Jumat, 26 Oktober 2018

Mimpi-Mimpi Sepuluh Malam - Natsume Soseki


Bagaimana Rasanya Kalau Kamu Terus-Terusan Bermimpi Tentang Mati dan Mencari?

Judul Buku: Mimpi-Mimpi Sepuluh Malam
Penulis: Natsume Soseki
Penerjemah: Lutfi Mardiansyah
Penerbit: Trubadur
Tahun Terbit: 2018


Teman saya pernah punya suatu ritual tiap bangun pagi. Sejak malam sebelumnya dia sudah menyiapkan buku catatan dan pulpen di sebelahnya. Jadi begitu bangun dia bisa langsung menuliskan mimpinya sedetil mungkin sebelum ingatannya lenyap. Katanya, itulah latihan supaya bisa melakukan Lucid Dream. Ah, bilang saja mau jadi siluman mimpi, pikir saya. Meskipun mungkin tidak didorong oleh niat serupa, saya yakin Natsume Soseki sama terusiknya dengan mimpi sehingga dia menulis Mimpi-Mimpi Sepuluh Malam.

Dengan judul yang mengandung kata ‘mimpi’, sepuluh kisah dalam buku ini berisi adegan-adegan yang bisa dideskripsikan dengan istilah “seperti dalam mimpi”. Mulai dari bocah yang mengaku sebagai orang yang pernah dibunuh si pemimpi bertahun-tahun lalu, sampai bertempur dengan ratusan babi di ujung tebing setelah memilih untuk tidak melompat ke laut.

Suasana-suasana luar biasa itu membuat saya bertanya-tanya apakah arti dari semua itu? Saya jadi merasa seperti salah seorang tokoh yang terus-terusan bertanya tentang arti dari “ketiadaan”. Memang selagi melompat dari satu mimpi ke mimpi lain kita akan menjumpai orang-orang yang mencari-cari sesuatu seperti itu. Di mimpi lain kita menemukan orang yang naik kapal laut tapi merasa dia tidak kunjung sampai di tujuan. Ada perasaan mengambang dalam ketidakpastian. Sementara orang-orang tadi berinisiatif mencari sesuatu, seorang pemuda justru baru bergerak karena disetir oleh seorang perempuan. Ujung-ujungnya dia menerima ganjaran yang tidak ringan.

Tapi yang membuat saya terus memikirkan buku ini adalah betapa kematian berulang muncul dalam beragam bentuk. Mulai dari kematian biasa tapi mengundang pertanyaan, kecelakaan (tenggelam atau jatuh dari tebing), bunuh diri, sampai dibunuh. Apa pun yang dilakukan orang-orang itu, ujung-ujungnya mereka mati, bahkan ketika misalnya mereka berubah pikiran pada detik-detik terakhir menjelang bunuh diri. Semua itu amat kontras dengan satu cerita yang bercerita tentang keabadian. Seorang pematung mahsyur dari zaman Kamakura (tahun 1100-an) memahat patung penjaga Kuil Gokokuji sambil disaksikan orang-orang zaman Meiji (tahun 1900). Si pematung itu terus hidup melewati zamannya.

Waktu membaca Mimpi-Mimpi Sepuluh Malam saya merasa seperti Sponge Bob yang melompat-lompat dari satu mimpi ke mimpi lain. Bedanya, sementara si koki Krusty Krab itu bisa santai saja walapun orang-orang yang mimpinya diterobosnya misuh-misuh, saya justru jadi gentar walaupun hampir semua orang yang mimpinya saya intai itu pada akhirnya tidak lagi hidup. Memang itu efek yang menggelisahkan. Tapi saya kira begitulah jadinya kalau kita menjumpai karya yang berkesan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar