Judul Buku
|
:
|
Menoleh Silam Melirik Esok
|
Penulis
|
:
|
J.J. Kusni
|
Penerbit
|
:
|
Ultimus
|
Tahun Terbit
|
:
|
2009
|
Lekra, Peristiwa September 1965, PKI, dan Komunis adalah
persoalan yang tak habisnya dibahas oleh banyak pihak. Menoleh Silam Melirik
Esok adalah salah satu buku yang membahas beberapa aspek tentang persoalan
tersebut.
Menoleh Silam Melirik Esok berisi tanggapan rinci J.J. Kusni
atas dua tulisan tanggapan Taufiq Ismail atas tulisannya. Bab pertama buku ini
adalah tulisan J.J. Kusni tentang pembicaraan dengan Sitor Situmorang seputar
gejolak budaya tahun ‘60an. Lalu, disusul oleh dua tulisan tanggapan Taufiq
Ismail atas tulisan tersebut –Taufiq memberi pengantar gamblang bahwa dua
tulisan itu diniatkan sebagai tanggapannya. Sepuluh bab berikutnya adalah
tanggapan rinci Kusni atas dua tulisan tadi. Buku ini ditutup oleh tulisan
Kusni yang pernah diterbitkan pada suatu majalah, tulisan tentang Lekra.
Sembilan bab Kusni menanggapi tulisan Taufiq tentang acara
diskusi Marxisme-Leninisme dalam Perspektif Budaya yang diadakan di UI pada
tahun 2000, sementara satu bab Kusni menanggapi tulisan saran Taufiq tentang
cara rekonsilisasi setelah Peristiwa 1965. Dua bab awal adalah penjelasan
maksud tanggapan tersebut. Melalui itu Kusni ingin mencari kebenaran dari
kenyataan atas hal-hal yang dibahas Taufiq. Tujuh bab selanjutnya adalah
tanggapan rinci dan panjang lebar atas alinea dan kadang kalimat dalam tulisan
Taufiq. Mulai dari informasi tentang Musyawarah Federasi Teater se-Indonesia
pada tahun 1962, sumber Taufiq tentang jumlah korban yang berkaitan dengan
komunis, hubungan Lekra dan Pramoedya, aktivitas dan arah Lekra, hubungan Lekra
dan PKI, Manifest Kebudayaan, Peristiwa 1965, paham Marxisme, sampai Indonesia
sebagai suatu cita-cita. Pada bab kesepuluh Kusni menanggapi dua contoh kasus
rekonsiliasi yang dibahas Taufiq, rekonsiliasi Partai Komunis Malaysia dan
pemerintah Malaysia dan rekonsiliasi di Afrika Selatan. Sepuluh tulisan Kusni
meluas dari tanggapan rinci tentang data dalam tulisan Taufiq, Lekra, paham
Marxisme, sampai gagasan tentang Indonesia.
Tanggapan rinci itu adalah bantahan atas pandangan Taufiq
tentang hal-hal yang dibahasnya. Lekra tidak memaksakan anggotanya untuk
berkarya dengan satu cara yang saklek atau mematuhi satu paham tertentu. Lekra
tidak menimang anggotanya dengan kemewahan yang macam-macam. Pram adalah contoh
untuk dua kasus ini. Lekra bukan PKI, walaupun sebagian anggota PKI aktif di
dalamnya. Penyebab korban berjatuhan bukan paham Marxisme, tapi manusia. Tak
ada paham yang tak usang, maka paham-paham berkembang agar bisa tanggap zaman.
Peristiwa 1965 bukan perang saudara. Ada kekuatan asing bermain di baliknya. Taufiq
Ismail bicara tentang rekonsiliasi dengan korban ’65 tapi sambil tetap
mempertahankan kebencian yang buta. Tuduhannya tak berpijak pada data yang
jelas. Ketidakjelasan data dan kebencian yang tersirat dalam tulisan Taufiq
adalah sasaran bantahan Kusni.
Terlepas dari gagasan di dalamnya, tulisan Kusni dikemas
dengan retorika yang matang. Tanggapannya ditulis secara deduktif: dimulai dari
hal-hal yang spesifik ada dalam tulisan Taufiq sampai hal-hal luas seperti
gagasan tentang keindonesiaan. Kesantunan sangat menonjol di dalamnya, bahkan
pada beberapa bagian tampak terasa bersantun-santun ria. Itu disengaja, apalagi
kalau mengingat bahwa itu adalah tanggapan atas tulisan Taufiq yang emosional. Kesantunan
itu adalah upaya mengimbanginya. Meskipun begitu, dakwaan gamblang muncul juga
saat akhirnya Kusni menyimpulkan bahwa Taufiq omong tentang rekonsiliasi tapi
sambil mempertahankan kebencian, dan Kusni mempertanyakan kesungguhan Taufiq. Saat
membahas Marxisme, yang dianggap lancung keujian dan usang oleh Taufiq, Kusni
menanggapinya dengan retoris. Dia bertanya balik, apa paham yang tidak lancung
keujian dan usang? Lalu, dia menjelaskan bahwa Marxisme berkembang beragam agar
tanggap zaman. Retorika Kusni terasa seperti melayangkan ke langit lalu
membanting ke tanah.
Menoleh Silam Melirik Esok adalah sebuah bantahan yang
tengil nan cerdik atas pandangan Taufiq Ismail tentang Lekra, PKI, Marxisme,
dan Peristiwa ’65.
Punya bukunya gak, kang?
BalasHapus