Jumat, 28 Oktober 2016

Sebuah Lorong Di Kotaku - Nh Dini


Judul Buku
:
Sebuah Lorong Di Kotaku
Penulis
:
Nh Dini
Penerbit
:
Gramedia
Tahun Terbit
:
2005 (pertama kali terbit tahun 1978)



Sebuah Lorong Di Kotaku berisi pengamatan seorang anak perempuan berusia menejelang kelas nol atas peristiwa publik dan peristiwa privat di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada masa akhir pendudukan Belanda dan masa awal pendudukan Jepang di Indonesia.

Anak itu adalah Dini, seorang bungsu dari empat bersaudara. Bapaknya adalah seorang komis di perusahaan kereta api. Ibunya ibu rumah tangga. Mereka adalah keluarga yang cukup berada karena bisa mempekerjakan pembantu. Mereka tinggal di Sekayu, Semarang. Kakek-nenek dari pihak ibunya adalah kalangan menak yang tinggal di Ponorogo, sementara kakek-nenek dari pihak bapaknya adalah kalangan ahli spiritual yang tinggal di Tegalrejo.

Peristiwa privat yang dialami Dini adalah menangkap ikan bersama bapak dan kakak-kakaknya dari bendungan banjiran sungai Semarang yang masuk ke halaman rumahnya dan mengunjungi kakek-neneknya di Tegalrejo dan Ponorogo. Sementara itu, peristiwa publik yang dialaminya adalah hari-hari pertama sekolah di kelas nol dan pengungsiannya saat hari-hari pertama Jepang menduduki Indonesia.
Kunjungan keluarga Dini ke rumah kakek-neneknya memberi petunjuk tentang latar belakang sikap orang tuanya terhadap Dini dan kakak-kakaknya. Ibu Dini berasal dari keluarga menak yang formal. Rumah Pak Gede dan Bu Gede –sebutan yang dipilih kakek-nenek Dini dari pihak ibu— dipenuhi tata krama yang mengikat. Misalnya, saat datang Dini sekeluarga mesti mencium kaki Pak Gede dan Bu Gede, anak-anak hanya boleh memakan makanan sisa orang tua, selama di sana bapak dan ibu Dini banyak memperingatkan anak-anaknya tentang sikap mereka, dst.. Maka, wajarlah ibu Dini mendidik anak-anaknya dengan sikap yang tegas dan eksplisit. Misalnya, anak-anak tidak boleh bicara kalau makan, hanya boleh membeli barang-barang oleh-oleh sementara makanan harus menyiapkan sendiri saat bepergian, ibunya memarahi anak-anak saat mereka pulang terlalu sore dari bermain, ibunya melarang anak-anak untuk pergi ke Gedung Harmoni untuk mengambil barang-barang yang tersisa di sana setelah penyerangan Jepang, dst.. Sebaliknya, bapak Dini justru orangnya lebih santai. Dia bermain-main kotor-kotoran dengan anak-anak di tengah perjalanan sampai-sampai ditegur istrinya. Dia diam-diam bersama Dini dan kakaknya, Maryam, memelihara burung, binatang peliharaan yang sebenarnya tidak disukai istrinya. Dia pun memperbolehkan anaknya untuk ikut bersamanya ke Gedung Harmoni. Bapak Dini berasal dari keluarga ahli spiritual yang sikapnya lebih terbuka. Kyai Wiryabesari, kakek Dini itu, memperbolehkan anak-anak untuk bicara di tengah-tengah makan dan memperbolehkan anak-anak untuk memakan makanannya sendiri, memperbolehkan anak-anak untuk mengambil buah-buahan yang ada di kebun, dst.. Keterbukaan sikap ini wajar apalagi kalau mengingat bahwa Kyai Wiryabesari memiliki banyak murid spiritual.

Dalam peristiwa-peristiwa itu pun tampak kecenderungan Dini pada nilai-nilai tertentu atau pada orang-orang tertentu. Dalam kaitan dengan kakek-neneknya, Dini lebih sepakat dengan etika di rumah Kyai Wiryabesari. Lebih lanjut, kecenderungan ini tampak pada kerelaan Dini untuk mengikuti ajaran-ajaran kakeknya, seperti berpuasa bukan demi agama atau pahala, melainkan demi mengendalikan diri dan mengenal diri sendiri. Dini tidak suka ‘dianak-kecil-anak-kecilkan’. Makanya, dia kurang bisa akrab dengan salah satu kakaknya, Nugroho, yang suka memperlakukannya demikian. Lebih dari itu, Dini tidak suka dengan sikap kakaknya yang gampang saja main fisik. Dia suka pada orang-orang yang punya kehalusan hati. Dini lebih suka pada orang-orang yang bisa bersikap sejajar dengan dirinya. Makanya, dia lebih suka pada keluarga Kyai Wiryabesari daripada keluarga Pak Gede. Makanya juga, dia lebih suka pada Maryam daripada kakak-kakaknya yang lain. Nugroho dan Teguh suka menganak-kecilkannya, sementara Heratih, kakaknya sulung, lebih bersikap sebagai pamong daripada kawan. Daripada dengan kakaknya lelaki, Dini lebih menunjukkan keakraban dengan pamannya yang umurnya tidak jauh lebih tua dari Heratih, Paman Sarosa.

Di antara peristiwa-peristiwa itu terselip petunjuk tentang keberpihakan bapak Dini dalam urusan politik. Bapak Dini mendenda anak-anaknya yang berbahasa Belanda di rumah. Dia mewajibkan anak-anaknya berbahasa Jawa di rumah. Dalam kedudukannya sebagai pegawai jawatan kereta api, dia merasa diperlakukan tidak adil oleh atasannya dalam hal honor. Saat mengetahui alat-alat musik yang diajarkan di sekolah Dini (terompet, harmonika, dan gitar –alat-alat musik Eropa), bapak Dini mencemooh kebijakan pendidikan budaya di sekolah anaknya itu. Oya, bapak Dini adalah orang Taman Siswa. Bapak Dini bukan orang yang pro-Belanda.

Sebuah Lorong Di Kotaku adalah upaya seorang anak untuk melacak asal-usul nilai-nilai yang ada di lingkungannya dan memilah-milih mana yang disepakatinya atau tidak disepakatinya dengan disertai alasan-alasannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar