Rabu, 19 Oktober 2016

Tak Putus Dirundung Malang - Sutan Takdir Alisjahbana


Judul Buku
:
Tak Putus Dirundung Malang
Penulis
:
Sutan Takdir Alisjahbana
Penerbit
:
Dian Rakyat
Tahun Terbit
:
1995 (terbit pertama kali tahun 1929)



Tak Putus Dirundung Malang adalah serangkaian upaya sepasang kakak-beradik yatim piatu untuk bisa sintas di wilayah Bengkulu.

Sepasang kakak-beradik itu adalah Mansur dan Laminah. Saat mereka masih kecil, ibunya meninggal dalam suatu kebakaran. Saat umur mereka belasan, bapak mereka, Syahbuddin, meninggal karena sakit. Sejak itu mereka berpindah-pindah.

Deus Ex Machina banyak digunakan untuk menggerakkan plot. Hal ini terutama sangat terasa pada awal-awal buku. Pada akhir suatu bab diceritakan bahwa Syahbuddin mesti pergi sementara meninggalkan dua anaknya. Bab selanjutnya tahu-tahu Syahbuddin sudah sakit parah. Lompatan jauh antara peristiwa kepergian Syahbuddin dan kematian Syahbuddin dan penggunaan Deus Ex Machina menimbulkan efek dramatis bagi kesebatangkaraan Mansur dan Laminah. Setelah itu, mereka hanya berdua saja.

Setelah kematian Syahbuddin, plot lebih digerakkan oleh aksi-reaksi tokoh-tokohnya. Mansur dan Laminah pergi dari rumah bibinya, Jepisah, karena tindakan Madang. Mereka mengundurkan diri dari sebuah toko roti karena tindakan Sarmin.
Di antara kakak-beradik itu Laminah lebih sering tertimpa langsung kemalangan dan digambarkan lebih tidak tahan menghadapinya. Ketika dia mengasuh anak Jepisah, musibah yang menimpa sepupunya itu dianggap disebabkan olehnya. Ketika mereka bekerja di toko roti, dialah yang tidak bisa kerasan dengan lingkungan kerjanya. Kesusahan hati Mansur justru lebih sering disebabkan oleh hal-hal yang berkaitan dengan Laminah dan rasa tanggung jawabnya sebagai kakak walaupun menjelang akhir buku Mansur tertimpa langsung kemalangan juga –yang sebenarnya diadakan oleh Deus Ex Machina.

Reaksi mereka atas kemalangan menimbulkan suatu pola. Setelah Mansur meninggal, mereka selalu cenderung ingin langsung menjauhi sumber kemalangan mereka, terlepas dari dilakukan segera atau tidak. Tidak ada sedikit pun isyarat untuk bertahan di tempat dan mengusir atau setidaknya berkonfrontasi sumber kemalangan itu. Hal ini tampak dalam reaksi Mansur saat mengetahui Madang memarahi Laminah atau saat mengetahui kecemasan Laminah atas Sarmin. Reaksi macam ini bisa jadi disebabkan oleh keyakinan mereka atas kemampuan pertahanan dirinya belum sempat matang saat Syahbuddin, sosok yang secara tidak langsung mereka anggap bisa berkonfrontasi dengan kemalangan –misalnya, saat berhadapan dengan saudagar Cina, meninggal. Jadi, cara yang mereka tahu untuk mengatasi kemalangan adalah menjauhinya sama sekali. Kecenderungan inilah yang kemudian berdampak fatal bagi Laminah.

Di sisi lain, reaksi mereka atas kenyamanan pun menimbulkan pola yang sama: mereka cenderung menjauhi sumber kenyamanan itu. Mereka sempat ditawari oleh Datuk Halim dan Andung Seripah untuk tinggal di rumahnya. Begitu pun oleh Palik. Di toko roti pun mereka mendapatkan fasilitas yang nyaman sebagai pegawai (tempat tinggal dan makan). Mereka memutuskan untuk menolak bertahan di sana. Walaupun, misalnya, rumah Datuk Halim dekat dengan sumber kemalangan, rumah Madang, dan walaupun di toko roti itu Laminah pernah mengalami suatu kemalangan, tempat-tempat itu, lebih-lebih rumah Palik, adalah tempat yang aman bagi mereka. Hasrat untuk menjauhi sumber kemalangan justru berdampak buruk pada pertimbangan mereka atas tempat-tempat yang nyaman.

Latar cerita ini adalah suatu hal yang patut diperhatikan juga. Di sini digambarkan juga moda transportasi orang-orang di Bengkulu pada tahun ‘20an akhir. Mereka yang tinggal di pinggiran memanfaatkan arus sungai dan menggunakan sampan untuk bepergian. Hanya sesekali ada mobil yang bisa mengangkut banyak orang. Kalau tidak menggunakan dua moda transportasi itu, mereka jalan kaki. Sekedar informasi, Mansur dan Laminah berjalan kaki dari Ketahun ke Selolong yang jaraknya kira-kira 30 KM. Baru setelah itu, mereka naik mobil ke kota Bengkulu.

Latar yang juga bisa jadi menggambarkan keadaan zamannya adalah penggambaran orang Cina dan Jepang. Dalam buku ini tokoh-tokoh yang berbangsa ini (khususnya Cina) digambarkan sebagai seorang saudagar, bahkan di kota Bengkulu toko-toko yang didatangi Mansur dan Laminah untuk mencari kerja dimiliki oleh orang-orang Cina. Rata-rata mereka digambarkan bersikap ketus. Kekecualiannya adalah orang Cina pemilik toko roti yang pada akhirnya mempekerjakan mereka dan orang Jepang yang mempekerjakan Mansur. 

Sebagaimana judulnya, buku ini adalah kisah tentang dua remaja yang saking Tak Putus Dirundung Malang sampai-sampai saat menjumpai kenyamanan pun penilaian mereka atasnya menjadi sangat bias. Tak putus dirundung malang bisa menjeratmu dalam lingkaran setan paradigma ‘hidup adalah kemalangan belaka dan tak ada celah sedikit pun untuk keluar’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar