Senin, 23 November 2015

Buku dalam Indonesia Baru - Alfons Taryadi (penyunting)


Judul Buku
:
Buku dalam Indonesia Baru
Penulis
:
Alfons Taryadi
Penerbit
:
Yayasan Obor Indonesia
Tahun Terbit
:
1999



Konon, tidak banyak buku yang membahas tentang buku. Buku dalam Indonesia Baru adalah satu dari sedikit buku tentang buku.

Buku dalam Indonesia Baru berisi lima belas esai dari beragam tokoh. Lima belas esai itu sendiri adalah prasaran yang juga diajukan pada simposium “Meningkatkan Peranan Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Baru Indonesia” yang diselenggarakan oleh Yayasan Obor Indonesia pada tanggal 10-11 Februari 1999. Dalam buku ini, dunia perbukuan dibahas dari beragam sudut pandang, dari sudut pandang pengelolaan, teknologi, sampai sudut pandang kebudayaan. Pembahasan sebagian esai mengelotok, sebagian lain sekadar informatif. Oya, sebagai catatan, kalau kita membacanya dari kaca mata masa kini (tahun 2015), beberapa prediksi dalam buku ini sudah terjadi –ingat, buku ini diterbitkan tahun 1999.

Hampir setengah buku ini informatif belaka. Wagiono Sunarto mengikhtisarkan sejarah seni rupa yang berkaitan dengan dunia sampul buku di Indonesia, dan membicarakan sarana visual dan kemungkinannya. Mohammad Sobary bilang, kalau cerita anak baik, maka anak-anak akan bisa tumbuh dengan baik. Bondan Winarno bilang, penggunaan dana pinjaman luar negeri untuk pencetakan buku sekolah, mesti dibarengi dengan pengawasan mutu isi buku, supaya pencetakan itu tidak sekadar jadi proyekan. P.M. Winarno bicara tentang potensi internet dan komputer bagi bisnis buku –tentu hal ini sudah kita rasakan hari ini. Alfons Taryadi sedikit lebih menukik karena membahas juga dampak globalisasi pada bisnis penerbitan di Indonesia, dan siasat untuk mengatasinya. Sapardi Djoko Damono bilang, penerbitan buku terjemahan mesti digalakkan dan jangan dipandang sebagai ancaman bagi penulis lokal. Tulisan Teddy Surianto tentang potret distribusi buku di Indonesia punya potensi untuk jadi ngelotok, tapi penyajian yang sekadar tafsir tabel dan diagram membuat tulisannya kering. Tapi, tulisan yang paling sekadar informatif adalah tulisan Arselan Harahap tentang visi dan misi IKAPI. Sayang sekali, keinformatifan setengah isi Buku dalam Indonesia Baru malah membuatnya kering.

Beberapa esai ngelotok dan cara penyampaiannya tidak kering. Ignas Kleden menyatakan bahwa buku belum membudaya di Indonesia, karena dalam sejarahnya buku adalah bagian dari kalangan tertentu, sehingga pembaca buku sedikit, apalagi pembeli, walaupun harga buku murah dan tingkat melek aksara tinggi. Karlina Leksono bicara tentang kemungkinan buku sebagai sarana untuk otodidak. Y.B. Mangunwijaya mengajukan klasifikasi-klasifikasi buku sebagai panduan produksi buku IPTEK sebagai siasat untuk menyebarkan pengetahuan ke khalayak. A.B. Sutanto membahas secara rinci siasat pengelolaan intern perusahan penerbitan dan hubungan perusahaan dengan distributor. Untung saja,dengan cara penyajian yang enak, empat esai dalam Buku dalam Indonesia Baru menyajikan gagasan falsafi tentang buku, seseorang, dan keadaan sosekpol, dan gagasan praktis tentang pembatasan pasar dan pengelolaan perusahaan penerbitan.

Tiga esai terakhir dalam buku ini menunjukkan keadaan perbukuan di Thailand dan Pakistan. Berdasarkan tiga esai itu, keadaan perbukuan di Indonesia, Thailand, dan Pakistan mirip. Penerbit buku terpusat di daerah pusat, misalnya Bangkok. Penerbitan buku pendidikan, buku proyek pemerintah, bermutu rendah. Buku sendiri hanya dibaca untuk keperluan pendidikan formal. Buku tidak menjadi bagian gaya hidup. Secara tersirat tampak bahwa keadaan perbukuan di Indonesia lebih mending daripada di Thailand dan Pakistan. Tiga esai tentang penerbitan di Thailand dan Pakistan adalah peringatan bahwa jika Indonesia tak bersiasat, maka Indonesia akan bernasib sama seperti dua negara tersebut.

Buku dalam Indonesia Baru adalah buku tentang buku yang dikeringkan oleh keinformatifan sebagian besar isinya, walaupun disegarkan lagi oleh beberapa tulisan mendalam tentang perbukuan, dan perbandingan tentang keadaan perbukuan di negeri lain.


1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus