Judul Buku
|
:
|
Senja Di Jakarta
|
Penulis
|
:
|
Mochtar Lubis
|
Penerbit
|
:
|
Yayasan Obor Indonesia
|
Tahun Terbit
|
:
|
1992 (terbit pertama: 1963)
|
Senja Di Jakarta menyoroti lebih dari satu tokoh. Mereka
berasal dari beragam kalangan. Ada orang kere (Saimun dan Itam), pegawai negeri
(Sugeng, Suryono, Idris), kelompok diskusi (Pranoto, Ahmad, Yasrin, Murhalim), komplotan
politik (Husin Limbara, Raden Kaslan, Halim), dan –tanpa bermaksud
mendiskreditkan—perempuan (Fatma, Iesye, Hasnah, Neneng, Dahlia). Itu hanyalah
penyederhanaan penggolongannya, karena kebanyakan mereka memiliki peran yang
jamak, apalagi setelah mereka saling bersentuhan karena beragam urusan. Di
antara semuanya Suryonolah orang yang menyentuh paling banyak golongan. Bisa
dibilang semua tokoh di sini adalah tokoh utama bagi plotnya masing-masing.
Mereka semua bersengkarut dengan harapan dan kesenangan
beragam taraf di sela-sela masalahnya. Orang kere berjuang supaya tidak
kelaparan. Mendapat keahlian baru, seperti mengemudikan mobil, memiliki sisa
upah, dan menemukan lawan jenis yang menimbulkan cinta cukup membuat Saimun senang.
Pegawai negeri berusaha tidak tergoda korupsi sambil mengatasi keinginan istri
dan memenuhi kebutuhan keluarga, kecuali Suryono karena dia lajang. Ada yang
teguh, ada yang menyerah dan korupsi. Komplotan politik bersiasat menggalang
dana untuk keperluan pemilu mendatang sambil membendung serangan kaum oposisi
dan membentuk citra bagus lewat surat kabar. Para perempuan mendambakan hidup
berkecukupan. Ini mewujud dalam tindakan yang menerima sampai tindakan yang
mempersetankan segala. Kelompok diskusi membahas bagaimana Indonesia mesti
menghadapi kemajuan zaman, kemajuan teknologi, Timur dan Barat, demokrasi, komunis
atau islamis sebagai jalan untuk memajukan Indonesia, dst. Banyak sudut dalam
kelompok ini. Ahmad dan Murhalim bertentangan karena pahamnya: komunis dan islam.
Pranoto penengahnya. Tapi, saat akhirnya Murhalim mati karena suatu kejadian,
upaya Pranoto untuk menengahi malah tampak seperti orang dungu yang kebanyakan
omong. Suryono memandang kelompok diskusi itu dengan mencemooh, bahkan dia
sempat bilang diskusi begitu sia-sia. Memang, pergolakan batin maupun fisik
Suryono digambarkan paling banyak dan dalam.
Plot-plot disajikan dalam bab yang dirangkai berdasarkan
bulan. Dari Mei tahun ‘60an sampai Januari tahun depannya. Pengisahannya
berloncat-loncat dari satu plot ke plot lain yang sepintas tampak sembarang.
Awal-awal plot Saimun dan Suryono banyak disorot, lalu menjelang pertengahan plot
siasat-siasat komplotan politik, lalu menjelang akhir penyorotan loncat-loncat
dengan cepat. Plot kelompok diskusi makin meruncing pada pertentangan Ahmad dan
Murhalim. Pemplotan Senja Di Jakarta rumit, sehingga sangat mungkin pembaca
yang kurang fokus mesti bolak-balik ke halaman sebelumnya.
Nasib tokoh-tokoh memberikan kesan begini: Kubu islam kalah.
Kubu komunis menang, tapi dengan wajah licik. Dalam demokrasi hanya ada
pertimbangan yang berlarut-larut dan berputar-putar, sehingga tak ada
pergerakan. Orang-orang oportunis selamat. Orang yang kebanyakan gelisah mati.
Pihak yang kalah dalam pertarungan politik kalah sekalah-kalahnya. Untung saja
dalam Senja Di Jakarta yang pesimis itu ada secercah harapan. Suami yang khilaf
diampuni setelah dia dihukum. Dalam kemiskinannya orang kere dihangatkan cinta.
Senja Di Jakarta adalah kelindan kisah berjubel tokoh dan
masalah yang dalam kepesimisannya terselip secercah harapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar