Kamis, 30 April 2015

Dua Sosok Mungil - EMI Affandy


Judul Buku
:
Dua Sosok Mungil
Penulis
:
EMI Affandy
Penerbit
:
CV Rosda
Tahun Terbit
:
1985



Saat membaca bab- bab awal Dua Sosok Mungil, saya mendapatkan harapan bahwa akan ada kisah tentang intrik organisasi mahasiswa atau perjalanan karir mahasiswa film, karena ada bab yang berisi tentang masa pemilihan ketua Keluarga Mahasiswa dan ada bab yang berisi diskusi tentang teknik pembuatan film. Tapi, ternyata itu hanya kege-eran saya saja. Setelah bab pemilihan ketua Keluarga Mahasiswa, tak ada lagi bab yang menyinggung-nyinggung itu. Setelah bab diskusi film, memang ada bab yang berisi proses pembuatan film, tapi sekadar sebagai penanda latar bahwa cerita terjadi antara orang-orang yang berkaitan dengan film, mahasiswa film. Meskipun begitu, sebenarnya trik pengalihan itu sudah secara gamblang diperlihatkan buku ini. Bab pertama berisi adegan sepasang lelaki perempuan yang bercumbu di pantai, yang sebenarnya adalah adegan film yang dibuat oleh salah seorang tokoh. Selain itu, di sampul belakangnya pun persoalan besar dalam buku ini sudah diceritakan. Saya mengabaikan peringatan itu. Sial!

Beginilah persoalan terbesar dalam Dua Sosok Mungil: Ada seorang perempuan bernama Karmina Ardiwinata (biasa dipanggil Ina). Dia adalah seorang keturunan ningrat di Bandung. Tapi, dia tidak suka dengan sifat kolot keluarganya, sehingga dia ke Jakarta untuk sekolah di IKJ. Di sana dia tinggal bersama saudara bapaknya yang sama kayanya. Tapi, dia menyembunyikan itu dari teman-teman kampusnya, sehingga dia tampak seperti perempuan biasa saja. Tiap hendak berangkat kampus dia mengganti baju kelas atasnya di salah satu terminal. Kalau ditanya tentang tempat tinggalnya, dia menjawabnya dengan candaan. Masalah yang menguak itu semua adalah kemunculan Mohamad Risani (biasa dipanggil Ris) di kampus Ina. Dia adalah lelaki yang dulu dijodohkan dengan Ina. Tapi dulu dia sama kolotnya dengan orang tua Ina, walaupun Ina punya rasa padanya. Sialnya, sebagai pelampiasan dia malah berhubungan dengan perempuan yang juga ningrat tapi seorang perempuan nakal. Sifatnya ditambah hubungan Ris dengan perempuan nakal itu membuat Ina kabur darinya. Maka, kemunculan Ris kembali menguak luka lama Ina.

Buku ini memberi harapan palsu. Itu hal pertama yang menyebalkan. Hal kedua yang menyebalkan adalah penyelesaian masalah Ina dan Ris. Tidak ada kesan kuat bahwa mereka berdebat sehingga mencapai pengertian. Memang pada adegan di sebuah hotel mereka berdebat cukup panjang, tapi sudah begitu saja. Selanjutnya, latar waktu dalam cerita lompat cukup jauh sampai akhirnya Ina menyadari bahwa dalam produksi sebuah film yang dilibatinya Ris juga terlibat. Setelah mereka ribut lagi di kantor Ris, masalah selesai. Gampang sekali. Tapi, untuk itu, pembenarannya begini: Ina masih cinta pada Ris, tapi dia juga kesal karena Ris selingkuh. Untuk sebuah kisah tentang pemberian maaf, cerita ini terlalu berlarut-larut. Hal ketiga yang menyebalkan adalah unsur-unsur yang awalnya tampak akan menjadi penting akhirnya dibiarkan jadi sekadar sampingan dan tak digali. Misalnya, tokoh John Chaniago, Parsidi Rimba, dan Choky, perasaan Jawalharal Ginting terhadap Ina, keluarga Pak Tua Gandhi, dst. Untungnya, ada penghiburan sesekali dari ledek-ledekan sekilas antara tokoh-tokohnya.

Konon, ada sebuah ungkapan bahwa daripada bicara kurang baik lebih baik diam. Tapi, toh, dari hal yang kurang baik itu saya bisa belajar juga tentang hal yang baik. Maka, saya mau bilang saya belajar tentang pengaluran dan pacing dari Dua Sosok Mungil. Hanya saja buku ini mengecewakan saya.

2 komentar:

  1. Mas Al yang baik,
    Apakah mas Al punya bukunya. Bolehkah saya pinjam untyuk difotokopi... mengingat penulisnya adalah alm. ayah saya.
    Hatur nuhun atas kebaikan mas Al

    Saya ada di gilanglavadome@gmail.com

    Salam,
    Gilang

    BalasHapus
  2. Walah...
    Kalau begitu, kita berkorespondensi lewat email saja, ya, mas Gilang.? Nanti saya kirim pesan ke surel.

    BalasHapus