Judul Buku
|
:
|
Dendang
|
Penulis
|
:
|
Darman Moenir
|
Penerbit
|
:
|
Balai Pustaka
|
Tahun Terbit
|
:
|
1990 (Cetakan kedua; Cetakan pertama: 1988)
|
Tegangan antara kehidupan pribadi, rumah tangga, dan publik
adalah salah satu masalah yang dibahas dalam sastra Indonesia. Dendang adalah
salah satu novel yang membahasnya.
Dendang berfokus pada seorang lelaki berusia dua puluh tahun
sekian. Sampai tamat, namanya tidak disebutkan. Pada ranah publik dia bergulat
dengan lingkungan kantornya, sebuah perusahaan surat kabar. Meskipun pemimpin
utamanya dia hargai, kebanyakan pegawainya dia anggap kurang manusiawi. Pemimpin
redaksi yang pemarah dan tidak bertanggung jawab atas jabatannya sering
dikeluhkannya. Perusahaan itu dia anggap tidak profesional sebagai surat kabar.
Di rumah dia dan istrinya –namanya Han—dingin. Saat hamil anak pertama, dan
bahkan menjelang melahirkan, istrinya tak banyak bicara. Dia sendiri sering
merasa tak enak membicarakan perasaan dan pemikirannya pada istrinya, padahal
dalam batinnya banyak hal menggelisahkannya. Selain rumah tangga dan
pekerjaannya, agama (Islam), tradisi (beberapa adat istiadat daerah asalnya, M
(Minang)), dan hasratnya untuk terus belajar (khususnya sastra –dia juga
seorang penulis) adalah beberapa hal yang bergolak dalam batinnya. Dalam
Dendang Tokoh-Aku bergulat dengan lingkungan kantor surat kabar, istrinya, dan
dirinya sendiri.
Hubungan Tokoh-Aku dan pekerjaannya dibahas panjang lebar.
Pada awalnya dia banyak mengeluh tentang keadaan kantor. Keluhan ini pun
ditumpahkan panjang lebar. Sempat terpikir untuk mengundurkan diri, tapi batal
karena dia mempertimbangkan istri dan rumah kontrakannya. Lalu, karena sebuah
insiden, dia dipindahtugaskan. Sengsara membawa nikmat. Karirnya membaik,
walaupun dia bekerja di bagian yang awalnya tak dikuasainya. Keadaan ini memicu
niat untuk melanjutkan sekolah. Walaupun mengandung unsur keberuntungan,
perkembangan karir Tokoh-Aku dinamis dan kausalitasnya jelas.
Sayangnya, suatu masalah dalam pergolakan batin Tokoh-Aku
digambarkan kurang padu. Berkali-kali Tokoh-Aku bicara betapa dia melalaikan
salat tanpa merasa bersalah, walaupun dia sadar salat adalah sebuah kewajiban
seorang muslim. Lalu, tiba-tiba salat dilakukannya dengan penggambaran yang
sama sekali tidak menunjukkan bahwa sebelumnya hal itu pernah bergolak dalam
batinnya. Peningkatan keadaan ekonomi bisa jadi isyaratnya, tapi
penggambarannya memberi kesan bahwa keadaan itu lebih berkaitan dengan
persoalan lain daripada dengan pandangannya tentang agama. Pergolakan batin
Tokoh-Aku dan agama digambarkan secara samar-samar.
Hubungan Tokoh-Aku dan istrinya adalah minus besar Dendang. Minusnya
terletak pada reaksi Han setelah melihat seorang perempuan merangkul bahu
Tokoh-Aku dalam sebuah foto teman-teman kampus –Tokoh-Aku kuliah lagi. Tapi
pengaduannya tentang itu pada pimpinan umum kantor, rektor kampus, dan “guru”
Tokoh-Aku adalah penggambaran yang hiperbolis. Kenekatan Han musykil terjadi
karena sepanjang buku dia digambarkan sangat pendiam. Hidupnya pun lebih banyak
di rumah. Barangkali kenekatan itu adalah ledakan dari pendaman perasaan Han
selama menyaksikan Tokoh-Aku lebih banyak menyibukan diri di luar. Memang juga,
cemburu bisa membuat buta. Tapi, kalau mengingat bahwa Han adalah “orang
rumahan”, kecil kemungkinan dia sampai nekat mengadu pada pimpinan umum kantor
dan rektor kampus Tokoh-Aku, orang yang sama sekali asing baginya. Selain itu,
minus pun terletak pada reaksi Tokoh-Aku setelah kemarahan Han. Iya,
dikata-katai “babi” tidak menyenangkan. Tapi, kalau sampai langsung terpikir
untuk cerai, betapa pendek pikir Tokoh-Aku ini. Lantas, apa arti sepuluh tahun
pernikahan bagi dia dan Han? Fatalnya, kejadian ini digunakan sebagai puncak
cerita. Hubungan Tokoh-Aku dan istrinya yang digambarkan dengan sangat payah tampak
jelas pada adegan puncak Dendang.
Dendang adalah sebuah kisah tentang pergulatan seorang
lelaki, istrinya, dan lingkungan kantornya, yang adegan puncaknya mengandung
minus yang fatal, khususnya dalam hal penokohan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar