Jumat, 12 Oktober 2018

Hidup di Luar Tempurung - Benedict Anderson


Sambil Menyelami Petualangan Pemikiran Ben Anderson, 
Minum Air Laut Bernama Kajian Wilayah


Judul Buku: Hidup di Luar Tempurung
Penulis: Benedit ROG Anderson
Penerjemah: Ronny Agustinus
Penerbit: Marjin Kiri
Tahun Terbit: 2016



Akhir tahun 2017 sampai awal tahun 2018 linimasa FB saya diramaikan oleh kabar tentang pernyataan bahwa jatah beasiswa LPDP untuk bidang sains dan teknologi akan diperbanyak sedangkan ilmu sosial sebaliknya. Keputusan ini diambil berdasarkan kebijakan pemerintah yang bertitik berat pada ranah industri. Beberapa pihak yang berseberangan menyatakan bahwa keputusan itu menggambarkan kecenderungan orang Indonesia yang lebih memperhatikan hal-hal yang kasat mata belaka, seperti yang dikemukakan juga oleh Dendy Raditya di Tirto.id. Dalam keadaan demikian saya jadi ingat otobiografi Benedict Anderson, Hidup Di Luar Tempurung.

Dalam buku ini, khususnya pada Bab 2 yang berjudul “Kajian Wilayah”, terdapat paparan panjang-lebar tentang pengaruh kedudukan Amerika Serikat pasca-Perang Dunia II terhadap perkembangan program Kajian Wilayah Asia Tenggara di universitas-universitas di sana. Sebelum Perang Dunia II kebanyakan penelitian sosial tentang Asia Tenggara dilakukan oleh orang-orang yang punya latar belakang birokrat di negeri-negeri itu. Perang Dunia II lewat dan AS menjadi negara adidaya. Kedudukan ini ditambah Perang Dingin yang memanas serta persoalan-persoalan di kawasan Asia (misalnya, Tiongkok, Korea, dan Timur Tengah) membuat AS merasa perlu mengetahui keadaan negara-negara Asia Tenggara. Perang Vietnam, selain melahirkan gerakan anti-perang di kalangan mahasiswa, turut meningkatkan minat terhadap Asia Tenggara. Dalam keadaan demikian, yayasan-yayasan semacam Ford dan Rockefeller, CIA, dan Departemen Luar Negeri AS menyokong penelitian-penelitian politik dan ekonomi negara-negara di luar Amerika dan Eropa Barat, termasuk Asia Tenggara. Lalu, pendek kata, Cornell dan Yale menjadi dua universitas dengan program Kajian Asia Tenggara yang terkemuka. Cornell dengan jurnal Indonesia-nya menjadi rujukan banyak peneliti tentang Indonesia.

Selain keadaan, Ben juga memaparkan peran orang-orang dalam mengembangkan program Kajian Asia Tenggara pada masa itu. Lauriston Sharp, direktur pertama program Kajian Asia Tenggara Cornell, dan George Kahin, orang yang memiliki banyak kontak di Washington dan juga aktif melakukan advokasi-advokasi politik, dianggap berperan penting dalam mengkader orang-orang mumpuni (salah satunya Claire Holt) untuk mengajar beragam mata kuliah berkerangka komparatif dan interdisipliner di program Kajian Asia Tenggara dan menarik dana dari Ford dan Rockefeller. Keduanya bahkan dianggap lebih terampil mengelola program Kajian Asia Tenggara daripada Karl Pelzer dan Harry Benda, dua dedengkot program Kajian Asia Tenggara di Yale. George Kahin sendiri, secara pribadi maupun profesional, digambarkan sangat positif oleh Ben dalam buku ini. Sikap Ben yang mengakui peran penting individu-individu dalam menggerakkan sejarah ini bisa ditelusuri sampai pengalamannya mewawancarai Tadeshi Maeda untuk disertasinya.

Pada salah satu bagian bab “Interdisipliner” Ben menceritakan pengalamannya ditolak saat mengusulkan untuk menyelenggarakan mata kuliah sejarah ilmu politik di program perbandingan politik. Menurutnya, mata kuliah sejarah suatu disiplin ilmu penting untuk memberi kesadaran tentang asal-usul, perkembangan, dan batasan-batasan suatu bidang keilmuan. Agaknya buku Hidup Di Luar Tempurung adalah kompensasi Ben atas peristiwa itu. Sebab, buku ini bisa juga disubjuduli “sejarah kajian wilayah di universitas-universitas di Amerika”. Di atas sudah dipaparkan secara singkat tokoh dan latar belakang politik perkembangan jurusan kajian wilayah.

Pada bab yang sama terdapat paparan tentang pengaruh industrialisasi (dan sistem pembagian kerja yang terspesialisasi) pada abad ke-19 terhadap pemberlakuan disiplin ilmu di universitas. Proses pendisiplinan ilmu ini makin tegas dengan munculnya asosiasi-asosiasi yang “mewakili” disiplin ilmu tertentu dan sistem pengalokasian dana terhadap jurusan berbasis disiplin ilmu. Kritik Ben terhadap kerangka disipliner semacam itu terangkum oleh pernyataan, “Nyatanya, ide ini murni khayalan, karena ilmu pengetahuan sendiri berubah sepanjang waktu dan ke banyak arah yang berbeda.” (hlm. 136)

Meskipun terasa seperti buku sejarah kajian wilayah berkedok otobiografi, buku ini tetap memaparkan perjalanan intelektual pribadi Ben.

Kecenderungan Ben untuk mengamini kerangka perbandingan dan menggunakan pendekatan interdisipliner ini berutang pada lingkungannya. Sejak di lingkungan rumah dia dididik untuk mengenal hal-hal dari orang-orang yang berbeda bahasa, wilayah, zaman. Di Cambridge dia kuliah Studi Klasik yang menurutnya adalah gado-gado dari ilmu sejarah, arkeologi, sastra, filsafat, filologi, dan sejarah seni. Meskipun di sana-sini dia menyatakan ketidaksukaan terhadap AS, dia berutang juga pada kecenderungan pragmatis dan praktis dalam tradisi universitas di AS. Kajian Asia Tenggara adalah suatu program yang dilandaskan pada maksud pragmatis. Untuk mengkaji seluk-beluk Asia Tenggara program ini menggunakan beragam disiplin ilmu, walaupun pada mulanya kebanyakan adalah ilmu politik dan antropologi. Dan Ben banyak bergelut secara intelektual di program ini.

Dalam buku ini terdapat pembahasan tentang sejumlah karya Ben. Dia membahas riset pustaka dan wawancara-wawancara dalam rangka penulisan Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946 beserta kesadaran barunya tentang pemuda dan bantahannya atas tesis George Kahin. Sekilas dibahas juga latar belakang tulisannya tentang kudeta Indonesia 1965 dan kudeta Thailand 1976 beserta reaksi berbeda yang didapatkannya. Di Indonesia dia dicekal, sedangkan di Thailand tidak. Dia juga memaparkan ringkasan bukunya tentang hubungan antara sastra dan politik Thailand, artikel telaah resepsi atas dua film Apichatpong Weerasethakul, dan artikel antropologi tentang sebuah kuil Buddha eksentrik di Thailand.

Tapi, di antara seluruh karyanya yang dibahas dalam buku ini tidak ada yang dibahas serinci Imagined Communities. Perhatian Ben terhadap nasionalisme bisa dilacak sampai pada masa-masa dia mempertimbangkan untuk memilih kewarganegaraan mana yang akan dipilihnya pada pertengahan tahun 1960-an. Pemikiran George Kahin, orang yang dihormati Ben, tentang nasionalisme dan revolusi di Indonesia yang sudah terbit jauh sebelum Ben datang ke Cornell (tahun 1950-an) tidak mungkin tidak menyulut minatnya terhadap persoalan nasionalisme.

Sasaran pembaca Imagined Communities adalah kalangan pembaca intelektual Inggris yang sejak akhir tahun 1970-an menyimak perdebatan tentang nasionalisme. Ben memetakan kubu-kubu politis dalam perdebatan itu. Dari ujung kiri sampai ujung kanan, dari kubu yang berpendapat bahwa nasionalisme modern berasal dari kelompok-kelompok etnis yang telah lama ada sampai kubu yang berpendapat bahwa nasionalisme adalah buah dari industrialisasi dan modernitas. Di tengah kalangan ini Ben ingin menyerang pandangan bahwa nasionalisme bermula di Eropa dan menyebar ke seluruh dunia. Dia juga ingin mengemukakan peran kapitalisme cetak dalam penyebaran nasionalisme. Selain itu, dia juga ingin menjelaskan bagaimana bisa nasionalisme mempunyai daya emosional yang sedemikian kuat. Di sisi lain, bayangan tentang sasaran pembaca itu juga yang membuat Ben mengisi Imagined Communities dengan referensi dan lawakan yang Inggris, hal yang membuat sebagian orang berpendapat buku itu sulit diterjemahkan.

Keadaan lingkungan yang memungkinkan Imagined Communities jadi sedemikian rupa adanya tidak luput dari pembahasan. Menurutnya, iklim universitas akhir 1970-an dan awal 1980-an yang belum seterpaku itu terhadap pasar tenaga kerja seperti sekarang memungkinkannya menuliskan karya semacam itu. Sementara itu, pencekalannya oleh pemerintahan Suharto sehingga dia “terbuang” ke Thailand dan karya sejarah adiknya, Perry Anderson, berperan besar dalam menggiringnya menuju kerangka perbandingan. Lebih jauh, karya Perry mengilhaminya untuk berpikir secara internasionalis, tidak lagi nasionalis Timur vs. Barat sebagaimana yang tercermin dalam pandangannya di “The Idea of Power in Javanese Culture”. Pengalaman Ben menghabiskan waktu dengan “kebudayaan” (baca: seni tradisional) Indonesia pada masa kerja lapangannya berpengaruh pada pembahasan hubungan “kebudayaan” dan politik dalam Imagined Communities di tengah masa hal semacam itu tidak lazim dilakukan dalam penelitian.

Secara gamblang pula Ben mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang kemudian berujung menjadi Imagined Communities dan buku-buku yang digunakannya sebagai perangkat intelektual dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Dia merincikan mana saja gagasannya yang dipengaruhi buku-buku tersebut. Karya para tokoh ekonomi-politik, sejarawan, antropolog, filolog, filsuf, sampai novelis yang dirujuknya itu tidak satu pun yang membahas nasionalisme tetapi dipakainya sebagai piranti pemecah masalahnya. Lewat paparan ini juga sekali lagi dia menyiratkan manfaat pendekatan interdisipliner.

Ben juga memaparkan tanggapan terhadap Imagined Communities baik pada saat masa terbitnya maupun pada masa cukup jauh setelahnya. Dia tidak heran ketika bukunya mendapatkan tanggapan dingin di Amerika karena dia memang meniatkannya untuk pembaca Inggris. Barulah tanggapan di Amerika itu berubah pada akhir 1980-an, pasca ambruknya Uni Soviet. Karena meningkatnya perhatian terhadap “nasionalisme yang berbahaya untuk Amerika”, Ben lantas dianggap sebagai “teoritikus” nasionalisme yang dibutuhkan padahal sebelumnya dia hanya dianggap sebagai orang kajian wilayah belaka.

Dalam pembahasan sejumlah karyanya terdapat perkembangan minat terhadap bentuk komunikasi global. Imagined Communities mengandung pembahasan buku sebagai penyampai gagasan nasionalisme. Under Three Flags membahas peran kapal uap dan telegram dalam gerakan anarkisme global. Di penghujung Hidup Di Luar Tempurung Ben membahas Google sebagai simbol globalisasi Amerika.

“Kian banyak negara yang berupaya mempertalikan dana hibah riset dengan agenda kebijakannya sendiri.” (hlm. 184) Bagian inilah yang menghubungkan buku ini dengan kabar tentang LPDP itu. Sementara di buku konteksnya adalah peningkatan alokasi dana Amerika terhadap kajian terorisme dan kajian Islam, konteks yang kita hadapi adalah kajian yang berkaitan dengan sains dan teknologi karena itulah yang dianggap diperlukan oleh pemerintah. Tapi, di sisi lain, kalau kita mau bicara soal apa yang diperlukan, saya jadi teringat soal guyonan Presiden Jokowi pada beberapa kesempatan. Katanya, kita membutuhkan jurusan yang mengkaji meme. Banyak yang menyatakan bahwa hal itu adalah bagiannya fakultas ilmu komunikasi. Tapi, yang ingin saya katakan adalah kita sebenarnya sudah punya bidang yang membahas “meme jadul” yakni folklor. Tapi, toh, sekarang bidang itu seakan-akan ketinggalan zaman sekali. Belum lagi kalau kita bicara soal kecenderungan untuk menggunakan pariwisata sebagai pendompleng pendapatan negara. Kalaupun kita mesti berpikir secara pragmatis, ya, ilmu-ilmu sosial berdaya juga untuk meneliti hal-hal semacam itu. Tapi, kok seakan-akan ilmu sosial dianggap tidak berguna.

Suatu kali saya pernah membaca sebuah artikel. Katanya, banyak anak sekolah di Jepang bercita-cita menjadi ilmuwan karena menonton serial Kamen Rider. Hidup Di Luar Tempurung ini bisa diumpamakan sebagai serial Kamen Rider itu sendiri. Tapi, memang yang minat terhadap Kamen Rider Ben Anderson ini tidak sebanyak anak sekolah yang suka nonton Kamen Rider itu. Jadi, apakah kita perlu membuat serial Kamen Rider yang menyelipkan ilmu-ilmu sosial supaya lebih banyak orang lagi yang merasa ilmu sosial itu keren dan berguna, dan terutama supaya pemerintah menganggap ilmu sosial itu pantas didanai?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar