Judul Buku
|
:
|
Perang
|
Penulis
|
:
|
Rama Wirawan
|
Penerbit
|
:
|
Jalasutra
|
Tahun Terbit
|
:
|
2005
|
Ada seorang pemuda. Kegiatan yang seru bagi dia adalah
diskusi tentang pemikiran. Sejak masa kuliah sampai sampai kerja di sebuah
percetakan dia tak menemukan teman untuk melakukannya. Selain itu, dia
mendambakan seseorang yang spesial untuk jadi kawan hidup. Naluri berontak dan
hasrat untuk diskusinya tinggi, tapi tak kunjung tersalurkan. Dia merasa bosan.
Dialah Perang Hayat. Pergolakan Perang Hayat untuk mengatasi kebosanan adalah
fokus dalam Perang.
Adalah Deni, seorang kenalan yang punya reputasi kurang baik
di kantor, pintu menuju solusi atas kegelisahan Perang. Dengan Deni Perang
berdiskusi tentang punk, neoliberalisme, alienasi kerja, anarkisme, ekspresi
diri, dst. Deni membuat dia berkenalan dengan sebuah komunitas punk di sebuah
taman kota dan distro punk di selatan Jakarta. Hasrat Perang untuk diskusi
tersalurkan. Kebosanannya atas lingkungan kerjanya terobati. Masalahnya adalah
penggambaran adegan diskusi itu tampak seperti buku teks tentang paham-paham
yang dijadikan dialog. Kaku. Rasanya seperti sedang kuliah saja. Ditambah lagi,
pada adegan diskusi itu seringkali Perang dikesankan seperti orang yang baru tahu
tentang topik yang dibicarakan, walaupun dia mengaku pernah membaca buku yang
berkaitan, walaupun dia mengaku sejak kuliah dia suka membaca buku politik dan
filsafat. Penggambaran cara Perang bertanya dalam kebanyakan diskusi
mengesankan bahwa itu ditulis hanya supaya diskusi itu terasa seperti orang
mengobrol, bukan esai panjang tentang pengantar isme-isme, dst. Yang
penggambarannya meyakinkan paling-paling hanya saat Deni dan Perang diskusi
tentang ekspresi diri, cara berontak, dan kompromi. Dalam obrolan itu
Denisebenarnya sempat meledek diskusi tentang isme-isme itu. Itu terdengar
seperti ledekan terhadap orang-orang yang suka diskusi tentang isme-isme dengan
cara yang impersonal dan mengawang. Tidak bisa dimungkiri bahwa adegan diskusi
dalam Perang memberikan pengetahuan tentang topiknya, tapi cara adegan itu
digambarkan membuatnya jadi terasa kaku, padahal itu adalah unsur penting dalam
pengatasian masalah Perang Hayat.
Ada hal lain yang jadi dambaan Perang Hayat: seorang kawan
hidup untuk hidup yang remang ini, dengan kata lain pacar. Perang sempat
bercerita tentang kecengannya yang bernama Via. Sayangnya, Via itu tipe
perempuan yang suka ke mall, belanja, dst. Bahkan tentang komunisme, dia sempat
membuat komentar yang membuat Perang ilfil. Via jelas-jelas bukan tipe Perang. Cerita
tentang Via berada di awal novel, berfungsi untuk memberi penekanan akan keterasingan
Perang. Setelah Deni dkk. “membebaskan” Perang, dambaan tentang pacar ini
mewujud dalam mimpi. Lalu, perkenalannya dengan Adit sang pengamen cilik
mengantarnya bertemu Mirah, kenalannya
semasa kuliah yang pernah bicara tentang subversi dan cinta. Pada mimpi pertama
Perang tetang kawan hidup itu identitas perempuan itu buram, sedangkan setelah
bertemu Mirah, ternyata perempuan itu adalah Mirah. Ya, mimpi itu muncul dua
kali, dan digambarkan dengan kalimat yang sama dengan sedikit variasi.
Sebenarnya pada mimpi pertama Perang merasa suara perempuan itu pernah dia
dengar. Itu petunjuk bahwa dia adalah Mirah. Masalahnya adalah pembicaraan
Perang dan Mirah tentang subversi dan cinta yang terjadi semasa mereka kuliah,
baru dibahas setelah Perang bertemu Mirah lewat Adit. Jadi, walaupun bagi
Perang Mirah adalah orang masa lalu yang sempat diabaikannya, tapi ternyata
dialah perempuan yang dia inginkan jadi kawan hidup, bagi pembaca Mirah adalah
tokoh yang peran pentingnya bagi kisah Perang dinodai oleh keujug-ujugan
kemunculannya.
Walaupun di sana-sini bertebaran pembahasan tentang
isme-isme dan hal-hal besar lainnya, Perang berfokus pada permasalahan yang
personal: seorang pemuda ingin diskusi dan punya pacar yang mengerti dia untuk
menyeimbangi lingkungan kerja yang membosankan. Justru karena kepersonalan
permasalahannya, maka wajar bila di akhir cerita tokoh utamanya mendapatkan dua
hal yang dia inginkan.Perang itu kisah yang kepersonalan masalahnya membuat akhir
bahagia terasa wajar, walaupun mesti melibatkan omong-omong besar gara-gara
tokoh utamanya tertarik pada topik itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar