Aan Mansyur Terobsesi dengan Hal-Hal Ini
Judul Buku: Kukila
Penulis: M. Aan Mansyur
Penyunting: Siska Yuanita
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2012
Cerpen-cerpen yang dikumpulkan dalam suatu kumpulan tidak
melulu dihimpun dengan suatu benang merah yang tegas. Musababnya banyak. Bisa
karena beda minat penulisnya, tujuan penulisannya, dan waktu penggarapannya.
Tapi yang pasti kalau membaca suatu kumpulan cerpen, saya suka mencari kesamaan
antara semua isinya. Kadang kalau kesamaan itu berupa pengulangan unsur cerita,
saya suka seenaknya saja mengatakan barangkali itulah obsesi penulisnya.
Makanya waktu membaca Kukila dan
menemukan sejumlah pengulangan, saya jadi menduga-duga bahwa semua itu adalah
obsesi Aan Mansyur.
Kita mulai dari yang penggambarannya kurang beragam: bapak
yang meninggalkan keluarga. Pada kebanyakan cerpen yang berisi topik itu tidak
jelas si bapak pergi kenapa. Paling-paling di “Kukila” disebutkan bahwa si
bapak pergi karena dia tidak bisa menghamili si ibu dan sebenarnya dia jatuh
cinta pada lelaki yang menghamili ibunya. Variasi untuk topik ini lebih terasa
pada orang-orang yang ditinggalkannya. Pada suatu cerpen keluarganya jadi amat
berantakan. Cerpen lain menekankan kesetiaan si ibu dalam menantinya
sampai-sampai judulnya “Setia adalah Pekerjaan yang Baik”. Ada juga yang hanya
menjadikan kepergian itu sebagai kejutan dalam cerita.
Penggambaran semacam ini membuat saya mengecap rasa yang
memeluk kebanyakan tokoh aku dalam cerita-cerita tadi: kehilangan dan dicekik
pertanyaan yang tidak kunjung terjawab sampai-sampai hanya bisa membuat
spekulasi kelewatan. Ya, menurut saya salah satu kejutan dalam “Kukila” itu
terlalu fantastis apalagi kalau melihat keseluruhan ceritanya.
Saya kira wajar judul kumpulan cerpen ini adalah Kukila. Pertama, itulah nama tokoh yang
berulang muncul dalam cerpen-cerpen di sini. Kedua, cerpen berjudul nama itu
juga sebenarnya mengandung seluruh obsesi Aan Mansyur yang saya sebutkan dalam
tulisan ini. Yang kali ini saya bahas adalah orang-orang yang suka menulis
surat.
Dalam cerpen itu sekeluarga (bapak, ibu, tiga orang anak)
dan bahkan lelaki yang berselingkuh dengan si ibu saling surat-suratan. Dan
surat ini menjadi semacam medium untuk perasaan-perasaan yang tidak mampu disampaikan
secara lisan. Dalam cerpen lain bahkan ada “Tiga Surat Cinta yang Belum
Terkirim”. Tapi, izinkan saya menyimpang sedikit, akhir cerpen itu menyebalkan.
Si penulisnya mengaku bahwa surat itu ditulis dalam rangka sebuah kegiatan 30
hari menulis surat cinta. Biar relevan dengan tujuan pertama-tama cerpen itu
ditulis mungkin. Tapi tetap saja.
Kita juga akan menemukan tokoh-tokoh yang suka sekali
bersurat-suratan. Dari mulai anak sekolah yang suka menyampaikan surat-surat
cintanya di depan perpustakaan. Pada kesempatan lain bukan hanya selembar
kertas yang dijadikan surat, melainkan buku. Ya, ada kisah tentang sepasang
kekasih yang memiliki buku bersama. Mereka bergantian mengisinya. Meskipun
sama-sama naasnya kisah para penulis surat ini dengan orang-orang pada paragraf
sebelumnya, setidaknya surat mereka sampai.
Kalau ada yang bertanya apa yang paling dominan dalam
kumpulan cerpen ini, jawabannya adalah perselingkuhan. Sungguh! Sedikit-sedikit
selingkuh. Mulai dari anak sekolah yang selingkuh dengan teman pacarnya sampai
perempuan yang selingkuh dengan mahasiswa sebelah karena suaminya tidak bisa
menghamilinya.
Meskipun saya mendapat kesan bahwa kebanyakan perselingkuhan
itu dilakukan pihak perempuan karena kesalahan lelaki (kentara dalam cerita
tentang istri yang dipaksa pakai celana dalam bergembok), ada semacam
pernyataan gamblang bahwa semua orang berselingkuh dalam “Hujan. Deras Sekali”.
Gara-gara cerpen ini mungkin kamu akan berpikir bahwa kalau pasanganmu tidak
kunjung pulang dan berkata bahwa di tempatnya sedang hujan, dia pastilah sedang
selingkuh.
Konon katanya, salah satu pertanyaan yang paling menyebalkan
bagi para penulis profesional dalam setiap acara bicang-bincang adalah segala
pertanyaan tentang “bagaimana cara menulis cerita?” Barangkali Aan Mansyur juga
sebal dengan pertanyaan itu. Nah, kalau begitu, kapan-kapan kalau ada acara
bincang-bincang dengan Aan Mansyur mungkin kita bisa menanyakan kenapa dia
terus menuliskan tiga topik tadi dalam cerpen-cerpennya. Saya yakin jawabannya
pasti seru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar