercaya, dan
sama sekali tidak tulus. Tapi untungnya kegelapan itu diimbangi dengan
ketegangan atas rahasia kematian Itsumi. Jadi ada yang menyeimbangkan rasa
suram itu. Perasaan saya bisa agak teralihkan. Kalau tidak, mungkin setelah
membaca ini, suasana hati saya akan muram durja, seperti ketika saya beres
menonton Requiem of a Dream atau
(yang belum lama ini) membaca New Grub
Street.
Di tengah semua ketegangan itu pernak-pernik kegiatan
membaca adalah salah satu peleganya. Ada banyak referensi karya menarik di
sini. Setiap anggota punya penulis atau karya yang berkesan untuk dirinya. Dan
referensi itu juga menunjukkan sedikit-banyak kepribadiannya. Misalnya, Koga
Sonoko yang berambisi menjadi dokter menyukai karya Michael Crichton dan Robin
Cook yang mengandung unsur medis. Lebih lanjut, cerita Sonoko berisi semacam
tips membaca yang menarik. Mulanya dia hanya bisa mengatakan hal-hal semacam
“menarik” setelah membaca buku. Tapi pergaulannya dengan Klub Sastra membuatnya
belajar untuk menikmati kegiatan membaca lebih jauh. Dia belajar untuk
menjelaskan perasaan dan penilaiannya ketika membaca, mendudukkan topik dalam
bacaannya dengan konteks di sekitarnya, membicarakannya bahkan mendebatkannya,
dan menuliskannya secara sistematis. Pendeknya, tips yang amat bermanfaat untuk
siapa pun yang ingin menikmati kegiatan membaca lebih jauh.
Sebagai sebuah teka-teki kematian seseorang, Girls in the Dark memantik rasa
penasaran yang terpuaskan di akhir cerita. Sebagai pemantik pembicaraan tentang
ambisi dan hubungan antarmanusia novel pertam Akiyoshi Rikako ini memberikan
asupan-asupan yang membuat kita lebih peka lagi terhadap topik-topik tadi. Apa
pun itu, novel ini tetap nikmat. Cukup menyisakan kegelisahan memang. Dan
tentunya rasa penasaran untuk membaca karyanya yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar