Rabu, 01 Juli 2015

Senja Di Jakarta - Mochtar Lubis


Judul Buku
:
Senja Di Jakarta
Penulis
:
Mochtar Lubis
Penerbit
:
Yayasan Obor Indonesia
Tahun Terbit
:
1992 (terbit pertama: 1963)



Senja Di Jakarta menyoroti lebih dari satu tokoh. Mereka berasal dari beragam kalangan. Ada orang kere (Saimun dan Itam), pegawai negeri (Sugeng, Suryono, Idris), kelompok diskusi (Pranoto, Ahmad, Yasrin, Murhalim), komplotan politik (Husin Limbara, Raden Kaslan, Halim), dan –tanpa bermaksud mendiskreditkan—perempuan (Fatma, Iesye, Hasnah, Neneng, Dahlia). Itu hanyalah penyederhanaan penggolongannya, karena kebanyakan mereka memiliki peran yang jamak, apalagi setelah mereka saling bersentuhan karena beragam urusan. Di antara semuanya Suryonolah orang yang menyentuh paling banyak golongan. Bisa dibilang semua tokoh di sini adalah tokoh utama bagi plotnya masing-masing.

Mereka semua bersengkarut dengan harapan dan kesenangan beragam taraf di sela-sela masalahnya. Orang kere berjuang supaya tidak kelaparan. Mendapat keahlian baru, seperti mengemudikan mobil, memiliki sisa upah, dan menemukan lawan jenis yang menimbulkan cinta cukup membuat Saimun senang. Pegawai negeri berusaha tidak tergoda korupsi sambil mengatasi keinginan istri dan memenuhi kebutuhan keluarga, kecuali Suryono karena dia lajang. Ada yang teguh, ada yang menyerah dan korupsi. Komplotan politik bersiasat menggalang dana untuk keperluan pemilu mendatang sambil membendung serangan kaum oposisi dan membentuk citra bagus lewat surat kabar. Para perempuan mendambakan hidup berkecukupan. Ini mewujud dalam tindakan yang menerima sampai tindakan yang mempersetankan segala. Kelompok diskusi membahas bagaimana Indonesia mesti menghadapi kemajuan zaman, kemajuan teknologi, Timur dan Barat, demokrasi, komunis atau islamis sebagai jalan untuk memajukan Indonesia, dst. Banyak sudut dalam kelompok ini. Ahmad dan Murhalim bertentangan karena pahamnya: komunis dan islam. Pranoto penengahnya. Tapi, saat akhirnya Murhalim mati karena suatu kejadian, upaya Pranoto untuk menengahi malah tampak seperti orang dungu yang kebanyakan omong. Suryono memandang kelompok diskusi itu dengan mencemooh, bahkan dia sempat bilang diskusi begitu sia-sia. Memang, pergolakan batin maupun fisik Suryono digambarkan paling banyak dan dalam.

Plot-plot disajikan dalam bab yang dirangkai berdasarkan bulan. Dari Mei tahun ‘60an sampai Januari tahun depannya. Pengisahannya berloncat-loncat dari satu plot ke plot lain yang sepintas tampak sembarang. Awal-awal plot Saimun dan Suryono banyak disorot, lalu menjelang pertengahan plot siasat-siasat komplotan politik, lalu menjelang akhir penyorotan loncat-loncat dengan cepat. Plot kelompok diskusi makin meruncing pada pertentangan Ahmad dan Murhalim. Pemplotan Senja Di Jakarta rumit, sehingga sangat mungkin pembaca yang kurang fokus mesti bolak-balik ke halaman sebelumnya.

Nasib tokoh-tokoh memberikan kesan begini: Kubu islam kalah. Kubu komunis menang, tapi dengan wajah licik. Dalam demokrasi hanya ada pertimbangan yang berlarut-larut dan berputar-putar, sehingga tak ada pergerakan. Orang-orang oportunis selamat. Orang yang kebanyakan gelisah mati. Pihak yang kalah dalam pertarungan politik kalah sekalah-kalahnya. Untung saja dalam Senja Di Jakarta yang pesimis itu ada secercah harapan. Suami yang khilaf diampuni setelah dia dihukum. Dalam kemiskinannya orang kere dihangatkan cinta.

Senja Di Jakarta adalah kelindan kisah berjubel tokoh dan masalah yang dalam kepesimisannya terselip secercah harapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar