Minggu, 29 Maret 2015

Greyhound (karya Diky Sumarno) - Teater Nonton


Judul Drama
:
Greyhound
Penulis Asli Naskah
:
Diky Sumarno
Waktu Pentas
:
Sabtu, 21 Maret 2015
Tempat Pentas
:
Aula PSBJ Unpad
Kelompok Penggarap
:
Teater Nonton



“Tunjukkan padaku satu keluarga yang normal,” kutip Dewi Noviami, ketua Komite Teater DKJ, dari seorang penulis Jerman pada sesi diskusi setelah pentas Greyhound pada Sabtu, 21 Maret 2015. Memang, ada gambaran suatu keluarga pada pentas yang disutradarai oleh penulis naskahnya, Diky Sumarno. Intrik dalam keluarga kalangan atas yang dipertontonkan di aula Pusat Studi Bahasa Jepang Unpad ini menguatkan kesan sinis yang terkandung dalam kutipan tadi.

Keluarga itu adalah keluarga Sudarsono. Tanpa bapak yang sudah almarhum, mereka menjalani pagi yang rutin: Bayu, si sulung, seorang pilot; Wisnu, anak kedua, seorang dokter kandungan; Tara, anak ketiga, pebisnis properti; Krisna, si bungsu, mahasiswa jurusan Ekonomi; dan Ibu Sudarsono, janda almarhum Sudarsono. Kecuali si bungsu, semua sudah menikah. Wisnu dengan Laras; Bayu dengan Ratna, mantan pramugarinya; dan Tara dengan Indra, lelaki yang bercita-cita untuk jadi penulis. Seperti lazimnya kalangan atas, keluarga itu punya pembantu: Sri dan Tarno. Kadang mereka dikunjungi oleh paman Haryoto, yang mengurusi perusahaan almarhum bapaknya, dan Donal, asistennya.

Mereka keluar-masuk pusat rumah mereka, ruang tengah, lewat lima jalan: tangga menuju kamar pasangan Wisnu-Laras dan Krisna, tangga menuju kamar pasangan Bayu-Ratna, pintu menuju kamar Ibu, pintu menuju ruang pembantu dan halaman belakang, dan pintu keluar rumah. Di ruang tengah itu mereka semua bertemu tiap pagi, pertemuan yang menunjukkan gesekan antara saudara, antara anak dan orang tua. Hanya saja, sangat halus gesekan itu terdengar, sehingga masalah-masalah yang terpendam itu terkupas sangat perlahan. 

Kita sama-sama tahu tentang kesukaan kalangan atas memajang barang-barang bagus di rumahnya sebagai pajangan belaka. Keberadaan potret-potret anggota keluarga, dua lukisan dinding, dan buku-buku dalam rak yang bagus-bagus namun hanya sebagai pajangan. Meskipun begitu, ketidakterpakaian benda-benda itu, kecuali hanya sebagai pajangan, oleh tokoh-tokohnya, yang biasanya jadi nilai minus karena semua yang ada dipanggung harus “terpakai”, justru jadi nilai tambah. Sebab, itu seiring dengan upaya anak-anak itu untuk memajang-majang citra bagus di hadapan orang tuanya. Pada akhirnya upaya itu sia-sia,pajangan belaka.

Busana jadi penanda identitas sosial tokoh. Wisnu dan Bayu berbusana pakaian dinasnya. Hanya saja busana dan aksesori Wisnu memberikan kesan metroseksual. Krisna berbusana kasual ala anak kuliahan. Tara memakai rok selutut dan jas berbantalan pundak untuk menegaskan bahwa dia adalah wanita karir, beda dari Laras dan Ratna yang memakai gaun terusan pendek layaknya perempuan-perempuan sosialita. Sedangkan, yang agak mencolok adalah busana Indra, Ibu, dan paman Haryoto. Indra memakai jaket jins dan celana jins, sehingga dia lebih tampak seperti preman ketimbang orang yang serabutan sebagai penulis, apalagi aktornya berbadan besar. Tapi, mungkin itu untuk menekankan aspek penganggurnya. Busana Haryoto sangat santai untuk ukuran pengurus perusahaan almarhum Sudarsono, apalagi dengan selendang pendek tipis di lehernya. Dia jadi tampak seperti seorang perancang busana. Ibulah yang busananya kelewat sederhana untuk ukuran ibu-ibu kelas atas.

Meski begitu, busana kedua yang dipakai beberapa tokoh melampaui fungsi penanda identitas sosial. Ini tampak pada adegan penentu. Hanya ada anak-anak itu dan pasangan masing-masing pada adegan itu. Indra dan Tara memakai busana berwarna utama biru, Wisnu merah marun, Bayu hijau, sementara Ratna, Laras, dan Krisna abu-abu gelap. Perbedaan warna busana jadi penanda kubu dalam konteks pertentangaan pandangan. Ratna dan Laras adalah orang luar yang bingung apakah harus terlibat atau tidak. Krisna berada pada posisi “antara”. Wisnu dan Bayu, selain menentang Indra dan Tara yang sependapat, saling menyalahkan juga.

Pada adegan penentu itu rahasia-rahasia anak-anak Sudarsono terbongkar. Meskipun Krisna berkuliah di jurusan Ekonomi, sejalan dengan keinginan orang tuanya, bahan dalam skripsi ekonomi kreatifnya adalah tari tradisional. Tari adalah hal yang dicita-citakannya. Bayu telah lama dipecat dari maskapainya karena bolos dari penerbangannya gara-gara menuruti firasat ibunya. Untungnya, firasat itu benar. Pesawat itu celaka. Tapi, keterlibatan Bayu dalam tim evakuasi membuat Ratna menyatakan kecurigaan tentang perselingkuhan dia dengan seorang pramugari. Bayu menjelaskan keadaan sebenarnya. Tapi, pengakuan itu membongkar impotensinya. Wisnu mencekoki Laras dengan obat-obat kontrasepsi, sehingga perempuan itu tak kunjung hamil dan dianggap mandul oleh banyak orang. Sebab, Wisnu trauma atas kematian seorang perempuan yang dia tangani proses melahirkannya. Tara pun bukan seorang pebisnis properti yang sukses. Pada adegan penentu itu runtuhlah segala sesumbar yang diucapkan mereka pada ibunya saat adegan pertama. Runtuhlah segala pajangan yang bagus-bagus itu.

Pemantik pembongkaran rahasia itu berakar pada keinginan Indra untuk keluar dari rumah orang tua Tara. Dia diejek oleh orang-orang yang ada di sana. Dia dibilang tak punya penghasilan tetap, dan kerjanya hanya bermimpi. Salah satu proyek naskah film yang digarapnya dianggap sebagai pekerjaan yang tak berduit. Dalam keadaan itu, keinginannya dipupuki oleh omongan Ratna bahwa jika ingin bebas dari rumah ini, dia harus melawan. Saat sepupunya menawarinya untuk berkerja di Kalimantan pada suatu perusahaan batu, dia menemukan celah untuk melawan. Maka, setelah Tara sepakat, pada adegan penentu itu mereka berdua menyatakan perlawanannya.

Perlawanan mereka berkaitan dengan makna judul drama itu. Greyhound adalah anjing yang diadukan dalam pacuan anjing yang marak pada saat Jakarta digubernuri oleh Ali Sadikin. Pacuan itu sangat digemari oleh ayah dan paman anak-anak itu. Pada salah satu adegan Tarno dan Sri pernah membandingkan anak-anak Sudarsono dengan greyhound. Anjing itu sangat taat pada majikannya. Saat majikannya hilang, mereka akan kebingungan. Wisnu, Bayu, Krisna, dan Tara adalah anjing yang patuh pada majikannya, orang tuanya. Mereka membutuhkan majikan, membutuhkan dominasi. Mereka menuruti keinginan orang tuanya walaupun bertentangan dengan mimpi mereka demi tak kehilangan “belaian”. Bahkan, seperti pendapat Ratna, mereka jadi manja. Di sisi lain, pola pikir greyhound dalam kepala anak-anak Sudarsono membuat mereka meneguhkan apa yang diyakini ibunya, misalnya laki-laki harus bekerja dan perempuan tinggal di rumah. Dampaknya adalah sesumbar pencapaian palsu mereka dan ejekan terhadap keadaan Indra. Kerangkeng itu juga yang membuat Indra jengah. Pada akhirnya, dia berhasil membuat Tara keluar dari kerangkeng pola pikir greyhound, dan pergi bersamanya ke Kalimantan.

Tara sudah terlalu lama terbiasa jadi greyhound. Maka, jika setelah berhasil keluar dari rumah dan pergi ke Kalimantan, dia terkena serangan jantung, lalu wafat, maka itu adalah hal yang wajar. Goncangan jiwa yang dia dapat dalam perdebatan dengan kakaknya, selain merupakan goncangan dariserangan kakaknya, juga goncangan dalam dirinya dalam mengatasi keyakinan baru. Dia bebas, tapi harus mati saat akhirnya mengecapnya. Ironi itu menjadi tragedi saat kabar tentang kematian Tara membuat Ibu terkena serangan jantung, walaupun itu bisa diduga sejak awal. Belum cukup. Setelah tragedi itu, rumah tangga almarhum Sudarsono seakan terkutuk untuk berputar-putar terus dalam pacuan anjing greyhound: Pada adegan terakhir seluruh anggota rumah tangga yang tersisa, termasuk Indra, melakukan rutinitas pagi dengan berkumpul di ruang tengah, sementara peran Ibu digantikan oleh Sri, pembantu rumah itu.

Greget adegan pertama sampai adegan penentu terjaga dengan baik. Hanya saja, dari situ sampai drama benar-benar selesai kesan menggantung terasa begitu kuat. Bahkan, blackout yang masih beberapa kali muncul setelah itu bisa saja mengelirukan, sehingga dianggap sebagai akhir cerita. Saat Sri dengan heran berkata,”Ibu?” karena Tarno bicara seakan Ibu masih hidup, sedangkan sebenarnya telah wafat, adalah saat yang berpotensi besar untuk tampak seperti akhir cerita. Meskpun begitu, adegan terakhir yang merupakan variasi dari adegan pertama menguatkan kesan bahwa mereka, anak dan mantu Sudarsono yang tersisa, berada dalam putaran lintasan pacuan anjing greyhound yang tanpa ujung.

Pada sesi diskusi berkali-kali diutarakan bahwa kisah keluarga Sudarsono adalah kisah yang begitu akrab dengan kita. Sehingga, celah-celah identifikasi diri pada tokoh-tokoh di atas panggung terbuka lebar. Kita akrab dengan pertikaian dengan saudara dan dengan ketatnya ketaatan pada orang tua. Apabila konflik dalam sebuah keluarga dianggap tidak normal, maka tak ada keluarga yang normal adalah tanggapan atas pernyataan yang dikutip pada awal tulisan ini. Tapi, kalau dalam tiap keluarga selalu ada konflik, maka barangkali ketidaknormalan itu kenormalan itu sendiri. Saya jadi teringat sebuah ungkapan bahasa Sunda: dina piring sendok mah paketrokna moal jauh ti jeung garpu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar