Judul Buku
|
:
|
Kita Hidup Hanya Sekali
|
Penulis
|
:
|
Remy Sylado
|
Penerbit
|
:
|
Vicanata
|
Tahun Terbit
|
:
|
1977
|
Serangkaian peristiwa yang saling berkaitan adalah hal
penting dalam sebuah cerita. Sejak awal pertemuan Satria Sofiandi dan Madalena,
jelaslah bahwa bersatunya mereka adalah titik tuju seluruh peristiwa dalam Kita
Hidup Hanya Sekali. Tapi, untuk sampai di tujuan itu, banyak lika-liku dan
candaan penulisnya. Itulah yang membuat kisah percintaan anak muda –salah satu topik
laris dalam dunia cerita—ini menjadi asyik. Ini adalah bukti kepiawaian Remy
Sylado mengait-ngaitkan banyak peristiwa.
Hal paling keterlaluan kebetulan dalam Kita Hidup Hanya
Sekali adalah ternyata Oom Max adalah ayah Satria dan Madalena. Oom Max, yang dimunculkan
di awal cerita, seolah-olah tokoh yang numpang lewat. Seakan-akan dia hanya
berfungsi mengantar pembaca untuk bertemu pertama kali dengan Madalena. Keterangan
di awal cerita bahwa dia punya istri banyak dan masuk penjara karena
kebiasaannya mabuk dan berulah tidak terasa sebagai sesuatu yang relevan bagi
kelanjutan kisah. Barulah setelah diketahui bahwa identitas ayah Madalena dan
Satria tidak jelas, keterangan itu mulai bau amis. Cerdiknya, fakta itu baru
diungkap saat Satria dan Madalena sedang mesra-mesranya, menjelang akhir
cerita. Memang, senjata pamungkas selalu dikeluarkan terakhir.
Walaupun pembaca bisa menangkap kesan bahwa ujung-ujungnya
Satria dan Madalena bakal jadian, mereka tidak langsung jatuh cinta pada pertemuan
pertama di kantor pos. Keduanya mendapatkan kesan yang bagus belaka saat itu.
Terlebih lagi, saat itu Satria punya pacar. Namanya Avianti. Proses “penyingkiran”
Avianti bisa dibilang berliku-liku juga. Kocaknya, Madalena hanya berperan
menyenggol domino pertamanya: Dia hanya menjadi penonton balap motor trail yang
membuat Satria kurang fokus mengemudi sehingga celaka dan diliput media. Buntutnya
adalah ketidaksetujuan orang tua Avianti atas hubungan anaknya dengan Satria,
penguakan perselingkuhan Pak Marbangun dan Namo, bapak dan teman baik Avianti,
dan kematian Avianti. Saking berlikunya bagian “penyingkiran” ini dapat porsi
lumayan besar sampai-sampai terasa kesan Aviantilah tokoh utama.
Sebelum penutup, sedikit obrolan tentang hal remeh-temeh. Di
sela-sela laju cerita narator membuat candaan lewat komentar terhadap banyak
hal: kebiasaan orang Indonesia menganggukan kepala, ledekan terhadap orang yang
jatuh cinta, pasal hukum tentang pembunuhan dan zinah, sampai kecenderungan
anak muda suka dengan filsafat eksistensialis. Selain itu, latar tempat menarik
bagi saya secara pribadi. Rumah Satria di Gegerkalong. Rute dari rumahnya
menuju Unpad Dipatiukur, kampusnya, sempat dibahas. Penggambaran restoran di
jalan Siliwangi dan tukang bajigur di jalan Supratman bisa jadi informasi
wisata kuliner jaman baheula. Dago Tea House sebagai tempat mesum. dst. dst.
Dalam Kita Hanya Hidup Sekali, Remy Sylado bukan hanya
bermain-main dengan kebetulan-kebetulan antarperistiwa, melainkan juga dengan
hal-hal remeh-temeh yang dia komentari sepanjang cerita.