Kamis, 07 Mei 2015

Lagu Buat Meimei - Sayudi


Judul Buku
:
Lagu Buat Meimei
Penulis
:
Sayudi
Penerbit
:
Pustaka Jaya
Tahun Terbit
:
1979



Cinta antarorang yang beda golongan adalah hal yang empuk untuk digodok jadi masalah utama suatu cerita. Dalam Lagu Buat Meimei, dua orang yang saling mencintai adalah Dadang dan Meimei. Perbedaan golongan itu diungkapkan lewat mulut ibu Meimei. Dadang Sunda, sedangkan Meimei Tionghoa. Ditambah lagi, Dadang bukan berasal dari keluarga yang berada. Dia pun belum mapan secara ekonomi, masih kuliah, sedangkan ibu Meimei mengharapkan anaknya berhubungan dengan lelaki mapan, bahkan menyarankan agar Meimei berhubungan saja dengan seorang lelaki lain. Meskipun cinta berpotensi untuk jadi masalah yang gawat, dalam kisah yang singkat ini penyelesaiannya gampang dan tidak begitu dramatis. Hanya ibu Meimei yang keberatan dengan hubungan anaknya, sedangkan bapak dan kakak Meimei santai saja menanggapinya. Setelah Beng, kakak Meimei, urun pendapat, ibunya luluh juga. Berhadapan dengan keberatan ibunya, Meimei pun sempat merasa sedih. Tapi, kesedihan itu tak membuatnya sampai bagaimana, bahkan dia masih bisa menikmati pertemuan dengan Dadang. Justru Dadanglah orang yang digambarkan terus-menerus khawatir akan keberatan itu. Tapi, ya, kekhawatiran itu hanya sebatas khawatir. Dalam Lagu Buat Meimei, masalah cinta ini mentok pada rasa khawatir belaka.

Terlepas dari penyelesaian yang gampang itu, sebenarnya banyak hal-hal sepele yang asyik dari Lagu Buat Meimei. Pertama, penyandingan-penyandingan beberapa hal yang tampaknya tidak berkaitan justru malah membuat hal-hal tersebut saling menguatkan karena digambarkan pada peristiwa yang tepat. Ada adegan Dadang naik sepeda sambil melamunkan Meimei. Dia melamunkan hal-hal yang menyenangkan tentang Meimei. Tapi, itu berubah menjadi lamunan yang bernada khawatir saat dia menyadari pengguna jalan lain memakinya karena membahayakan gara-gara melamun. Keadaan jalan seakan menggambarkan lamunan Dadang. Ada juga adegan Dadang dan Meimei kencan di taman dekat gereja jalan Braga. Di gereja itu ada pernikahan yang digambarkan demikian indah. Penggambaran itu disusul oleh kemesraan Dadang dan Meimei, lalu berubah menjadi kekhawatiran Dadang tentang penerimaan orang tua Meimei terhadapnya. Seakan-akan mempelai dalam pernikahan itu adalah Dadang dan Meimei, padahal bukan. Kedua, adegan apel Dadang ke rumah Meimei kocak-kocak manis. Awalnya, dia berusaha mencairkan suasana dengan mengobrol tentang tahun baru Imlek dan kode buntut dengan bapak dan ibu Meimei. Tapi, upaya yang tampak canggung dan sok akrab itu berhenti ketika ibu Meimei bertanya tentang keseriusan Dadang dalam hubungannya dengan Meimei. Untuk tidak mengatakan adegan ini mengingatkan saya pada pengalaman pribadi, sehingga terkesan seperti curhat, dan supaya terkesan ilmiah saya sebut adegan ini adalah adegan yang besar kemungkinan untuk jadi objek identifikasi diri pembaca. Ketiga,  –dan ini juga karena faktor identifikasi diri— kisah ini berlatar di Bandung! Seperti yang telah disebutkan, salah satu adegan berlangsung di sebuah taman di gereja dekat jalan Braga. Gereja itu pastilah gereja tempat perpustakaan Bale Pustaka berada –apa namanya, ya? Saya lupa. Tapi, taman yang dimaksud di situ sekarang tak ada lagi. Meimei dan Dadang kencan di jalan Braga. Bioskop Majestic disebut-sebut. Daerah tempat berada rumah duka yang disinggahi Dadang dan Meimei pun tampaknya adalah Gardujati. Tapi, di antara semua itu, yang paling membuat saya bingung adalah penyebutan bahwa rumah Meimei tak jauh dari Gang Saritem. Hah?

Meskipun konflik utama kisah yang sangat singkat ini kurang greget, hal-hal sepele yang menarik di dalamnya asyik juga untuk dinikmati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar