Judul Buku
|
:
|
Telepon
|
Penulis
|
:
|
Sori Siregar
|
Penerbit
|
:
|
Balai Pustaka
|
Tahun Terbit
|
:
|
1992 (terbit pertama kali tahun 1982)
|
Telepon berisi serangkaian telepon iseng seorang pegawai
toko buku Jakarta yang gelisah dan punya rasa keadilan yang terlalu tinggi, dan
konsekuensinya.
Pegawai toko buku itu bernama Daud, seorang pelamun dua
puluh tahunan yang merantau dari Medan. Walaupun sudah beberapa kali ditegur
Lisa, pacarnya yang masih kelas dua SMA, dia tidak berhenti melakukan telepon
iseng. Kebanyakan isi telepon iseng itu adalah kabar bohong. Beberapa kali
isinya adalah suatu ancaman, tindakan yang dilakukannya kalau mendengar suatu
ketidakadilan, seperti saat temannya, Burhan, dan beberapa orang lain dipecat
sewenang-wenang oleh majikannya dan saat sebuah rumah sakit menolak melayani
orang yang tidak mampu bayar. Hobinya itu bermula ketika dia sedang
bokek-bokeknya dan dalam keadaan tidak menentu. Dia sembarang saja menelepon
entah siapa. Tapi, curhat orang di seberang sana yang tanpa diduga menyenangkan
hatinya.
Sebagai seorang perantau, dia banyak merenungi rantaunya,
suatu hal yang banyak diungkapkannya pada Ramli, teman sekampung yang berniat
merantau. Jakarta adalah tempat keras yang tidak punya rasa kasihan. Dalam
persaingannya dengan banyak orang lain, seseorang tidak jarang mesti merangkap
pekerjaan. Seringkali kemenangan seseorang yang sebenarnya berkecukupan berarti
kekalahan telak bagi orang yang sudah melarat. Ditambah lagi, kemonotonan
sehari-hari. Keadaan semacam inilah yang membuatnya sempat berpikir untuk
pulang kampung saja, suatu hal yang ditentang Simangunsong, teman sekampungnya
yang lain, karena pulang kampung sebelum sukses benar berarti memalukan diri
sendiri.
Meskipun merasa senang dengan telepon-telepon iseng itu, di
sisi lain, sesekali Daud merasa bersalah dengan tindakannya, khususnya yang
berisi ancaman atau isapan jempol yang meresahkan. Kekhawatiran dan rasa senang
itu silih berganti. Tapi, kemudian justru kekhawatiran itu mengalahkannya.
Hantaman pertama adalah Lisa mengancam akan memutuskannya kalau dia tidak
segera menghentikan hobinya itu. Hantaman kedua adalah pengakuan Ibu Suroso,
seorang perempuan yang secara tersirat ditaksirnya, tentang telepon-telepon
iseng soal anaknya yang makin lama makin meresahkan dan mengganggu ketentraman
keluarganya sampai-sampai mereka harus memanggil polisi. Kejadian ini sempat
membuatnya berniat untuk mengaku pada polisi dan membantu mereka mengusut kasus
Ibu Suroso. Berdekatan dengan itu, dalam suatu telepon iseng, dia merasa harga
dirinya sebagai penelepon iseng ulung dilecehkan oleh lawan bicaranya yang
mengiyakan saja semua kebohongannya seakan lawan bicaranya itu sadar sedang
berhadapan dengan seorang penelepon iseng. Rasa bersalah itu mencapai titik
tertingginya saat dia berhalusinasi bahwa seorang majikan yang pernah dia ancam
mengetahui tindakannya dan melaporkannya ke polisi.
Telepon iseng adalah suatu mekanisme pertahan diri Daud atas
segala tekanan yang dirasakannya selama merantau. Dia sebenarnya merasa tidak
berharga dan tidak berdaya dalam rimba itu. Tapi, dia tidak bisa
mengekspresikannya secara leluasa dalam keadaan sehari-hari. Semua perasaan itu
hanya bisa ditumpahkannya saat dia menulis surat yang dikirimkan maupun tidak
dikirimkan. Itu pun dalam wujud yang tersirat karena perasaan itu
diproyeksikannya pada orang atau benda lain. Barulah dalam posisi sebagai
pendengar curhat orang-orang yang diteleponnya secara iseng itulah dia merasa
berdaya dan berharga. Dia merasa diperlukan dan pada gilirannya rasa penting itu
membuatnya merasa punya kekuatan untuk membantu mereka dan kemudian orang-orang
yang ada dalam posisi tidak berdaya dan tidak berharga. Makanya, kemudian dia
bisa berani mengancam majikan yang secara semena-mena mem-PHK temannya dan
rumah sakit yang tidak mau melayani orang yang tidak bisa bayar. Dia bahkan
sempat berkhayal memiliki suatu lembaga konsultan bagi pelbagai masalah, suatu
khayalan yang sangat dinikmatinya. Secara tidak sadar dia merasa dengan
menolong mereka dia menolong dirinya sendiri, padahal tindakannya untuk
membantu mereka justru lebih sering terlalu kelewatan.
Telepon adalah suatu kisah psikologis tentang dampak pola
hidup kota besar yang meremukkan hati dan menyebatangkarakan, dan reaksi tidak
lazim yang sengaja ditunjukkan untuk memberikan penekanan atasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar