Kamis, 23 Februari 2017

Hikayat Putri Penelope - Idrus


Judul Buku
:
Hikayat Putri Penelope
Penulis
:
Idrus
Penerbit
:
Balai Pustaka
Tahun Terbit
:
2011 (terbit pertama kali tahun 1973)




Hikayat Putri Penelope berisi upaya pencarian jodoh bagi putri mahkota kerajaan Australia, kehebohan tentang suku Aborigin dan imigran di negeri itu, dan persaingan dua kubu dalam suatu pemilu.

Urusan jodoh Putri Penelope yang sudah berusia 21 tahun dan beberapa tahun lagi mewarisi tahta Raja Adrian II adalah sesuatu yang menjadi perhatian banyak kalangan. Masalahnya, dalam kedudukannya sebagai lambang suatu bangsa, penampilan fisiknya, suatu hal yang dianggap sebagai lambang identitas, berada di bawah standar orang kulit putih. Dia cantik tapi dia kontet. Koran-koran bahkan secara tidak langsung pesimis soal keberhasilan usaha pencarian jodohnya. Kedudukannya inilah yang justru menjadi penghambat pencarian jodohnya. Kalau saja dia orang kulit putih biasa, tidak terlalu sulit dia mendapatkan jodoh, sebagaimana yang dialami oleh gadis-gadis kulit putih yang mendapatkan jodoh dalam pertemuan-pertemuan Organisasi Gelap Pembela Mahasiswa Asia. Oleh karena itu, raja menitahi Sir Alexander dan Tuan Wheat untuk mencarikan jodoh baginya.

Kehebohan muncul setelah penerbitan beberapa tulisan yang berpandangan miring tentang imigran yang datang ke Australia. Katanya, kehadiran kaum imigran yang oportunis itu justru mengurangi kesempatan warga Australia untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Selain itu, karena perbedaan budaya, mereka sulit untuk berasimilasi dengan budaya Australia, suatu hal yang mengurangi rasa memiliki mereka atas Australia. Dalam pada itu, ada beberapa negara yang disebut secara tersurat. Budaya poligami negara Islam, seperti Turki dan Pakistan, dan budaya kebersihan mereka dianggap tidak sesuai dengan budaya Australia. Seorang jago tua partai oposisi yang berhaluan sosialis secara mengejutkan malah mendukung pandangan antimigran itu, walaupun dia membuat kekecualian bagi orang Cina. Di sisi lain, muncul pelbagai aksi massa yang dilakukan oleh orang Aborigin, bahkan  di beberapa tempat sempat terjadi bentrok fisik antara mereka dan polisi. Bersamaan dengan itu, terbit suatu penelitian yang menyatakan bahwa selama ini sejarah tentang Australia yang diajarkan seolah-olah menganggap bahwa sebelum orang-orang kulit putih datang tanah yang mereka tempati sekarang adalah suatu yang kosong, tanpa kehadiran orang Aborigin. Timbullah kesan bahwa orang kulit putih sok-sokan menganggap diri sebagai pribumi Australia yang merasa diancam imigran padahal mereka sendiri adalah imigran yang mendikreditkan orang Aborigin.

Ada dua partai yang perseteruannya berpuncak pada pemilu. Yang pertama adalah partai penguasa yang salah satu tokohnya adalah Sir Alexander, perdana menteri Australia. Sebagaimana penguasa menjadi lambang mayoritas warganya, pandangan partai ini sejalan dengan mayoritas warganya. Rasa superior kulit putih, misalnya, tampak dalam kecurigaan mereka tentang pemanfaatan aksi orang Aborigin oleh kalangan oposisi, dan harapan seorang perempuan agar anaknya dari pernikahannya dengan lelaki bernama Zaini kelak memiliki kulit yang tidak segelap bapaknya dan ikut menjadi Kristen. Yang kedua adalah partai oposisi yang berkecenderungan sosialis dan mendambakan suatu sistem republik. Tuan Wheat, seorang mantan perdana menteri yang sosialis moderat dan teman kuliah raja, adalah tokoh partai ini. Dalam pidato kampanye pemilu, dia mengeritik penilaian pemerintah tentang ketidakmampuan Papua New Guinea untuk mandiri secara pemerintahan, dan mendukung pemberian hak tanah pada orang Aborigin. 

Dalam mencarikan jodoh bagi Putri Penelope, Tuan Wheat dan Sir Alexander dipengaruhi oleh pandangan dunia yang diejawantahkan oleh partainya. Sir Alexander yang putus asa mencari calon menantu raja dari keturunan sah bangsawan Eropa, tetap berkeras mencari darah biru kulit putih di antara anak-anak haram mereka. Usaha ini disarukan dalam sebuah pencarian aktor di Paris oleh dua orang kaki tangannya, suatu usaha yang ditertawakan oleh faksi partai oposisi saat kebenarannya bocor. Tuan Wheat justru memperluas jangkauannya dengan mempertimbangkan bangsawan dari bangsa selain Eropa. Salah satunya adalah Raden Sukmoro, seorang bangsawan Jawa yang pernah ditaksir dan satu kampus dengan Putri Penelope. Tuan Wheat bahkan mengatur suatu wawancara palsu untuk mencari tahu pandangannya tentang Australia, setelah dia diberi tahu kawannya yang seorang Indonesianis bahwa bangsawan Indonesia setelah kemerdekaan tetap memiliki rasa kerakyatan yang tinggi, antikolonialisme, dan antifeodalisme. Tapi, keduanya gagal. Dalam keadaan putus asa itu, mata mereka terbuka pada pandangan lain yang berseberangan. Sir Alexander mendapatkan ilham itu saat menyadari diskriminasi rasial yang terjadi dalam seleksi peserta Mis Bikini, suatu acara yang diselenggarakannya. Tuan Wheat akhirnya merasa lebih senang jika dipimpin oleh raja dari keturunan bangsa sendiri (baca: kulit putih) daripada keturunan bangsa lain yang tidak diketahui sifatnya. Titik balik itu adalah suatu ejekan terhadap dua pandangan dunia tadi.

Rasisme, khususnya superioritas kulit putih, adalah suatu persoalan yang berulang muncul dalam buku ini. Pertama-tama, wujudnya adalah penampilan fisik, sebagaimana yang dialami oleh Putri Penelope, dan tampak pada cibiran beberapa orang kulit putih pada orang kulit kuning, sawo matang, dan hitam. Kemudian hal itu merembet pada urusan-urusan lain yang mengikutinya. Misalnya, kulit putih berasosiasi dengan Kristen, sehingga, sebagai konsekuensi superioritas kulit putih, beberapa tokoh menganggap Kristen lebih baik dari Islam. Lebih lanjut lagi, kulit putih berasosiasi dengan kolonialisme dan feodalisme. Dalam kasus Australia, superioritas kulit putih itu menjadi selubung mindernya. Sebagai bangsa yang punya pertalian darah dengan orang Eropa, mereka ingin diakui sebagai orang Eropa, sebagaimana Sir Alexander yang selalu merasa dirinya sebagai orang Inggris. Tapi, di sisi lain, mereka sadar bahwa mereka bukan orang Eropa. Hal ini, misalnya, tampak dalam pengiyaannya saat orang bilang bahwa apa-apa dari Jerman lebih baik daripada apa-apa dari Australia. 

Dengan sendirinya, usaha-usaha yang menentang rasisme itu diasosiasikan dengan sosialisme atau (secara tersirat) komunisme. Meskipun demikian, dua paham ini pun tidak luput dari ejekan, sebagaimana yang diejawantahkan oleh Tuan Wheat dan temannya yang jago tua partai oposisi. Tuan Wheat yang sosialis moderat berpandangan bahwa untuk mencapai tujuan dan ekonomi partainya dia harus bekerja sama dengan kapitalis karena merekalah yang mempunyai modal untuk mendanainya. Si jago tua partai oposisi justru menjadi rasis dengan cara mendukung kebijakan-kebijakan antimigran tapi memberi kekecualian pada Cina.

Putri Penelope menjadi korban silang sengkarut segala persoalan itu. Penampilan fisiknya yang tidak sesuai dengan standar orang kulit putih yang kolonialis menjerumuskannya dalam rasisme. Kedudukannya sebagai putri mahkota menjeratnya dalam aturan-aturan feodalisme, bahkan untuk urusan pribadi sekalipun. Untungnya, dengan nada optimis yang tidak sungguh-sungguh, dia berhasil membebaskan diri dari segala kerangkeng itu. Dia memutuskan untuk menikah dengan seorang pemuda biasa dan menyerahkan tampuk kekuasaan pada partai mana pun yang menang pemilu, dan dengan demikian atas rasa sayang orang tuanya membiarkan monarki itu berakhir.

Hikayat Putri Penelope adalah suatu sindiran tengil terselubung atas feodalisme, kolonialisme, sosialisme, dan rasisme di balik kisah ala dongeng putri malang mencari pangeran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar