Judul Drama
|
:
|
Greyhound
|
Penulis Asli Naskah
|
:
|
Diky Sumarno
|
Waktu Pentas
|
:
|
Sabtu, 21 Maret 2015
|
Tempat Pentas
|
:
|
Aula PSBJ Unpad
|
Kelompok Penggarap
|
:
|
Teater Nonton
|
“Tunjukkan padaku satu keluarga yang normal,” kutip Dewi
Noviami, ketua Komite Teater DKJ, dari seorang penulis Jerman pada sesi diskusi
setelah pentas Greyhound pada Sabtu, 21 Maret 2015. Memang, ada gambaran suatu
keluarga pada pentas yang disutradarai oleh penulis naskahnya, Diky Sumarno.
Intrik dalam keluarga kalangan atas yang dipertontonkan di aula Pusat Studi
Bahasa Jepang Unpad ini menguatkan kesan sinis yang terkandung dalam kutipan
tadi.
Keluarga itu adalah keluarga Sudarsono. Tanpa bapak yang
sudah almarhum, mereka menjalani pagi yang rutin: Bayu, si sulung, seorang
pilot; Wisnu, anak kedua, seorang dokter kandungan; Tara, anak ketiga, pebisnis
properti; Krisna, si bungsu, mahasiswa jurusan Ekonomi; dan Ibu Sudarsono,
janda almarhum Sudarsono. Kecuali si bungsu, semua sudah menikah. Wisnu dengan
Laras; Bayu dengan Ratna, mantan pramugarinya; dan Tara dengan Indra, lelaki
yang bercita-cita untuk jadi penulis. Seperti lazimnya kalangan atas, keluarga
itu punya pembantu: Sri dan Tarno. Kadang mereka dikunjungi oleh paman Haryoto,
yang mengurusi perusahaan almarhum bapaknya, dan Donal, asistennya.
Mereka keluar-masuk pusat rumah mereka, ruang tengah, lewat
lima jalan: tangga menuju kamar pasangan Wisnu-Laras dan Krisna, tangga menuju
kamar pasangan Bayu-Ratna, pintu menuju kamar Ibu, pintu menuju ruang pembantu
dan halaman belakang, dan pintu keluar rumah. Di ruang tengah itu mereka semua
bertemu tiap pagi, pertemuan yang menunjukkan gesekan antara saudara, antara
anak dan orang tua. Hanya saja, sangat halus gesekan itu terdengar, sehingga
masalah-masalah yang terpendam itu terkupas sangat perlahan.
Kita sama-sama tahu tentang kesukaan kalangan atas memajang
barang-barang bagus di rumahnya sebagai pajangan belaka. Keberadaan
potret-potret anggota keluarga, dua lukisan dinding, dan buku-buku dalam rak
yang bagus-bagus namun hanya sebagai pajangan. Meskipun begitu, ketidakterpakaian
benda-benda itu, kecuali hanya sebagai pajangan, oleh tokoh-tokohnya, yang
biasanya jadi nilai minus karena semua yang ada dipanggung harus “terpakai”,
justru jadi nilai tambah. Sebab, itu seiring dengan upaya anak-anak itu untuk
memajang-majang citra bagus di hadapan orang tuanya. Pada akhirnya upaya itu
sia-sia,pajangan belaka.
Busana jadi penanda identitas sosial tokoh. Wisnu dan Bayu
berbusana pakaian dinasnya. Hanya saja busana dan aksesori Wisnu memberikan
kesan metroseksual. Krisna berbusana kasual ala anak kuliahan. Tara memakai rok
selutut dan jas berbantalan pundak untuk menegaskan bahwa dia adalah wanita
karir, beda dari Laras dan Ratna yang memakai gaun terusan pendek layaknya
perempuan-perempuan sosialita. Sedangkan, yang agak mencolok adalah busana
Indra, Ibu, dan paman Haryoto. Indra memakai jaket jins dan celana jins,
sehingga dia lebih tampak seperti preman ketimbang orang yang serabutan sebagai
penulis, apalagi aktornya berbadan besar. Tapi, mungkin itu untuk menekankan
aspek penganggurnya. Busana Haryoto sangat santai untuk ukuran pengurus
perusahaan almarhum Sudarsono, apalagi dengan selendang pendek tipis di
lehernya. Dia jadi tampak seperti seorang perancang busana. Ibulah yang
busananya kelewat sederhana untuk ukuran ibu-ibu kelas atas.
Meski begitu, busana kedua yang dipakai beberapa tokoh
melampaui fungsi penanda identitas sosial. Ini tampak pada adegan penentu.
Hanya ada anak-anak itu dan pasangan masing-masing pada adegan itu. Indra dan
Tara memakai busana berwarna utama biru, Wisnu merah marun, Bayu hijau,
sementara Ratna, Laras, dan Krisna abu-abu gelap. Perbedaan warna busana jadi
penanda kubu dalam konteks pertentangaan pandangan. Ratna dan Laras adalah orang
luar yang bingung apakah harus terlibat atau tidak. Krisna berada pada posisi
“antara”. Wisnu dan Bayu, selain menentang Indra dan Tara yang sependapat,
saling menyalahkan juga.
Pada adegan penentu itu rahasia-rahasia anak-anak Sudarsono
terbongkar. Meskipun Krisna berkuliah di jurusan Ekonomi, sejalan dengan
keinginan orang tuanya, bahan dalam skripsi ekonomi kreatifnya adalah tari
tradisional. Tari adalah hal yang dicita-citakannya. Bayu telah lama dipecat
dari maskapainya karena bolos dari penerbangannya gara-gara menuruti firasat
ibunya. Untungnya, firasat itu benar. Pesawat itu celaka. Tapi, keterlibatan
Bayu dalam tim evakuasi membuat Ratna menyatakan kecurigaan tentang
perselingkuhan dia dengan seorang pramugari. Bayu menjelaskan keadaan
sebenarnya. Tapi, pengakuan itu membongkar impotensinya. Wisnu mencekoki Laras
dengan obat-obat kontrasepsi, sehingga perempuan itu tak kunjung hamil dan
dianggap mandul oleh banyak orang. Sebab, Wisnu trauma atas kematian seorang
perempuan yang dia tangani proses melahirkannya. Tara pun bukan seorang
pebisnis properti yang sukses. Pada adegan penentu itu runtuhlah segala
sesumbar yang diucapkan mereka pada ibunya saat adegan pertama. Runtuhlah
segala pajangan yang bagus-bagus itu.
Pemantik pembongkaran rahasia itu berakar pada keinginan
Indra untuk keluar dari rumah orang tua Tara. Dia diejek oleh orang-orang yang
ada di sana. Dia dibilang tak punya penghasilan tetap, dan kerjanya hanya
bermimpi. Salah satu proyek naskah film yang digarapnya dianggap sebagai
pekerjaan yang tak berduit. Dalam keadaan itu, keinginannya dipupuki oleh
omongan Ratna bahwa jika ingin bebas dari rumah ini, dia harus melawan. Saat
sepupunya menawarinya untuk berkerja di Kalimantan pada suatu perusahaan batu,
dia menemukan celah untuk melawan. Maka, setelah Tara sepakat, pada adegan
penentu itu mereka berdua menyatakan perlawanannya.
Perlawanan mereka berkaitan dengan makna judul drama itu.
Greyhound adalah anjing yang diadukan dalam pacuan anjing yang marak pada saat
Jakarta digubernuri oleh Ali Sadikin. Pacuan itu sangat digemari oleh ayah dan
paman anak-anak itu. Pada salah satu adegan Tarno dan Sri pernah membandingkan
anak-anak Sudarsono dengan greyhound. Anjing itu sangat taat pada majikannya.
Saat majikannya hilang, mereka akan kebingungan. Wisnu, Bayu, Krisna, dan Tara
adalah anjing yang patuh pada majikannya, orang tuanya. Mereka membutuhkan
majikan, membutuhkan dominasi. Mereka menuruti keinginan orang tuanya walaupun
bertentangan dengan mimpi mereka demi tak kehilangan “belaian”. Bahkan, seperti
pendapat Ratna, mereka jadi manja. Di sisi lain, pola pikir greyhound dalam
kepala anak-anak Sudarsono membuat mereka meneguhkan apa yang diyakini ibunya,
misalnya laki-laki harus bekerja dan perempuan tinggal di rumah. Dampaknya
adalah sesumbar pencapaian palsu mereka dan ejekan terhadap keadaan Indra.
Kerangkeng itu juga yang membuat Indra jengah. Pada akhirnya, dia berhasil
membuat Tara keluar dari kerangkeng pola pikir greyhound, dan pergi bersamanya
ke Kalimantan.
Tara sudah terlalu lama terbiasa jadi greyhound. Maka, jika
setelah berhasil keluar dari rumah dan pergi ke Kalimantan, dia terkena
serangan jantung, lalu wafat, maka itu adalah hal yang wajar. Goncangan jiwa
yang dia dapat dalam perdebatan dengan kakaknya, selain merupakan goncangan
dariserangan kakaknya, juga goncangan dalam dirinya dalam mengatasi keyakinan
baru. Dia bebas, tapi harus mati saat akhirnya mengecapnya. Ironi itu menjadi
tragedi saat kabar tentang kematian Tara membuat Ibu terkena serangan jantung,
walaupun itu bisa diduga sejak awal. Belum cukup. Setelah tragedi itu, rumah
tangga almarhum Sudarsono seakan terkutuk untuk berputar-putar terus dalam pacuan
anjing greyhound: Pada adegan terakhir seluruh anggota rumah tangga yang
tersisa, termasuk Indra, melakukan rutinitas pagi dengan berkumpul di ruang
tengah, sementara peran Ibu digantikan oleh Sri, pembantu rumah itu.
Greget adegan pertama sampai adegan penentu terjaga dengan
baik. Hanya saja, dari situ sampai drama benar-benar selesai kesan menggantung
terasa begitu kuat. Bahkan, blackout yang masih beberapa kali muncul setelah
itu bisa saja mengelirukan, sehingga dianggap sebagai akhir cerita. Saat Sri
dengan heran berkata,”Ibu?” karena Tarno bicara seakan Ibu masih hidup,
sedangkan sebenarnya telah wafat, adalah saat yang berpotensi besar untuk
tampak seperti akhir cerita. Meskpun begitu, adegan terakhir yang merupakan
variasi dari adegan pertama menguatkan kesan bahwa mereka, anak dan mantu
Sudarsono yang tersisa, berada dalam putaran lintasan pacuan anjing greyhound
yang tanpa ujung.
Pada sesi diskusi berkali-kali diutarakan bahwa kisah
keluarga Sudarsono adalah kisah yang begitu akrab dengan kita. Sehingga, celah-celah
identifikasi diri pada tokoh-tokoh di atas panggung terbuka lebar. Kita akrab
dengan pertikaian dengan saudara dan dengan ketatnya ketaatan pada orang tua. Apabila
konflik dalam sebuah keluarga dianggap tidak normal, maka tak ada keluarga yang
normal adalah tanggapan atas pernyataan yang dikutip pada awal tulisan ini.
Tapi, kalau dalam tiap keluarga selalu ada konflik, maka barangkali
ketidaknormalan itu kenormalan itu sendiri. Saya jadi teringat sebuah ungkapan
bahasa Sunda: dina piring sendok mah paketrokna moal jauh ti jeung garpu.