Judul Buku
|
:
|
Pondok Baca Kembali Ke Semarang
|
Penulis
|
:
|
Nh Dini
|
Penerbit
|
:
|
Gramedia Pustaka Utama
|
Tahun Terbit
|
:
|
2011
|
Pondok Baca Kembali Ke Semarang berisi pengalaman dan
penilaian Dini sebagai anggota perkumpulan Rotary Club Kunthi, penulis, pengurus
Pondok Baca, dan seorang ibu pada pertengahan tahun ‘80an sampai ‘90an.
Sebagai penulis mapan, dia sering dimintai tolong oleh
banyak pihak untuk menulis, seperti menjadi kontributor Sinar Harapan atau
menulis biografi Bhante Girirakkhita. Selain itu, Dini sering diundang untuk
menjadi pembicara dalam beragam seminar. Dalam buku ini, diceritakan
pengalamannya saat diundang ke Australia oleh Universitas Flinders untuk
mengisi acara “Konferensi Budaya Indonesia”. Dia juga pernah diundang oleh Plan
International Kupang Barat, sebuah lembaga yang berafiliasi dengan UNICEF dan
Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, untuk berbicara tentang perpustakaannya. Walaupun
merasa senang karena bisa mendatangi tempat-tempat menarik, dia merasa kurang
sreg dengan kompensasi yang diberikan panitianya. Kalau diundang untuk menjadi
pembicara, khususnya oleh lembaga-lembaga dalam negeri, seringkali dia hanya
mendapatkan kain atau barang-barang sejenisnya. Dia justru lebih ingin diberi
kompensasi berupa uang. Ditambah lagi, pada masa itu dia mesti membiayai
perpustakaannya. Dengan tegas dia menyatakan bahwa dia tidak malu memasang
tarif kalau jasanya sebagai penulis dibutuhkan, suatu hal yang sempat menjadi
bahan gunjingan wartawan. Dia hidup dari menulis. Itulah sokongan finansial
utamanya. Dibandingkannya penghargaan terhadap penulis di Indonesia dengan di
Malaysia. Di sana penulis lebih dihargai karena ada semacam program santunan
yang dikhususkan bagi kalangan ini. Kalau dalam pandangannya tentang penghargaan
terhadap penulis cenderung ketus, tentang kajian terhadap karyanya dia seperti
tersanjung. Dia merasa terpukau juga saat ada peneliti yang menilai bahwa
karyanya mengandung unsur feminisme. Dia mengaku proses kreatifnya lebih
didasarkan pada hati nuraninya saja.
Pada masa awal kepindahan kembali ke Semarang dia diajak
oleh Hesty Utami untuk turut dalam pembentukan cabang Rotary Club, suatu
lembaga hubungan internasional nirlaba yang beranggotakan orang-orang dari
beragam bidang dan bergerak di bidang sosial, di Semarang. Dia urun usul nama
Kunthi bagi lembaga itu dan menulis lirik lagu marsnya. Dalam lembaga itu dia
dianggap sebagai yang paling bisa diandalkan untuk mewakili dalam pelbagai
acara karena jam kerjanya lebih longgar daripada anggota lain. Dia hanya
menyaratkan akomodasinya dalam kesempatan-kesempatan itu. Saat berada dalam
beragam kesusahan, dia tidak jarang ditolong anggota-anggota Rotary Club
Kunthi. Dalam buku ini salah satu proyek besar yang digarap lembaga itu adalah
penyediaan fasilitas air bersih di Gondorio, salah satu desa binaannya yang
terletak di pinggiran Semarang.
Dalam buku ini Dini dikunjungi dan mengunjungi dua anaknya,
Lintang dan Padang. Saat dia mengunjungi Lintang dan suaminya di Kanada, tampak
betapa kenangan akan mantan suaminya tetap membayanginya. Dia merasa anak itu
punya watak seperti bapaknya. Meskipun demikian, perasaannya terhadap anaknya
tetap sayang, berbeda dengan perasaannya pada mantan suaminya. Sesalnya masih
terasa dalam tiap renungannya tentang lelaki itu, bahkan dia menyebutnya dengan
“bapaknya anak-anak”, bukan “mantan suami”. Rasa sayang itu kentara juga saat
dia berusaha menjamu Padang dan tunangannya. Dia ajak mereka ke sana ke mari
dan menyediakan akomodasinya. Ada rasa bangga dalam perenungannya tentang
mereka.
Yang banyak menyita perhatiannya selama masa itu adalah
Pondok Baca. Dia mengupayakan segenap modalnya untuk mempertahankan perpustakaan
itu. Pada setiap panitia yang memintanya terlibat dalam acara mereka sebagai
penulis dia selalu menagih honor dengan penekanan tentang Pondok Baca. Lebih
banyak lagi adalah bantuan-bantuan keuangan atau administratif yang
didapatkannya dari relasinya yang sangat banyak. Dari kalangan politisi,
seperti Emil Salim, Sutrisno Suharto (walikota Semarang), dan Kedutaan Besar
Selandia Baru, sampai perusahaan-perusahaan. Meskipun demikian, jalannya tidak
selancar itu. Yang paling traumatik adalah saat dia hanya ditanggapi oleh 4
penerbit padahal dia mengirimkan 16 proposal. Selain itu, dia juga sempat
kehilangan semangat sama sekali saat
Pondok Baca di Griya Pandana digoncang cuaca buruk. Perpustakaan itu
sempat beberapa kali pindah: dari Sekayu ke Griya Pandana, ke Perumahan
Beringin Indah. Walaupun asal mula pendirian perpustakaan ini disebutkan
sebagai upaya untuk mengatasi kebisingan anak-anak di sekitar rumahnya di
Sekayu, dalam praktiknya, tampak bahwa motifnya yang lebih dalam adalah
pendidikan, khususnya pendidikan anak perempuan, sebagaimana tampak dalam
upayanya untuk mengajak kembali seorang anak yang sudah lama tidak mengunjungi
perpustakaannya. Selain itu, motif sosial tampak dalam keputusannya untuk
mempekerjakan beberapa orang tertentu dan mengangkat anak atas nama Pondok
Baca.
Sebagaimana telah disiratkan di atas, buku ini menguak
banyak relasi sosial Nh Dini. Hampir dalam setiap kegiatannya dia selalu
mendapatkan bantuan dari relasinya yang sangat banyak. Di antara relasinya ada
seseorang yang sangat ringan tangan terhadapnya: Johanna. Secara suka rela dia
menyokong keuangan Dini dalam keadaan apa pun, bahkan sempat mengajukan salah
satu rumahnya sebagai tempat pengganti bagi Pondok Baca.
Dalam banyak peristiwa tampak bagaimana Dini begitu
perhitungan. Ditambah dengan sikapnya yang cenderung menyatakan apa yang
membuatnya terusik, maka dalam pelbagai keadaan yang kurang menyenangkan tampak
betapa jutek dia. Dari tanggapannya terhadap penghargaan orang-orang terhadap
profesi penulis sampai dambaannya tentang nominal ganti rugi dari pengelola
perumahannya.
Pondok Baca Kembali Ke Semarang adalah pengaruh
relasi sosial terhadap banyak kegiatan seseorang dan suatu tuntutan dari
seorang penulis yang dituturkan oleh perempuan yang blak-blakan dalam
menunjukkan kesukaan dan ketidaksukaannya.