Judul Buku
|
:
|
Perahu Kertas
|
Penulis
|
:
|
Dewi Lestari
|
Penerbit
|
:
|
Bentang Pustaka & Truedee Pustaka Sejati
|
Tahun Terbit
|
:
|
2009
|
Siapa sih yang tidak punya keinginan, baik yang sederhana
maupun yang tinggi-tinggi atau yang biasa disebut cita-cita? Siapa pun itu,
orang yang punya keinginan akrab dengan yang namanya benturan keadaan. Inilah
yang kemudian memberi pilihan, dobrak, kompromi, atau lupakan sama sekali.
Sederhana. Tapi, kalau kita sedang mengalami situasi itu, wah, jangan tanya.
Nah, inilah persoalan yang terejawantah beragam rupa dalam Perahu Kertas karya
Dee alias Dewi Lestari.
Wujud pertama persoalan ini adalah wujudnya yang
konvensional: cita-cita menyangkut bidang yang ingin ditekuni dua tokoh
utamanya. Kugy ingin jadi juru dongeng dan Keenan ingin jadi pelukis. Keduanya
cukup mahir di bidangnya. Tapi, hal itu dibenturkan dengan keadaan dalam buku
ini. Dongeng bukan jenis cerita yang “diakui” untuk memungkinkan Kugy berkarir
sebagai penulis. Sementara itu, Keenan dilarang bapaknya yang memiliki trading
company untuk menggeluti seni lukis. Intensitas benturan keduanya berbeda, dan
dengan demikian, reaksi keduanya berbeda. Benturan Kugy tidak intens. Dia pun
sadar diri tentang kedudukan dongeng di kancah penulisan. Makanya, dia tidak
masalah saat mesti menulis bukan dongeng. Kontras dengan itu, benturan Keenan
sangat intens, yakni bapaknya memaksanya untuk kuliah ekonomi dan melarangnya
untuk berhubungan dengan Wayan, seorang pelukis kenalan keluarga mereka.
Makanya, Keenan cenderung memberontak dan emosional. Inilah yang membuat
sikapnya atas bidangnya agak kurang perhitungan. Begitu dapat kabar dari Wanda
soal lukisannya terjual, Keenan langsung ingin mengundurkan diri dari kampus
dan fokus melukis saja, dan menjalani hidup kere. Lebih kentara lagi bisa
dilihat dalam sikapnya terhadap aspek jual-beli seni rupa. Pandangannya agak
naif dalam melihat peran kurator dan galeri dalam sistem itu. Lihat saja
sikapnya dalam berhubungan dengan Galeri Warsita milik bapak Wanda. Kesungkanan
dalam hal uang juga masih terasa saat awal-awal berkiprah di galeri Pak Wayan
di Bali. Berbeda sekali dengan Kugy yang cukup dewasa dalam memandang dunia
penulisan. Konflik dari perbedaan ini tampak pada kejengkelan Kugy pada Keenan
saat merengek soal cara Wanda menjual karyanya. Tapi, sikap Keenan dalam hal
ini berkembang seiring pengalamannya, sebagaimana tampak saat dia menggarap
proyek kolaborasi dengan Kugy pada bagian akhir-akhir. Meskipun demikian,
saking intensnya sikap nonkompromi Keenan itu Kugy juga cukup terpengaruh.
Sebaliknya, Kugy menularkan sikap komprominya pada Keenan.
Persoalan keinginan ini dimunculkan juga dalam hal cinta.
Ada tiga kubu dalam hal ini. Wanda dan Ojos adalah kubu yang sradak-sruduk
walaupun Ojos bisa lebih mengendalikan diri. Keduanya cenderung secara gamblang
memaksakan keinginannya. Wanda memanfaatkan kedudukannya sebagai kurator untuk
menyiasati Keenan. Ojos mendesak Kugy untuk ikut liburan ke Bali, padahal
keadaannya tidak memungkinkan. Ketika cinta yang mereka inginkan tidak
didapatkan, mereka meledak. Luhde dan Remi sebaliknya. Ketika menyadari bahwa
Keenan dan Kugy mustahil untuk mereka dapatkan, mereka cenderung berusaha untuk
menguasai dirinya agar merelakannya. Luhde lebih kalem. Remi sebenarnya sama
agresifnya seperti Wanda. Hanya saja geraknya lebih elegan, dan berbeda dengan
Wanda yang tidak terlalu dicintai Keenan, Remi dicintai Kugy. Di antara kedua
kubu itu terdapat Kugy dan Keenan yang cenderung menelan sendiri rasa cintanya,
tidak menggamblangkannya, dan kemudian mengalami kompromi-kompromi yang
sebenarnya kurang disukainya. Sejak awal pertemuan mereka sudah jelas bahwa
keduanya saling jatuh hati. Keduanya saling melengkapi. Kugy yang sebenarnya
hanya acak-acakan di permukaannya saja menyuntikkan keteraturan pada Keenan
yang meledak-ledak. Sebaliknya, Keenan mengobarkan Kugy. Dalam perjalanannya,
keduanya bahkan cukup mesra. Hanya saja mereka tidak menyatakannya secara
gamblang. Kesulitan untuk menyatakan perasaan itu diperparah oleh banyak salah
paham yang menjadi teknik berulang untuk meningkatkan ketegangan cerita.
Dalam perkembangan konflik-konflik itu, waktu berperan
penting. Secara eksplisit waktu cerita ini berkisar antara tahun 1999 dan 2003,
ditambah satu bab yang keterangan waktunya adalah “hari ini”. Waktu selama itu
berpengaruh pada perkembangan psikologis tokoh-tokohnya. Misalnya, keberjarakan
Kugy dari Noni, karibnya itu, diperintens oleh kesibukan Kugy di Sakola Alit
dan hasratnya untuk cepat lulus kuliah selama beberapa tahun. Keputusan Keenan
untuk mengambil alih perusahaan bapaknya saat bapaknya sakit akan terasa
ujug-ujug kalau tidak ditekankan bahwa Keenan cukup lama digembleng oleh pengalaman di Bali. Waktu terutama
berpengaruh pada perasaan Kugy dan Keenan. Lamanya mereka saling berjauhan
menyebabkan mereka mengambil keputusan penting perihal perasaannya.
Perahu Kertas adalah tentang bagaimana waktu membolak-balikkan
orang ke dalam keadaan-keadaan yang menuntutnya untuk memilih antara berkeras,
berkompromi, atau melupakan cita dan cintanya. Pada akhirnya waktu juga yang
akan menguak manalah yang kita pilih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar