Judul Buku
|
:
|
Tak Putus Dirundung Malang
|
Penulis
|
:
|
Sutan Takdir Alisjahbana
|
Penerbit
|
:
|
Dian Rakyat
|
Tahun Terbit
|
:
|
1995 (terbit pertama kali tahun 1929)
|
Tak Putus Dirundung Malang adalah serangkaian upaya sepasang
kakak-beradik yatim piatu untuk bisa sintas di wilayah Bengkulu.
Sepasang kakak-beradik itu adalah Mansur dan Laminah. Saat
mereka masih kecil, ibunya meninggal dalam suatu kebakaran. Saat umur mereka
belasan, bapak mereka, Syahbuddin, meninggal karena sakit. Sejak itu mereka
berpindah-pindah.
Deus Ex Machina banyak digunakan untuk menggerakkan plot.
Hal ini terutama sangat terasa pada awal-awal buku. Pada akhir suatu bab
diceritakan bahwa Syahbuddin mesti pergi sementara meninggalkan dua anaknya.
Bab selanjutnya tahu-tahu Syahbuddin sudah sakit parah. Lompatan jauh antara
peristiwa kepergian Syahbuddin dan kematian Syahbuddin dan penggunaan Deus Ex
Machina menimbulkan efek dramatis bagi kesebatangkaraan Mansur dan Laminah.
Setelah itu, mereka hanya berdua saja.
Setelah kematian Syahbuddin, plot lebih digerakkan oleh
aksi-reaksi tokoh-tokohnya. Mansur dan Laminah pergi dari rumah bibinya, Jepisah,
karena tindakan Madang. Mereka mengundurkan diri dari sebuah toko roti karena
tindakan Sarmin.
Di antara kakak-beradik itu Laminah lebih sering tertimpa
langsung kemalangan dan digambarkan lebih tidak tahan menghadapinya. Ketika dia
mengasuh anak Jepisah, musibah yang menimpa sepupunya itu dianggap disebabkan
olehnya. Ketika mereka bekerja di toko roti, dialah yang tidak bisa kerasan
dengan lingkungan kerjanya. Kesusahan hati Mansur justru lebih sering disebabkan
oleh hal-hal yang berkaitan dengan Laminah dan rasa tanggung jawabnya sebagai
kakak walaupun menjelang akhir buku Mansur tertimpa langsung kemalangan juga –yang
sebenarnya diadakan oleh Deus Ex Machina.
Reaksi mereka atas kemalangan menimbulkan suatu pola. Setelah
Mansur meninggal, mereka selalu cenderung ingin langsung menjauhi sumber
kemalangan mereka, terlepas dari dilakukan segera atau tidak. Tidak ada sedikit
pun isyarat untuk bertahan di tempat dan mengusir atau setidaknya
berkonfrontasi sumber kemalangan itu. Hal ini tampak dalam reaksi Mansur saat
mengetahui Madang memarahi Laminah atau saat mengetahui kecemasan Laminah atas
Sarmin. Reaksi macam ini bisa jadi disebabkan oleh keyakinan mereka atas
kemampuan pertahanan dirinya belum sempat matang saat Syahbuddin, sosok yang
secara tidak langsung mereka anggap bisa berkonfrontasi dengan kemalangan –misalnya,
saat berhadapan dengan saudagar Cina, meninggal. Jadi, cara yang mereka tahu
untuk mengatasi kemalangan adalah menjauhinya sama sekali. Kecenderungan inilah
yang kemudian berdampak fatal bagi Laminah.
Di sisi lain, reaksi mereka atas kenyamanan pun menimbulkan
pola yang sama: mereka cenderung menjauhi sumber kenyamanan itu. Mereka sempat
ditawari oleh Datuk Halim dan Andung Seripah untuk tinggal di rumahnya. Begitu
pun oleh Palik. Di toko roti pun mereka mendapatkan fasilitas yang nyaman
sebagai pegawai (tempat tinggal dan makan). Mereka memutuskan untuk menolak
bertahan di sana. Walaupun, misalnya, rumah Datuk Halim dekat dengan sumber
kemalangan, rumah Madang, dan walaupun di toko roti itu Laminah pernah
mengalami suatu kemalangan, tempat-tempat itu, lebih-lebih rumah Palik, adalah
tempat yang aman bagi mereka. Hasrat untuk menjauhi sumber kemalangan justru
berdampak buruk pada pertimbangan mereka atas tempat-tempat yang nyaman.
Latar cerita ini adalah suatu hal yang patut diperhatikan
juga. Di sini digambarkan juga moda transportasi orang-orang di Bengkulu pada
tahun ‘20an akhir. Mereka yang tinggal di pinggiran memanfaatkan arus sungai
dan menggunakan sampan untuk bepergian. Hanya sesekali ada mobil yang bisa
mengangkut banyak orang. Kalau tidak menggunakan dua moda transportasi itu,
mereka jalan kaki. Sekedar informasi, Mansur dan Laminah berjalan kaki dari
Ketahun ke Selolong yang jaraknya kira-kira 30 KM. Baru setelah itu, mereka
naik mobil ke kota Bengkulu.
Latar yang juga bisa jadi menggambarkan keadaan zamannya
adalah penggambaran orang Cina dan Jepang. Dalam buku ini tokoh-tokoh yang
berbangsa ini (khususnya Cina) digambarkan sebagai seorang saudagar, bahkan di
kota Bengkulu toko-toko yang didatangi Mansur dan Laminah untuk mencari kerja
dimiliki oleh orang-orang Cina. Rata-rata mereka digambarkan bersikap ketus.
Kekecualiannya adalah orang Cina pemilik toko roti yang pada akhirnya
mempekerjakan mereka dan orang Jepang yang mempekerjakan Mansur.
Sebagaimana judulnya, buku ini adalah kisah tentang dua
remaja yang saking Tak Putus Dirundung Malang sampai-sampai saat menjumpai
kenyamanan pun penilaian mereka atasnya menjadi sangat bias. Tak putus
dirundung malang bisa menjeratmu dalam lingkaran setan paradigma ‘hidup adalah
kemalangan belaka dan tak ada celah sedikit pun untuk keluar’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar