Judul Drama
|
:
|
Dunia Orang-Orang Mati
|
Penulis Asli Naskah
|
:
|
Saini KM
|
Waktu Pentas
|
:
|
Jumat, 20 Maret 2015
|
Tempat Pentas
|
:
|
Gd. Hj. Kartini Kridoharsodjo
|
Kelompok Penggarap
|
:
|
Studi Teater Unisba (Stuba)
|
Belakangan ini beberapa kelompok
teater kampus seperti sedang berkomplot untuk meramaikan kancah teater di
Bandung dan sekitarnya. Salah satunya, pementasan Dunia Orang-Orang Mati karya
Saini KM oleh Stuba. Di aula Hj. Kartini Kridhoharsojo yang malam itu dirundung
hujan drama tiga babak tentang lika-liku hidup Darma, seorang veteran ’45,
berpuluh tahun setelah masanya di medan perang dipentaskan. Pada babak pertama
Darma bekerja dalam bidang keuangan pada sebuah bank. Babak kedua juga sama.
Hanya saja tempatnya bekerja adalah sebuah perusahaan kontraktor. Sedangkan
pada babak ketiga dia bekerja sebagai penjaga kuburan Belanda. Dalam ketiganya
dia berhadapan dengan kawan lamanya di Batalyon Tutul: Juarsa adalah sang
direktur bank, Suryani –yang dalam naskah aslinya bernama Suryana—adalah
direktur perusahaan kontraktor, dan Lasmini dan Marina –yang dalam naskah
aslinya bernama Taudin dan Suwaya— yang ingin mengajaknya bergabung dalam
perusahaan mereka saat dia menjadi penjaga kuburan. Sayang sekali kedalaman
makna dalam naskah aslinya tidak terejawantahkan dengan baik pada pentas Jumat
lalu, 20 Maret 2015.
Seorang penonton, saat sesi tanya
jawab, menyatakan bahwa pentas itu giyung. Penyebabnya adalah banjir bandang
penjahat panggung sepanjang pentas. Ada 15 tokoh dalam naskah aslinya.
Sedangkan, pada pentas tak kurang dari 27 tokoh keluar masuk panggung. Ketika
suatu naskah dipentaskan, perubahan di sana-sini adalah hal yang wajar.
Masalahnya, walaupun tingkah kebanyakan tokoh tambahan itu menimbulkan tawa, laju
adegan jadi berantakan gara-garanya.
Yang paling fatal adalah pada
babak ketiga. Itulah babak pamungkas. Di situ ironi hidup Darma ada pada titik
tertinggi. Dia bekerja sebagai penjaga kuburan Belanda, bangsa yang dulu dia
lawan. Di situ mantan istrinya datang sebagai lonte seorang Belanda. Dia
menyerah. Lalu, pada akhirnya marah. Tapi, perasaan itu tak terpancar pada
penonton. Penjahat-penjahat panggunglah yang menghalanginya: istri Parto yang
sangat manja , dua pelacur yang mendadak datang mendadak pergi, dua orang yang
pacaran (laki-laki dan bencong), dan –ini yang paling mengherankan— pocong.
Omongan mereka sama sekali tak ada hubungannya dengan cerita. Bahkan, sungguh
sayang sekali Parto, tokoh yang memang ada di naskah, kelewat centil ingin
berimprovisasi dengan banyolan kekinian. Untuk itu, saya ingin mengutip apa
yang berkali-kali dikatakannya,”Di situ saya terkadang merasa sedih.”
Babak kedua tak separah itu,
walaupun tak bisa dibilang berhasil juga. Di sini kekacauan yang dibikin si
Bencong bahkan lebih gila daripada babak ketiga. Dia minta cium Darma sebagai
bayaran supaya dia pergi dari panggung. Padahal, saat itu Darma sedang gundah
karena bosnya merencanakan pelacuran terselubung untuk melancarkan bisnisnya.
Rusaklah suasana gundah itu. Selain itu, Tito dan Tati yang tampak seperti
bocah idiot keterlaluan, membuat panggung jadi seperti sirkus kedunguan.
Padahal, penambahan dua tokoh itu berpotensi menimbulkan ironi bagi sesumbar
Suryani pada Yopi tentang kedermawanan perusahaannya yang mendanai pendirian
Taman Kanak-Kanak. Puncak babak kedua pun seperti sumbu dinamit yang keburu
dipadamkan air. Ketakutan Suryani, Haris, dan Maya akan murka Darma sungguh tak
wajar. Mereka lari tunggang langgang ke sana ke mari, sedangkan Darma hanya
mengobrak-abrik sekelilingnya sambil berjalan pelan. Bahkan, mereka sempat
berlari mendekati Darma.
Yang agak bisa dimaafkan adalah
penjahat panggung di babak pertama, walaupun tetap saja kemunculan mereka ke
panggung tanpa alasan yang masuk akal. Mula-mula muncul seorang ibu hamil tua
dan suaminya yang memakai setelan ala tukang ojeg zaman sekarang, lalu orang
yang mengaku-aku sebagai Teddy, anak Ruslan yang kecelakaan mobil, ke dalam
kantor Darma. Mereka bisa dimaafkan karena muncul di awal-awal, sebelum masalah
mulai panas. Mereka menambal peran Iyang, yang muncul pertama-tama, untuk
menarik fokus penonton pada panggung.
Memang, kemarin babak pertama
adalah babak yang paling berhasil. Aktor yang memerankan Ruslan, Darma, Maya,
dan terutama Juarsa bermain prima. Keculasan Juarsa mampu dipancarkan oleh
aktornya dengan senyum-senyum licik dan gerak tangannya. Bahkan, pada saat
lidahnya keseleo dia mampu berimprovisasi, sehingga kesalahan itu tidak tampak
seperti aktor lupa dialog, melainkan orang yang keseleo lidah saat bicara
sehari-hari. Puncak keculasannya pada adegan terakhir babak pertama diperkuat
oleh tata lampu remang-remang yang menyorot ala adegan ruang interogasi. Murka
Darma yang menandai puncak ketegangan babak pertama pun diejawantahkan dengan
baik oleh aktor-aktornya diiringi dentuman piano yang bergemuruh.
Katanya, salah satu kepuasan aktor
atau tim pentas drama adalah ketika emosi penonton tergugah oleh
adegan-adegannya. Ketergugahan itu bisa berupa gelak tawa pada adegan lucu dan
tepuk tangan meriah di akhir pentas. Memang, gelak tawa bertebaran sepanjang
pentas kemarin. Hanya saja kebanyakan tawa itu dipantik oleh
kejahatan-kejahatan panggung aktor-aktornya. Padahal, beberapa adegan bisa
dibuat jadi lawakan yang wajar, seperti saat Haris bicara tentang sekretaris
all-in-one untuk Van Rees. Selain itu, beberapa kali kemunculan lawakan tentang
rasa teh yang terasa seperti iklan produk pun tampak wajar. Kalau
mengingat-ingat pentas Dunia Orang-Orang Mati oleh Stuba kemarin, saya jadi
bertanya-tanya: Manakah yang lebih penting dalam mementaskan sebuah drama,
membuat penonton tertawa terbahak-bahak dengan lawakan yang disempalkan di
sana-sini atau menyajikan adegan-adegan sesuai dengan porsinya, tegang maupun
santai, lucu maupun tidak?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar