Rabu, 26 Oktober 2016

Dian Yang Tak Kunjung Padam - Sutan Takdir Alisjahbana


Judul Buku
:
Dian yang Tak Kunjung Padam
Penulis
:
Sutan Takdir Alisjahbana
Penerbit
:
Dian Rakyat
Tahun Terbit
:
1980 (terbit pertama kali tahun 1932)



Dian yang Tak Kunjung Padam menceritakan sikap sepasang pemuda-pemudi dalam menghadapi gelora cinta kawula muda yang dipisahkan golongan sosial selebar sungai Musi.

Pemuda itu bernama Yasin, seorang yatim berusia dua puluh tahun yang tinggal dengan ibunya. Dia seorang petani para yang tinggal di tepian sungai Lematang, dan dengan demikian tergolong ke dalam orang Uluan, kalangan yang tinggal di pedalaman Sumatera Selatan dan dianggap kalangan yang tidak maju. Leluhurnya adalah orang Gunung Megang. Dari leluhurnya itu dia punya saudara jauh yang tinggal di Penanggiran. Salah satu saudaranya itu adalah seorang pesirah (kepala marga).

Pemudi itu bernama Molek, seorang gadis tujuh belas tahun yang dipingit oleh orang tuanya. Dia adalah anak saudagar bernama Raden Mahmud. Mereka tinggal tak jauh dari daerah Enambelas Ilir, suatu daerah perdagangan di Palembang. Mereka tergolong ke dalam orang Ilir, kalangan yang tinggal di hilir sungai Musi dan dianggap dekat dengan kemajuan.

Rasa cinta mereka tumbuh setelah keduanya tidak sengaja bertemu pandang saat Yasin menepikan kajangnya di tepian sungai Musi di dekat Enambelas Ilir sementara Molek sedang melihat pemandangan sungai Musi lewat jendela rumahnya.
Meskipun demikian, sebenarnya sepanjang cerita kuantitas kontak langsung mereka bisa dihitung dengan jari. Mereka berhubungan lewat surat yang ditulis dalam aksara Arab –sebenarnya Molek juga menguasai aksara Belanda (aksara Latin)— dan diselipkan di tempat Molek biasa mandi. Pola komunikasi ini adalah siasat yang ditempuh keduanya –pertama-tama, Yasin— karena menyadari kedudukan masing-masing. Selain itu, pola komunikasi ini juga menunjukkan betapa tulisan bisa dijadikan suatu sarana untuk mengatasi hambatan-hambatan fisik. Lebih dari itu, kalau melihat intensitas perasaan Molek dan Yasin, di sini di tengah hambatan-hambatan itu tulisan dianggap cukup untuk mewakili kehadiran penulisnya. Keberaksaraan punya peran penting dalam buku ini.

Meskipun demikian, khususnya untuk kasus Molek, rasa cukup itu lebih banyak juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor itu adalah isolasi. Molek terisolasi dari dunia luar karena pemingitannya. Dia bersentuhan dengan dunia luar hanya kalau mandi atau sesekali membeli sesuatu yang tak jauh dari rumahnya. Selain itu, sarana dia untuk melihat dunia luar adalah jendela dapurnya. Banyak juga adegan yang melibatkan jendela. Isolasi yang dialami Molek membuatnya merasa tulisan Yasin adalah Yasin itu sendiri. Dia membawanya ke mana-mana di balik kutangnya dan melindunginya dengan cara membungkusnya.

Lebih jauh lagi, isolasi itu sangat berpengaruh pada cara Molek memandang cinta, kebangsawanan, dan kehidupan setelah kematian.

Karena terisolasi, justru Molek tidak terlalu terpengaruh oleh prasangka-prasangka golongan sosial yang dipegang oleh orang tuanya. Raden Mahmud dan istrinya, sebagai orang Ilir, memandang orang Uluan (Yasin) lebih rendah dan tidak pantas berkerabat dengan mereka. Dalam mempertimbangkan kedudukan Yasin, justru Molek tidak menjadikan pandangan itu suatu pijakan. Molek justru mendasarkan pertimbangannya pada perasaannya, pada rasa cintanya. Ketimbang gengsi kebangsawanan, Molek lebih memilih cinta. Karena cintanya terhambat oleh gengsi kebangsawanan, Molek merasa kedudukan bangsawan adalah suatu beban.

Di sisi lain, justru isolasinya membuat pandangan Molek tentang cinta kelewat mengawang. Dia tidak bisa menolerir sekecil pun cacat dalam cinta. Dia beranggapan bahwa cinta itu harus kudus sepenuhnya. Ketika pada akhirnya dia gagal kabur dari perjodohannya dengan Sayid Mustafa, seorang hartawan Arab, Molek justru malah menganggap dirinya kotor dan tidak pantas lagi bagi Yasin, padahal penilaian dan perasaan Yasin atasnya tidak berubah sedikit pun dan Yasin tetap bersedia berhubungan diam-diam dengannya. Karena pandangan cintanya yang mengawang itu, pada akhirnya Molek mengambil keputusan yang fatal.
Molek dididik secara Islam. Dalam agama ini diyakini adanya kehidupan setelah kematian. Tapi, dalam konteks ini, tentu saja tidak semua kematian mengantar seseorang pada kehidupan akhirat yang menyenangkan. Bunuh diri bukan salah satunya. Tapi, karena isolasinya itu, Molek yang dididik secara Islam, justru memiliki pandangan lain tentang bunuh diri. Dia menganggap itulah satu-satunya jalan untuk menyucikan dirinya agar bisa tetap pantas bagi Yasin –ingat pandangan Molek tentang cinta!

Yasin sendiri menyikapi hubungannya dengan Molek secara lebih realistis dan kompromistis. Memang, rasa cintanya tidak kalah dari Molek. Tapi, karena dia lebih banyak bersentuhan dengan dunia luar, tindakannya lebih disesuaikan dengan apa yang mungkin dilakukan secara umum. Dia sadar dengan kedudukannya sebagai orang Uluan yang dicemoohkan oleh orang Palembang. Makanya, dia meminta bantuan sokongan dana dari saudara-saudaranya untuk memenuhi uang jujur (semacam mas kawin) yang sesuai dengan standar saudagar. Setelah lamarannya ditolak, Yasin berusaha untuk membawa Molek kabur. Setelah itu gagal juga, dia pun tidak keberatan tetap berhubungan diam-diam setelah Molek dikawinkan dengan Sayid Mustafa.

Di balik jatuh bangun hubungan Yasin dan Molek terdapat suatu gengsi yang besar. Gengsi inilah yang membuat Raden Mahmud dan istrinya tetap menolak lamaran keluarga Yasin, bahkan walaupun mereka mempunyai uang jujur yang cukup. Prasangka-prasangka antara orang Iliran dan Uluan berperan kuat di sini. Sialnya, gengsi itu berlaku bukan hanya dalam urusan antara dua kalangan itu, orang yang memiliki kedudukan tinggi pun demikian. Talib, saudara Yasin yang seorang talib, menolak untuk menjadi wali Yasin dalam lamarannya pada keluarga Molek karena khawatir pamornya akan turun kalau lamarannya itu ditolak. Talib pun secara tidak langsung mengakui rendahnya kedudukan Yasin walaupun dia saudaranya dan rela membantu secara ekonomi.

Dian yang Tak Kunjung Padam adalah suatu sorotan atas pengisolasian dengan cara menonjolkan dampak-dampaknya dalam kaitannya dengan pandangan seseorang atas sesuatu, dalam hal ini cinta dan gengsi kebangsawanan.

2 komentar:

  1. Karya yg sangat bagus sekali, ulasan yg jenius, mestinya karya ini bisa diangkat ke layar kebar, minimal ftv atw sinetron, bagus ceritanya, kental nilai budaya serta kaya makna dan hikmah

    BalasHapus
  2. Mengapa judul nya Dian yang tak kunjung padam

    BalasHapus