Kamis, 02 April 2015

Sang Guru - Gerson Poyk


Judul Buku
:
Sang Guru
Penulis
:
Gerson Poyk
Penerbit
:
Grasindo
Tahun Terbit
:
2003 (Terbit pertama: 1993)



Kalau ditakar menggunakan standar alur tradisional, Sang Guru adalah novel yang lemah. Kalau boleh dibagi-bagi, ada tiga bagian di dalamnya. Pertama, masa-masa awal Ben sebagai seorang guru pindah ke Ternate. Kedua, perang antara mobrig –bahasa kekiniannya: brimob—dengan tentara gara-gara ketidakdisiplinan anggotanya yang mantan gerombolan sehingga lingkungan Ben jadi tidak kondusif. Terakhir, masa-masa kelompok Permesta menduduki wilayah tempat tinggal Ben yang beriringan dengan kecelakaan Said, adik Irma, pacar Frits, teman Ben. Perpindahan antarbagian itu terjadi dengan kelewat gampang. Bagian pertama dan bagian kedua dijembatani oleh baku tembak antara beberapa anggota mobrig dan tentara di sebuah bioskop hanya gara-gara pacar salah seorang mereka digoda oleh yang lainnya.Lalu, keadaan memanas, dan meluluhlantakan sekitar. Yang agak halus adalah perpindahan dari bagian kedua ke bagian ketiga. Perang antar kesatuan milliter itu diakhiri dengan perundingan antara para pembesarnya. Ada masa pemulihan sebentar bagi tokoh-tokoh. Lalu, pada suatu pelesir di pantai Said begitu saja mengalami celaka yang parah sampai-sampai harus dibawa ke rumah sakit di kota. Terakhir, setelah Ben dikeluarkan dari kelompok Permesta, Frits menyarankannya untuk jadi petani gula di perkebunan orang tua Sofie, perempuan yang kemudian jadi istrinya. Peristiwa-peristiwa itu disajikan seperti,”Masalah satu sudah selesai. Selanjutnya, masalah yang lain,” tanpa ada benang merah yang lebih dari sekedar urutan peristiwa. Pada menjelang akhir cerita tidak terasa klimaks. Meskipun begitu, bagi yang tidak keberatan dengan ketiadaan greget alur, pengaluran macam begini bisa dirasakan sebagai sesuatu yang nyata. Hidup kita tak selalu bergerak menuju satu titik terharu.

Ben adalah tokoh utama. Wajar kalau dialah yang digali paling dalam di antara tokoh yang ada dalam Sang Guru. Kita bisa mengenalnya lebih jauh lewat beragam reaksinya terhadap banyak masalah. Saat pertama tiba di Ternate, dia merenungkan profesi guru yang dielu-elukan orang, sedangkan dia jadi guru sebagai upaya untuk tetap dapat makan. Dia merasa malu saat akhirnya harus kasbon pada Pak Ismail, penjaga sekolah, sedangkan pada saat dia pertama tiba di Ternate, dia gigih menolak tawaran Pak Ismail yang saat itu menyambi jadi kuli angkut. Dia jatuh cinta pada Sofie sejak mereka bertemu di kapal menuju Ternate, tapi lama kemudian baru dia menyatakan cintanya. Dia minder saat orang tua Sofie mengajukan beberapa syarat nikah, sementara dia sendiri tak punya uang. Dia jadi sangat waspada terhadap kabar-kabar saat perang antara mobrig dan tentara. Dia terlibat dengan Permesta demi tetap mendapat makan. Dia gelisah saat memiliki sebotol mutiara yang diberikan oleh orang tak dikenal saat huru-hara. Sebaliknya, tokoh-tokoh lain kebanyakan tak banyak digali. Frits sifatnya seperti Anwar dalam Atheis-nya Achdiat, walaupun tanpa sifat snob. Ibu sejak awal sampai akhir sama saja sifatnya. Paling-paling Irma, Sofie, dan Pak Ismail yang agak digali: latar belakang Irma pacaran dengan Frits; pandangan Sofie tentang hubungan laki-perempuan dan tentang mutiara Ben; Pak Ismail jadi galak kalau sedang tertekan.

Sang Guru adalah kisah yang mengalir begitu saja tanpa gelombang yang membuncah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar