Minggu, 31 Mei 2015

Kita Hidup Hanya Sekali - Remy Sylado


Judul Buku
:
Kita Hidup Hanya Sekali
Penulis
:
Remy Sylado
Penerbit
:
Vicanata
Tahun Terbit
:
1977



Serangkaian peristiwa yang saling berkaitan adalah hal penting dalam sebuah cerita. Sejak awal pertemuan Satria Sofiandi dan Madalena, jelaslah bahwa bersatunya mereka adalah titik tuju seluruh peristiwa dalam Kita Hidup Hanya Sekali. Tapi, untuk sampai di tujuan itu, banyak lika-liku dan candaan penulisnya. Itulah yang membuat kisah percintaan anak muda –salah satu topik laris dalam dunia cerita—ini menjadi asyik. Ini adalah bukti kepiawaian Remy Sylado mengait-ngaitkan banyak peristiwa.

Hal paling keterlaluan kebetulan dalam Kita Hidup Hanya Sekali adalah ternyata Oom Max adalah ayah Satria dan Madalena. Oom Max, yang dimunculkan di awal cerita, seolah-olah tokoh yang numpang lewat. Seakan-akan dia hanya berfungsi mengantar pembaca untuk bertemu pertama kali dengan Madalena. Keterangan di awal cerita bahwa dia punya istri banyak dan masuk penjara karena kebiasaannya mabuk dan berulah tidak terasa sebagai sesuatu yang relevan bagi kelanjutan kisah. Barulah setelah diketahui bahwa identitas ayah Madalena dan Satria tidak jelas, keterangan itu mulai bau amis. Cerdiknya, fakta itu baru diungkap saat Satria dan Madalena sedang mesra-mesranya, menjelang akhir cerita. Memang, senjata pamungkas selalu dikeluarkan terakhir.

Walaupun pembaca bisa menangkap kesan bahwa ujung-ujungnya Satria dan Madalena bakal jadian, mereka tidak langsung jatuh cinta pada pertemuan pertama di kantor pos. Keduanya mendapatkan kesan yang bagus belaka saat itu. Terlebih lagi, saat itu Satria punya pacar. Namanya Avianti. Proses “penyingkiran” Avianti bisa dibilang berliku-liku juga. Kocaknya, Madalena hanya berperan menyenggol domino pertamanya: Dia hanya menjadi penonton balap motor trail yang membuat Satria kurang fokus mengemudi sehingga celaka dan diliput media. Buntutnya adalah ketidaksetujuan orang tua Avianti atas hubungan anaknya dengan Satria, penguakan perselingkuhan Pak Marbangun dan Namo, bapak dan teman baik Avianti, dan kematian Avianti. Saking berlikunya bagian “penyingkiran” ini dapat porsi lumayan besar sampai-sampai terasa kesan Aviantilah tokoh utama.

Sebelum penutup, sedikit obrolan tentang hal remeh-temeh. Di sela-sela laju cerita narator membuat candaan lewat komentar terhadap banyak hal: kebiasaan orang Indonesia menganggukan kepala, ledekan terhadap orang yang jatuh cinta, pasal hukum tentang pembunuhan dan zinah, sampai kecenderungan anak muda suka dengan filsafat eksistensialis. Selain itu, latar tempat menarik bagi saya secara pribadi. Rumah Satria di Gegerkalong. Rute dari rumahnya menuju Unpad Dipatiukur, kampusnya, sempat dibahas. Penggambaran restoran di jalan Siliwangi dan tukang bajigur di jalan Supratman bisa jadi informasi wisata kuliner jaman baheula. Dago Tea House sebagai tempat mesum. dst. dst.

Dalam Kita Hanya Hidup Sekali, Remy Sylado bukan hanya bermain-main dengan kebetulan-kebetulan antarperistiwa, melainkan juga dengan hal-hal remeh-temeh yang dia komentari sepanjang cerita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar