Judul Serial
|
:
|
Fune wo Amu
|
Rumah Produksi
|
:
|
Noitamina
|
Sutradara
|
:
|
Toshimasa Kuroyanagi
|
Penulis Naskah
|
:
|
Takuya Sato (berdasarkan novel Daitokai karya Shiwon Miura)
|
Waktu Tayang Asli
|
:
|
14 Oktober – 23 Desember 2016 (11 episode)
|
Membikin kamus itu tidak gampang. Waktu kuliah saja saya
gempor juga saat ditugasi untuk mencatat kata-kata pada berlembar-lembar kartu
dalam rangka penyusunan kamus. Itu baru kamus kelas tugas kuliah, apalagi kelas
kamus sungguhan ala KBBI atau kamus tesaurus Eko Endarmoko dkk.. Saya jadi
membayangkan semua itu waktu menonton Fune wo Amu.
Fune wo Amu adalah serial anime yang mengisahkan lika-liku
pembuatan kamus. Karena kamus itu dibuat di lingkungan perusahaan penerbitan,
bukan hanya soal membuat kamus saja yang ada di dalamnya, melainkan juga
masalah-masalah pekerjaan tokoh-tokohnya. Di sana-sini muncul juga masalah
pribadi mereka.
Meskipun ada, masalah pribadi tokoh-tokohnya tidak
digamblangkan. Kebanyakan ditunjukkan lewat isyarat-isyarat, seperti perubahan
penampilan tokoh atau benda-benda. Hubungan percintaan Majime, tokoh utamanya
yang kemampuan sosialnya mengkhawatirkan, dan Kaguya, perempuan yang kemudian
jadi istrinya, hanya ditampilkan dengan adegan pertemuan pertama mereka lalu
beberapa episode kemudian tahu-tahu Majime sudah memakai cincin kawin. Cincin
kawin itu dijadikan tanda lompatan waktu sebagaimana kerutan wajah dan
rambutnya, dan hape lipat yang ada di episode-episode awal lalu berganti
menjadi hape layar sentuh. Contoh lainnya, ibu kos Majime yang pada
tengah-tengah seri tahu-tahu sudah menjadi sosok dalam foto di meja altar
persembahan. Kematiannya, dan dengan demikian kedukaannya, tidak ditampilkan. Hubungan
Nishioka, tokoh utama yang sifatnya bertolak belakang dengan Majime, dan Remi, pacarnya
yang tinggal serumah pun hanya ditampilkan secuplik. Tidak terjelaskan kenapa
Nishioka sempat tidak ingin mereka terlihat berduaan di depan umum oleh
rekan-rekan kantornya. Meskipun demikian, penyembunyian ini tidak membuat
masalah pribadi mereka kehilangan gregetnya.
Memang penekanan serial ini adalah upaya Majime dan
rekan-rekan di departemen kamus untuk membuat Daitokai atau Jalan Agung, judul
kamus mereka. Adegan-adegan yang berkaitan dengan upaya ini dibuat sedemikian
mengesankan walaupun dengan penggambaran yang realistis. Misalnya, adegan
Majime mengecek kualitas kertas untuk mencetak Daitokai hanya berisi dia
membolak-balik kertas, disaksikan oleh orang dari percetakan dan rekan
kerjanya. Tapi, kekhusyukan Majime dan ketegangan orang percetakan itu sangat
terasa. Contoh lain, adegan Majime menyadari ada satu kata luput dari cetak
coba Daitokai. Rasa kaget, terpuruk, kecewa menyeruak intens dari adegan yang
hanya berisi Majime diberi tahu soal itu. Memang ada juga adegan-adegan
impresionistik yang berisi pelapisan adegan realistis dengan citraan-citraan
semacam laut bergolak, badai, huruf-huruf berhamburan, dst. ala-ala anime pada
umumnya. Tapi, tetap saja di situ banyak adegan peristiwa sehari-hari yang
dibuat impresif.
Bukan hanya pengintensan adegan saja yang digunakan untuk
menekankan upaya pembuatan kamus itu, melainkan kendala-kendala lainnya juga.
Di tengah jalan perusahaan penerbitannya memotong anggaran proyek itu. Tim Daitokai
jadi mesti mengerjakan proyek-proyek lain untuk membiayai proyek utama mereka.
Selain itu, Nishioka, yang merupakan jagoan humas tim itu, jadi berupaya untuk
mencari dukungan dari para ahli supaya ada kesan proyek Daitokai disokong oleh
figur-figur terpercaya sehingga proyek itu tidak dibatalkan. Kendala belum habis.
Perusahaan yang menyadari siasat itu lalu memindahkan Nishioka ke bagian humas.
Tinggallah Majime satu-satunya pegawai tetap di tim itu dan sekaligus pemimpin
sah proyek itu. Pegawai lainnya hanyalah pegawai kontrak walaupun sejak awal
sampai akhir tetap bertahan seperti keluarga.
Di sini kemelut yang tiada hentinya itu selalu berhasil
diatasi oleh etos ganbaru dan rasa cinta kerja. Majime adalah teladannya.
Memang kepribadiannya banyak menghambat kerjanya. Dia peragu, sulit
bersosialisasi, dst.. Inilah juga yang sering menimbulkan kendala pribadinya.
Tapi, dia punya kecintaan akan kata-kata. Buku-buku menimbun kamarnya
sampai-sampai dia perlu mengontrak satu kamar lagi untuk menyimpannya.
Berkali-kali juga muncul adegan dia memaparkan definisi suatu kata –yang sering
diherani Nishioka saking aneh sikapnya kalau sudah begitu. Sikap inilah yang
membuat Araki-san, mantan editor Daitokai, dan Matsumoto-sensei, konsultan
ahlinya yang bijaksana, yakin bahwa Majime sebenarnya adalah pekamus tulen.
Sikap inilah yang kemudian membuatnya bersungguh-sungguh menggarap Daitokai.
Pada gilirannya sikap ini mempengaruhi tokoh-tokoh lain yang pada awalnya tidak
terlalu sepenuh hati bekerja: Nishioka menganggap Daitokai hanyalah pekerjaan
biasa, bukan sesuatu yang memikat hati sepenuhnya; bahkan pada awalnya Midori,
pegawai baru di departemen kamus, merasa tidak kerasan dipindahkan ke
departemen kamus karena sudah terbiasa dengan karirnya di bidang majalah
busana. Setelah beberapa saat bekerja bersama Majime, mereka terpengaruh juga
oleh dedikasi dan etos kerja Majime.
Fune wo Amu memberikan kesan bahwa membuat kamus adalah pekerjaan agung nan keren, dan sebaik-baiknya pekerja adalah yang mencintai pekerjaannya dan berdedikasi. Saya jadi ingin bikin kamus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar