Senin, 15 Mei 2017

Kamu (Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya) - Sabda Armandio


Judul Buku
:
Kamu (Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya)
Penulis
:
Sabda Armandio
Penerbit
:
Moka Media
Tahun Terbit
:
2015



Bolos adalah bagian dari pengalaman sekolah, sebagaimana dinyatakan juga dalam Kamu (Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya). Dalam buku itu seorang pegawai mengenang (atau mereka?) pengalamannya bolos selama tiga hari menjelang Ujian Nasional bertahun-tahun lalu.

Bolos hari pertama yang lebih menyerupai mabuk halu berisi petualangannya dalam gorong-gorong, omong-omong nyerempet filsafat dengan orang utan, dan bicara dengan petani yang suka mengubah kata dengan kata lain yang berima tapi jauh artinya. Bolos hari kedua dilewatkannya dengan pacar yang dihamili orang lain. Bolos hari ketiga dia mengawani temannya yang suka berseru ‘Salut!’, menemui kecengannya, saingan cintanya, dan kabar bunuh diri seorang anak SMA.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi selama tiga hari itu dipandang oleh ‘Aku’, seorang pemuda pelamun yang di permukaannya tampak cuek, tak punya hasrat, tak mau menyatakan diri, dan membiarkan dirinya dihanyutkan hidup. Arus hidup diikutinya dengan biasa-biasa saja. Dia kuliah begitu saja, kerja begitu saja. Tidak terasa ada ambisi. Dia ikut-ikut saja saat diajak temannya bolos untuk mencari sebuah sendok. Dia meladeni perempuan yang meneleponnya hanya untuk curhat. Tapi, berdasarkan pengakuan-pengakuannya tidak bisa tidak kita mendapat kesan bahwa kegelisahannya intens juga. Dia bermimpi tentang jarinya yang diamputasi, tentang suara-suara yang menyatakan dia tidak akan pernah menyelesaikan apa-apa. Ada penyesalan dalam ceritanya tentang dia yang tidak sempat menyatakan cinta pada perempuan yang suka curhat itu. Dia bersikap ‘ya sudah’ saat pacarnya mengaku dihamili orang, tapi dia enggan untuk membicarakannya lebih lanjut. Dia terus kepikiran saat disebut ‘Kurt Cobain’ oleh pengamen gila yang sebutannya seringkali menjadi semacam ramalan kematian berdasarkan cara mati musisi yang disebutkannya. Ada rasa jengkel terhadap sekitar, seperti tampak dalam sikapnya saat Kamu, temannya itu, curhat tentang masalah percintaan dan kompromi. Tidak bisa tidak kita mendapatkan kesan bahwa unek-unek ‘Aku’ bertumpuk sampai ke ubun-ubun.

Kamu adalah kontras ‘Aku’. Dia banyak omong dan suka omong tinggi. Orangnya memang ceplas-ceplos. Kalau gelisah, dia menyeploskannya begitu saja. Kalau tidak setuju terhadap sesuatu, dia menyatakannya. Misalnya, saat dia berdebat dengan Johan, yang juga naksir Permen, tentang kompromi atau memberontak sistem. Kamu memilih untuk memberontak karena dengan begitu individualitasnya muncul. Soal individualitas ini jugalah yang membuat Kamu gelisah soal Permen. Dia khawatir kepribadiannya hilang kalau dia berusaha untuk menyesuaikan diri dengan selera Permen. Salah satu contoh kasusnya adalah selera musik. Kegelisahan-kegelisahan semacam itulah yang membuatnya merasa tidak yakin terhadap segala hal. Menulislah alat untuk mengatasinya, menurutnya, karena dengan menulis dia memetakan perasaan dan pikirannya.

Kubu-kubu yang diwakili oleh dua tokoh tersebut –tokoh-tokoh lain adalah varian dua kubu itu—dipertentangkan. Bunuh diri adalah arena yang terus dihampiri. Walaupun akhirnya tidak jadi, Pacar ‘Aku’ sempat berpikir untuk bunuh diri setelah merasa tidak punya harapan hidup lagi gara-gara hamil; Kenalan Permen di bimbel yang bunuh diri karena UN; dan, walaupun tanpa dijelaskan secara gamblang, Kamu yang mati terpanggang di kamar mandi. Ketiganya sama bunuh diri atau terpuruk karena sistem yang lebih besar. Pacar ‘Aku’ terpuruk karena khawatir dengan pandangan orang-orang tentang anak SMA yang hamil. Mengutip kata-kata Kamu, kenalan Permen mati karena dibunuh negara melalui sistem pendidikan. Kamu mati bunuh diri dalam kedudukannya sebagai nabi, selebritas, dan model dan bintang film. ‘Aku’ sendiri berusaha tidak terpengaruh dan bersikap cuek saat menyaksikan tiga peristiwa itu. Pada pacarnya dia menyuruh untuk tidak peduli saja pada penilaian orang-orang. Toh, hamil tidak berarti seseorang kehilangan statusnya sebagai manusia. Saat menyaksikan Kamu dan Johan berdebat tentang bunuh diri kenalan Permen, ‘Aku’ diam-diam menguak kelemahan Kamu dan Johan walaupun dia kurang-lebih menyetujui pendapat Johan soal ‘ikut sistem maka hidupmu akan aman’. Saat mendengar kabar Kamu mati, dia bersikap ‘oh, ya, sudah’ walaupun di sana-sini ada rasa sedih.

Selain bunuh diri, di sana-sini terdapat pembicaraan-pembicaraan lain yang nyerempet filsafat. Misalnya, filsafat bahasa dalam pembicaraan ‘Aku’ dengan orang utan yang bisa bicara dan Kek Su yang suka mengganti kata-kata dengan kata lain yang tidak bermakna sama tapi berima. Di situ muncul pertanyaan,“Kenapa manusia mesti menamai benda-benda?” Omong-omong filosofis juga muncul dalam pembahasan tentang cinta platonis ‘Aku’ pada perempuan yang suka curhat padanya dan ternyata mencintai ayahnya sendiri, dan cinta platonis Kamu pada Permen. Ada pembicaraan tentang dilema landak Schopenhauer. Terlepas dari itu, toh, tiap kali ada Kamu dan ‘Aku’ pembicaraan tentang gim atau acara semacam curhat Mamah Dedeh pun ditarik ke hal-hal yang filosofis.

Dalam buku ini hal-hal sehari-hari bersilang-sengkarut dengan hal-hal filosofis –yang seringkali menjadi gamblang karena kecenderungan Kamu untuk omong besa. Tapi, semua hal itu dipandang oleh seseorang yang berusaha untuk cuek karena bosan. Makanya, mengutip buku yang sering dibaca ‘Aku’, bagian terbaik buku ini adalah tak ada bagian terbaik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar