Judul Buku
|
:
|
Sebuah Lorong Di Kotaku
|
Penulis
|
:
|
Nh Dini
|
Penerbit
|
:
|
Gramedia
|
Tahun Terbit
|
:
|
2005 (pertama kali terbit tahun 1978)
|
Sebuah Lorong Di Kotaku berisi pengamatan seorang anak
perempuan berusia menejelang kelas nol atas peristiwa publik dan peristiwa
privat di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada masa akhir pendudukan Belanda dan
masa awal pendudukan Jepang di Indonesia.
Anak itu adalah Dini, seorang bungsu dari empat bersaudara.
Bapaknya adalah seorang komis di perusahaan kereta api. Ibunya ibu rumah
tangga. Mereka adalah keluarga yang cukup berada karena bisa mempekerjakan
pembantu. Mereka tinggal di Sekayu, Semarang. Kakek-nenek dari pihak ibunya
adalah kalangan menak yang tinggal di Ponorogo, sementara kakek-nenek dari
pihak bapaknya adalah kalangan ahli spiritual yang tinggal di Tegalrejo.
Peristiwa privat yang dialami Dini adalah menangkap ikan
bersama bapak dan kakak-kakaknya dari bendungan banjiran sungai Semarang yang
masuk ke halaman rumahnya dan mengunjungi kakek-neneknya di Tegalrejo dan
Ponorogo. Sementara itu, peristiwa publik yang dialaminya adalah hari-hari
pertama sekolah di kelas nol dan pengungsiannya saat hari-hari pertama Jepang
menduduki Indonesia.
Kunjungan keluarga Dini ke rumah kakek-neneknya memberi
petunjuk tentang latar belakang sikap orang tuanya terhadap Dini dan
kakak-kakaknya. Ibu Dini berasal dari keluarga menak yang formal. Rumah Pak
Gede dan Bu Gede –sebutan yang dipilih kakek-nenek Dini dari pihak ibu—
dipenuhi tata krama yang mengikat. Misalnya, saat datang Dini sekeluarga mesti
mencium kaki Pak Gede dan Bu Gede, anak-anak hanya boleh memakan makanan sisa
orang tua, selama di sana bapak dan ibu Dini banyak memperingatkan anak-anaknya
tentang sikap mereka, dst.. Maka, wajarlah ibu Dini mendidik anak-anaknya
dengan sikap yang tegas dan eksplisit. Misalnya, anak-anak tidak boleh bicara
kalau makan, hanya boleh membeli barang-barang oleh-oleh sementara makanan
harus menyiapkan sendiri saat bepergian, ibunya memarahi anak-anak saat mereka
pulang terlalu sore dari bermain, ibunya melarang anak-anak untuk pergi ke
Gedung Harmoni untuk mengambil barang-barang yang tersisa di sana setelah
penyerangan Jepang, dst.. Sebaliknya, bapak Dini justru orangnya lebih santai.
Dia bermain-main kotor-kotoran dengan anak-anak di tengah perjalanan
sampai-sampai ditegur istrinya. Dia diam-diam bersama Dini dan kakaknya,
Maryam, memelihara burung, binatang peliharaan yang sebenarnya tidak disukai
istrinya. Dia pun memperbolehkan anaknya untuk ikut bersamanya ke Gedung
Harmoni. Bapak Dini berasal dari keluarga ahli spiritual yang sikapnya lebih
terbuka. Kyai Wiryabesari, kakek Dini itu, memperbolehkan anak-anak untuk
bicara di tengah-tengah makan dan memperbolehkan anak-anak untuk memakan
makanannya sendiri, memperbolehkan anak-anak untuk mengambil buah-buahan yang
ada di kebun, dst.. Keterbukaan sikap ini wajar apalagi kalau mengingat bahwa
Kyai Wiryabesari memiliki banyak murid spiritual.
Dalam peristiwa-peristiwa itu pun tampak kecenderungan Dini
pada nilai-nilai tertentu atau pada orang-orang tertentu. Dalam kaitan dengan
kakek-neneknya, Dini lebih sepakat dengan etika di rumah Kyai Wiryabesari.
Lebih lanjut, kecenderungan ini tampak pada kerelaan Dini untuk mengikuti
ajaran-ajaran kakeknya, seperti berpuasa bukan demi agama atau pahala,
melainkan demi mengendalikan diri dan mengenal diri sendiri. Dini tidak suka
‘dianak-kecil-anak-kecilkan’. Makanya, dia kurang bisa akrab dengan salah satu
kakaknya, Nugroho, yang suka memperlakukannya demikian. Lebih dari itu, Dini
tidak suka dengan sikap kakaknya yang gampang saja main fisik. Dia suka pada
orang-orang yang punya kehalusan hati. Dini lebih suka pada orang-orang yang
bisa bersikap sejajar dengan dirinya. Makanya, dia lebih suka pada keluarga
Kyai Wiryabesari daripada keluarga Pak Gede. Makanya juga, dia lebih suka pada
Maryam daripada kakak-kakaknya yang lain. Nugroho dan Teguh suka
menganak-kecilkannya, sementara Heratih, kakaknya sulung, lebih bersikap sebagai
pamong daripada kawan. Daripada dengan kakaknya lelaki, Dini lebih menunjukkan
keakraban dengan pamannya yang umurnya tidak jauh lebih tua dari Heratih, Paman
Sarosa.
Di antara peristiwa-peristiwa itu terselip petunjuk tentang
keberpihakan bapak Dini dalam urusan politik. Bapak Dini mendenda anak-anaknya
yang berbahasa Belanda di rumah. Dia mewajibkan anak-anaknya berbahasa Jawa di
rumah. Dalam kedudukannya sebagai pegawai jawatan kereta api, dia merasa
diperlakukan tidak adil oleh atasannya dalam hal honor. Saat mengetahui
alat-alat musik yang diajarkan di sekolah Dini (terompet, harmonika, dan gitar
–alat-alat musik Eropa), bapak Dini mencemooh kebijakan pendidikan budaya di
sekolah anaknya itu. Oya, bapak Dini adalah orang Taman Siswa. Bapak Dini bukan
orang yang pro-Belanda.
Sebuah Lorong Di Kotaku adalah upaya seorang anak untuk
melacak asal-usul nilai-nilai yang ada di lingkungannya dan memilah-milih mana
yang disepakatinya atau tidak disepakatinya dengan disertai alasan-alasannya.