Senin, 17 Oktober 2016

STA & Perjuangan Kebudayaan Indonesia (1908-1994) – Muhammad Fauzi


Judul Buku
:
STA & Perjuangan Kebudayaan Indonesia (1908-1994)
Penulis
:
Muhammad Fauzi
Penerbit
:
Dian Rakyat
Tahun Terbit
:
1999



STA & Perjuangan Kebudayaan Indonesia (1908-1994) memotret sisi kehidupan Sutan Takdir Alisjahbana yang berkaitan dengan bahasa (khususnya pengembangan bahasa Indonesia), penerbitan, studi filsafatnya, pendidikan, politik, dan keluarga.

Sebelum isinya dibahas, ada baiknya sistematika penulisan buku ini dijelaskan secara singkat. Secara sepintas, buku ini disusun secara kronologis. Bab awal, “Masa Kecil”, berisi masa awal hidupnya sampai dia hendak melamar kerja di Balai Pustaka. Bab dua, “Lahirnya Pujangga Baru”, berisi peristiwa selama dia bekerja di Balai Pustaka dan aktif di Pujangga Baru. Kira-kira dari akhir tahun ‘20an sampai tahun 1941. Bab tiga, “Kalah dan Menang”, berisi peristiwa selama pendudukan Jepang di Indonesia sampai awal-awal tahun ‘50an. Bab empat, “Kebangkitan dan Perjuangan”, berisi peristiwa dari tahun ‘50an sampai pertengahan ‘60an. Bab lima dan enam, “Zaman Baru” dan “Membangun Rumah Masa Depan”, berisi peristiwa setelah 1965 sampai akhir ‘70an. Bab tujuh, bab terakhir, “Hidup Pun Berjalan Terus”, berisi peristiwa dari awal ‘80an sampai STA wafat. Meskipun demikian, di sela-sela laju yang kronologis itu seringkali pembahasan diloncatkan ke masa setelahnya atau sebelumnya. Hal ini membuat beberapa pembahasan yang meloncat tapi waktunya tidak diterangkan agak sulit diketahui kejelasannya. Inilah juga yang membuat beberapa perubahan pandangan atau tindakan STA sulit dinilai. Misalnya, agak sulit untuk menjawab pertanyaan “apakah sikap anti-bahasa-daerah untuk digunakan dalam bahasa Indonesia sudah ada dalam pandangan STA sejak awal menggeluti bahasa Indonesia atau tidak?”


Pendidikan

Sebagaimana lazimnya anak-anak orang atas Hindia Belanda pada awal-awal abad 20, STA menjalani pendidikan formal Belanda. Dia masuk HIS, Kweekschool (sekolah guru), lalu Hogere Kweekschool. Keputusannya untuk melanjutkan ke sekolah guru dipengaruhi oleh sosok ayahnya yang kepala sekolah. Selulusnya dari sana STA sempat bekerja sebagai guru, sebelum akhirnya merantau ke Jawa untuk bekerja di Balai Pustaka. Selama bekerja di Balai Pustaka STA belajar juga di Recht Hogeschool. Pendidikan formalnya baru dilanjutkan lagi saat dia menuliskan tesis. Dia mengerjakannya sebagai mahasiswa filsafat UI. Tapi karena promotornya yang seorang Belanda memutuskan untuk pulang ke Belanda karena kasus Irian Barat, STA pindah ke Jerman, ke Universitas Bonn, untuk merampungkan tesisnya. Lalu, dia pindah lagi ke Stanford, ke Center For Advanced Studies in Behavioral Sciences, dengan beasiswa Rockeffeler Foundation lalu Asia Foundation.

STA pun banyak berkiprah sebagai pengajar di institusi-institusi pendidikan formal. Dia pertama kali mengajar di sekolah perhubungan Palembang setelah lulus dari Hogere Kweekschool. Pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia dia bersama Perkoempoelan Memadjukan Ilmoe dan Keboedajaan mendirikan SMA Memadjukan Ilmoe dan Keboedajaan. Perkumpulan itu pun kemudian mendirikan universitas. Inilah cikal bakal Universitas Nasional. Pada tahun ‘60an, saat tinggal di Malaysia, STA sempat menjadi guru besar Melayu Studies di Universitas Malaya. Pada tahun ‘70an STA mendirikan balai seni di Toyabungkah, Bali. 

STA berupaya mengembangkan institusi pendidikan formal tersebut. SMA Memadjoekan Ilmoe dan Keboedajaan dianggap ilegal oleh Belanda yang waktu itu hendak menduduki kembali Indonesia. STA siap ditahan atas hal ini. Upaya paling besar dikerahkannya untuk Universitas Nasional. Pada masa awal pendiriannya dan tahun ‘60an universitas ini terkena banyak masalah agraria. Dengan bantuan ekonomi dan politis banyak pihak STA memperjuangkannya. Di Unas juga kemudian STA mendirikan banyak pusat kajian, dari kajian Islam, kajian perempuan, sampai kajian futurologi. Di Melayu Studies Universitas Malaya pun dia melakukan pengembangan yang kontroversial. Dia memasukan mata-mata kuliah yang dianggap tidak relevan dengan Melayu Studies oleh banyak dosen di sana, seperti memasukan sastra Eropa ke dalam kurikulum. Ketika memiliki suatu jabatan dalam institusi pendidikan, STA mengembangkan institusi tersebut berdasarkan keyakinannya.


Bahasa Indonesia

Sejak tahun ‘20an akhir sampai tahun ‘80an STA menggeluti pengembangan bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda mempengaruhi ketertarikannya pada bahasa Indonesia. Pada masa dia kerja di Balai Pustaka dia menulis tentang bahasa Indonesia di majalah Pandji Poestaka. Pada tahun ‘50an dia menuliskannya di majalah Pembina Bahasa Indonesia. Karya tulisnya tentang bahasa Indonesia yang dianggap karyatama adalah Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia. Kemesraannya dengan bahasa Indonesia terjadi pada masa dia dipekerjakan di Komisi Bahasa Indonesia yang dibentuk Jepang. Di sana dia bertugas menyusun istilah-istilah baku bahasa Indonesia. Dalam pekerjaan ini, dia berdiri di kubu yang ingin mencondongkan bahasa Indonesia ke bahasa Barat, bertentangan dengan kubu yang condong ke Islam dan kubu yang condong ke Jawa Kuno. Seiring waktu, STA menjadi orang yang tidak mendukung penggunaan bahasa daerah untuk media berbahasa Indonesia. Meskipun demikian, kemudian STA dianggap sebagai sosok yang men-jawaisasi dan men-sansekertaisasi bahasa Indonesia. Sementara itu, STA berpandangan bahwa bahasa Melayu mesti dicondongkan ke bahasa Indonesia. Hal ini tampak dalam pengajarannya selama menjadi dosen di departemen Malay Studies Universitas Malaya, dan dalam usulannya tentang penutupan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan pendirian satu lembaga bahasa untuk menaungi bahasa yang dipakai di Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Singapura. Selain itu, berusaha mengembangkan bahasa Indonesia lewat penerjemahan. Hal ini diwujudkannya dengan pendirian Pusat Penerjemahan Nasional di Universitas Nasional. Tapi, STA merasa Indonesia lambat dalam penerjemahan. Setelah proyek kamus Malaysia-Indonesia-Inggrisnya terbengkalai pada tahun ‘80an, dia perlahan meninggalkan kajian bahasa.


Filsafat

Selama hidupnya STA mengalami perubahan falsafah hidup. Keluarganya memiliki latar belakang Islam. Pada masa mudanya STA sempat menekuni teosofi, bahkan pernah menerjemahkan karya teosofi, The Song of Life. Kecenderungan ini berakhir saat istrinya yang pertama wafat. Saat dalam tahanan Jepang, dia menekuni pemikiran Immanuel Kant. Pada masa pendudukan Jepang dia juga pernah mengkaji falsafah Jepang. Meskipun demikian, pendiriannya jatuh pada filsafat Eropa. Semangat Renaissance adalah patokannya. Pada tahun ‘70an perlahan dia mencondongkan dirinya pada Islam. Perubahan haluannya ini agaknya dipengaruhi juga oleh beberapa peristiwa. Misalnya, kekecewaannya atas pendapat Karl Jasper tentang hubungan Eropa dan Amerika, kekecewaannya atas jawaban Kaarl Barth, seorang pemimpin Protestan yang terkenal, saat ditanya tentang agama dan toleransi, penemuan-penemuannya tentang filsafat Eropa selama penelitiannya (misalnya, kerancuan pengertian personality dan character dalam psikologi dan sosiologi Belanda), kemerosotan Eropa setelah Perang Dunia II, dan –barangkali inilah titik baliknya—kecelakaan pesawat yang dialaminya saat hendak pergi ke Belagio dari Roma (selama masa perawatannya STA meminta dikirimi buku-buku filsafat Islam).

Tidak sedikit tulisan filsafat yang dihasilkan STA, baik untuk keperluan studi maupun untuk keperluan kongres filsafat. Tahun ‘50an dia menulis makalah “Kedudukan Kelakuan Manusia di Tengah Alam Semesta” untuk kongres filsafat di Venesia. Pemikiran dalam makalah ini kemudian dikembangkan menjadi tesisnya, “Values as Integrating Force in Personality, Society and Culture”. Pada masa perhatiannya pada Islam mulai membesar dia menulis artikel “Manusia Modern dan Agamanya”. Dia juga pernah membawakan makalah “The Future of Philosophy” pada konferensi filsafat di Bulgaria.

Karena pemikiran-pemikirannya, STA banyak beradu pendapat. Yang paling terkenal adalah pikirannya tentang arah yang mesti ditempuh Indonesia kalau ingin maju, yang didokumentasikan oleh Achdiat Kartamihardja dalam Polemik Kebudayaan. Pada suatu kongres internasional tentang pembelajaran bahasa bagi anak pun, dia sempat berdebat karena mendukung pengajaran bahasa asing untuk anak sejak dini. Dalam pengembangan bahasa Indonesia pun dia berdebat dengan kalangan yang condong ke bahasa Jawa Kuno dan kalangan yang condong ke bahasa Arab, karena dia mendukung pencondongan bahasa Indonesia ke bahasa Eropa. Perdebatan paling personal yang pernah ditempuhnya adalah perdebatan dengan bapaknya tentang filsuf abad ke-19 dan keruntuhan agama-agama besar. Dalam perdebatan itu bapaknya sampai menyatakan bahwa mereka tidak akan pernah bisa bertemu lagi di dunia maupun di kehidupan kelak.
Penerbitan

STA banyak makan asam-garam ranah penerbitan. Dari penerbitan majalah atau media sejenisnya sampai perusahaan penerbitan dan percetakan. 

Dalam penerbitan majalah, dia terlibat dalam penerbitan majalah beragam bidang, seperti pergerakan pemuda (Semangat Moeda), pendidikan (‘Memadjukan Ilmu, Teknik, dan Hidup’, Ilmu dan Budaya, Pembina Bahasa Indonesia), sastra dan budaya (Poejangga Baroe, Pembangoenan, Konfrontasi). Majalah Semangat Moeda terbit pada masa STA terlibat dengan gerakan pemuda di Palembang tahun 1929. Majalah-majalah pendidikan STA terbit dalam kaitan keterlibatannya dengan PMIK (Perkoempolan Memadjukan Ilmoe dan Keboedadjaan) dan Universitas Nasional. Majalah sastra dan budayanya terbit karena suatu relasi yang lebih rumit dari relasi untuk dua jenis majalah lainnya. 

Dalam urusan perusahaan penerbitan, STA mendirikan dua perusahaan. Yang pertama adalah Poestaka Rakjat yang kemudian pada tahun ‘60an diubah namanya menjadi Dian Rakjat. Perusahaan penerbitan ini didirikan pada masa pendudukan Jepang. Beragam topik diterbitkannya, dari ekonomi, filsafat, sastra, dst.. Pada tahun ‘50an perusahaan ini sempat disita pemerintah. Tapi, kemudian relasi keluarga besar STA dengan Soekarno memulihkan kepemilikan tanah itu dan sekaligus perusahaannya. Memang, pengelolaan Dian Rakyat banyak juga dipegang oleh anak atau keponakan STA. Pada masa-masa penyitaan ini STA yang saat itu tinggal di Malaysia mendirikan perusahaan penerbit Zaman Baru di sana. Perusahaan ini menerbitkan karya sastra dan karya ilmiah.


Politik

Semasa mudanya STA terlibat dalam organisasi pemuda. Di Muaraenim dia terilhami sepupunya untuk terlibat dalam organisasi. Di sana dia mendirikan Jong Sumatra Bond cabang Muaraenim dan menjadi ketuanya. Dia sempat diperingatkan oleh direktur sekolah karena menulis tentang A.J. Patty, tokoh nasionalis pendiri Sarekat Ambon. Pendirian Jong Sumatra Bond pun dikecam oleh direktur sekolah. STA belum siap dengan reaksi-reaksi demikian atas tindakan politisnya. Dia menangis. 

Saat sudah tinggal di Jakarta dan bekerja di Balai Pustaka pun STA masih terlibat dalam politik. Dia sering mendatangi aktivis Gedung Pergoeroean Rakjat dan Indonesien Club. Agaknya relasi inilah yang membuatnya condong ke PSI. Gedung Pergoeroean adalah basis kelompok Soedjatmoko.

Pada masa pendudukan Jepang STA diundang sebagai seorang intelektual oleh Sedenbu. Dia pun terlibat dalam Komisi Bahasa Indonesia yang dibentuk Jepang. Seiring waktu dia kecewa juga pada Jepang dan kecewa karena banyak tokoh pergerakan mendukung Jepang. Dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari rapat-rapat Sedenbu. Tahun 1944 STA diminta oleh kalangan muda untuk menuliskan manifesto sebagai panduan pergerakan. Manifesto inilah yang membuat dia ditangkap Jepang. Pada masa inilah dia mengaku ingin menjauhkan diri dari politik dan lebih mendekatkan diri pada kegiatan keilmuan.

Meskipun demikian, sampai tahun ‘50an dia masih aktif dalam politik. Pada masa agresi Belanda dia dituduh oleh Menteri Ali Sastroamidjojo mendukung Belanda. Pertentangan ini bahkan masih berlanjut sampai dia pulang dari kongres filsafat di Belanda. Selain itu, dia menjadi perwakilan PSI pada Konstituante. Dia sempat berseteru dengan Natsir tentang pandangan kenegaraan. STA mempertahankan demokrasi sekuler, sedangkan Natsir mempertahankan Islam. Dia juga terlibat dalam PRRI dan Permesta. Inilah yang membuatnya menjadi tahanan kota.

Sepulang dari Malaysia pada tahun 1968 barulah STA mewujudkan niatnya untuk menjauhi politik praktis dan lebih mendekatkan diri pada kegiatan keilmuan. Meskipun demikian, bisa dibilang pada masa ini dia menikmati keuntungan dari relasi-relasi politisnya. Dia sempat diminta oleh Ali Sadikin untuk menjadi anggota Akademi Jakarta. Dalam penyelesaian sengketa Universitas Nasional, STA banyak meminta bantuan Ali Sadikin. Relasinya dengan pihak-pihak luar negeri pun turut melancarkan kerjanya. Asia Foundation banyak membantu logistik balai seni Toyabungkah.


Keluarga

STA tertarik pada perempuan yang sesuai dengan kapasitas intelektualnya. Setidaknya itulah yang dikesankan dari hubungan dia dan dua istrinya yang belakangan, Rara Soegiarti dan Margret Axer. Dalam buku ini tidak banyak informasi tentang hubungan dia dan Rohani Daha, istri pertamanya. Meskipun demikian, tidak kalah terpukulnya dia saat Daha meninggal. Puisi-puisi dalam kumpulan Tebaran Mega didorong oleh perasaannya terhadap Daha. Soegiarti dan Margret adalah perempuan cendekiawan. Soegiarti aktif dalam lingkaran Poejangga Baroe, sementara Margret adalah seorang doktor bahasa dan sastra Jerman dan redaktur kebudayaan suatu surat kabar di Jerman.

Kiprah STA dalam beragam bidang berpengaruh juga pada karir anak-anaknya. Perusahaan percetakan yang didirikannya kemudian dikelola oleh anaknya, Sofyan. STA juga banyak mencurahkan tenaga membantu Samiati untuk mencari jalan agar bisa sekolah lagi di luar negeri. Samiati sempat menjadi asisten John M. Echols. 

STA adalah seorang ayah yang liberal. Dia membebaskan anaknya untuk menjalani hidup dengan cara mereka. Untuk mengimbangi keliberalan itu dia tidak segan untuk berdebat dengan mereka. Cara bersikap liberal ini dipengaruhi juga oleh caranya bersikap dalam banyak bidang, seperti yang juga ditunjukkannya dalam perdebatannya tentang bahasa, politik, filsafat, dst..


Penutup

Buku ini menunjukkan bahwa Sutan Takdir Alisjahbana adalah seorang pelajar sepanjang hayat. Bahasa Indonesa adalah proyek kajiannya yang pertama-tama. Ini dipengaruhi juga oleh keadaan sosialnya (pendudukan Jepang dan semangat kebangsaan Indonesia). Sementara itu, sedikit demi sedikit filsafat menarik minatnya. Pada akhirnya dia sepenuhnya menenggelamkan diri dalam kajian filsafat. Wajar saja kecenderungan ini bisa berakhir demikian. Filsafat cenderung lebih mudah untuk menjadi sesuatu yang personal ketimbang ilmu bahasa, walaupun motif kajian filsafat STA lebih dari sekadar perkara personal.

Kegandrungannya untuk menjadi pelajar membuat Sutan Takdir Alisjahbana meyakini bahwa jalan untuk memajukan manusia adalah pendidikan. Inilah dasar pemikiran di balik keterlibatannya dalam institusi-institus pendidikan formal. Dalam pengelolaan institusi ini dia berpijak pada falsafahnya, walaupun beberapa penerapan falsafahnya ini dianggap kurang tepat di beberapa institusi. Selain melalui institusi pendidikan formal, STA mewujudkan visinya ini lewat penerbitan. Karya sastranya –hal yang kurang dalam digali dalam buku ini— pun diusahakannya untuk menjadi pengejawantahan falsafahnya. Hal ini makin eksplisit sejak Layar Terkembang.

Falsafah Sutan Takdir Alisjahbana Eropa-sentris. Hal ini tampak pada pemikirannya tentang bahasa Indonesia, arah yang harus dituju bangsa Indonesia, bahkan oleh bangsa serumpun. Baru pada usia tuanya dia mulai menunjukkan perubahan haluan ke Islam, walaupun bersamaan dengan itu ada juga kecenderungan-kecenderungan ‘satu umat manusia satu negara dunia’ dalam gagasannya.

Buku ini berisi peristiwa-peristiwa yang menunjukkan bahwa Sutan Takdir Alisjahbana ‘tidak tahan’ menghadapi pergolakan politik di sekitarnya. Barangkali inilah yang membuat pembahasan tentang kiprah politik praktis STA pasca-kemerdekaan Indonesia –misalnya, kiprahnya di PSI— hanya dibahas sedikit, padahal kiprahnya pra-kemerdekaan lumayan banyak dibahas. Barangkali ‘ketidaktahanan’ inilah yang pada akhirnya membuatnya memilih untuk meninggalkan politik praktis dan menekuni kegiatan ilmiah, sebagaimana yang pernah dinyatakannya. Meskipun demikian, ketika dia meninggalkan ranah politik praktis, dia tetap memanfaatkan relasi politiknya untuk mendukung usaha-usahanya dalam kegiatan ilmiah.

Semua kiprah Sutan Takdir Alisjahbana di ranah publik berkaitan erat juga dengan hidupnya di ranah privat. Hal ini tampak, misalnya, dalam selera perempuannya, cara dia mendidik anak, dan karir anak-anaknya.

Berkali-kali dalam buku ini dikesankan bahwa Sutan Takdir Alisjahbana adalah seorang yang optimis. Meskipun demikian, pesimismenya tidak bisa tidak terasa di sana-sini. Di balik keputusannya untuk berhenti mengkaji bahasa Indonesia terdapat keputusasaan tentang rendahnya kepedulian orang-orang atas pengembangan bahasa Indonesia. Di balik perubahan kecenderungan filsafatnya ke Islam ada kekecewaan atas keruntuhan Eropa pasca-Perang-Dunia. Pengunduran dirinya dari kancah politik praktis Indonesia pun menyiratkan pesimisme.

STA & Perjuangan Kebudayaan Indonesia (1908-1994) adalah biografi tentang seseorang yang berusaha untuk tetap optimis dalam menjunjung pendidikan sebagai sarana untuk memajukan manusia, walaupun di baliknya pesimisme tetap membayangi saat dia dihadapkan pada persoalan-persoalan yang lebih praktis.

1 komentar: