Judul Buku
|
:
|
September
|
Penulis
|
:
|
Noorca M. Massardi
|
Penerbit
|
:
|
Tiga Serangkai
|
Tahun Terbit
|
:
|
(Pertama kali terbit tahun 2006. Yang saya baca adalah versi PDF
yang tidak mencantumkan keterangan tahun terbit dan penerbit)
|
September berisi petualangan ajaib seseorang yang sedang
dalam keadaan terpuruk ke kehidupan pribadi orang-orang media dan peristiwa
kudeta politik yang tidak mungkin tidak
berasosiasi dengan peristiwa politik di Indonesia walaupun latarnya diburamkan.
Peristiwa politik yang berasosiasi dengan buku ini adalah
Gestapu. Tapi, asosiasi itu sengaja diburamkan dengan beberapa cara. Nama kota
diganti dengan nama julukannya. Jakarta disebut Ibukota, Bandung disebut Kota
Bunga, Bogor disebut Kota Talas, dst.. Nama lembaga diplesetkan. Resimen
Cakrabirawa diganti menjadi Resimen Kresnobirowo, ABRI diganti menjadi Angkatan
Perang, PKI diganti menjadi Parki, dst.. Nama orang diplesetkan atau
dianagramkan. Soekarno jadi Soekresno, Soeharto jadi Theo Rosa, Ahmad Yani jadi
Mahya Nida, AH Nasution jadi Tasnio Hanu, DN Aidit jadi Ditia Nusadipa, dst..
Keterangan tentang Gestapu juga diplesetkan. Istilah itu mengacu pada Gerakan
September Tiga Puluh. Tapi, dalam buku ini peristiwa itu terjadi antara tanggal
10 dan 11 September sehingga namanya adalah Gestapul, Gerakan September
Sepuluh.
Dalam kaitannya dengan pemlesetan itu, muncul tokoh dan
lembaga yang berkaitan dengan demonstrasi ’66 dan ’98. Disebut Partai Republik
Demokratis yang mengingatkan kita dengan Partai Rakyat Demokratis. Ada Moreni,
seorang aktivis HAM, yang jika dianagramkan, menjadi Moenir. Selain itu, ada
Mubandi Soemodjakti alias Budiman Soedjatmiko. Dalam adegan demo itu ada
seorang mahasiswa Institut Pertanian Beragama (IPB) yang menulis puisi. Namanya
Fatiqu Salimi. Siapa lagi kalau bukan Taufiq Ismail. Tentu demo ’66 dan ’98
mengandung unsur historisnya masing-masing. Secara permukaan pun sasaran
demonya jelas bukan pihak yang sama. Tapi, pembaurannya ke dalam satu adegan
demo menguak suatu dimensi peristiwa semacam itu. Dalam kaitannya dengan protes
terhadap ketidakadilan, secara simbolis demo ’98 adalah semacam penerus demo
’66. Kalau melihat dampak adegan itu, demo ’98 seakan menuntaskan apa yang
belum tuntas oleh demo ’66.
Meskipun demikian, kalau dilihat dari sisi lain, tampak juga
sisi borok demo semacam itu. Misalnya, tengok saja bagaimana buku ini
berargumen bahwa Arief Rahman Hakim, yang dalam buku ini bernama Farie Harman
Hikam, sekadar simbol yang sengaja dibuat belaka. Bahwa sebenarnya orang yang
bernama Farie Harman Hikam itu tidak ada. Yang ada sebenarnya adalah mayat
berdarah seorang gelandangan bernama Farie yang kebetulan diselubungi jaket
almamater yang bertanda milik Hikam, dan dia bukan mati karena ditembak
Angkatan Darat. Di balik demo-demo semacam itu terdapat rekayasa-rekayasa
tertentu.
Anakronisme dalam buku ini bukan hanya pembauran dua demo
tadi. Kehadiran telepon, komputer, dan internet adalah anakronisme lainnya.
Tapi, kehadirannya bukan tanpa alasan, bahkan dalam kasus ini keberadaannya
menjadi sangat berarti. Bersama dengan penggunaan tokoh yang berprofesi sebagai
awak media sebagai tokoh utama, dan dengan demikian kerja-kerja media sebagai
upaya untuk membantu Presiden Soekresno menangkal propaganda-propaganda Theo
Rosa dan kroni-kroninya, media informasi menjadi kata kunci dalam pertarungan
tersebut. Peristiwa fisik, seperti peperangan atau pembantaian, disebabkan,
diakibatkan, disangkal, dibenarkan lewat media informasi. Barangsiapa yang
memegang kendali atas sarana informasi dialah yang menguasai pengetahuan dan,
pada gilirannya, kebenaran.
Sehubungan dengan Gestapu, lewat investigasi dan diskusi panjang
lebar tokoh-tokohnya dalam beberapa kesempatan buku ini membuat beberapa
argumentasi. Citra politis Indonesia di mata Amerika dan bloknya saat itu
dinilai condong ke kubu komunis. Hal ini ditunjukkan dengan sikap konfrontatif
Soekarno terhadap Malaysia, kedekatannya dengan PKI, bantuan senjata Cina pada
Angkatan Udara, dan pembicaraan tentang Angkatan Kelima antara Cina dan Indonesia,
beberapa hal yang dimunculkan dalam buku ini. Dalam pada itu, keadaan ABRI,
khususnya Angkatan Darat, sedang bergejolak. Posisi-posisi panglima sedang
menjadi kursi panas. Berlatarkan faktor pribadi dan profesional, Soeharto yang
saat itu menjabat sebagai Pangkostrad hendak menyingkirkan lawannya. CIA
menilai keadaan ini sebagai celah untuk sekali merengkuh dayung dua tiga pulau
terlampaui. Maka, lembaga itu menyokong rencana Soeharto dan bekerja sama
dengan beberapa politisi yang pro-Amerika. Ahmad Yani yang dianggap sebagai
kesayangan Soekarno menjadi salah satu orang yang disingkirkan. Angkatan Udara
dan PKI yang punya kedekatan dengan Soekarno pertama-tama dicitrakan buruk.
Mereka dicitrakan sebagai dalang kudeta G-30-S/PKI. Lokasi-lokasi yang berkaitan
dengan kegiatan mereka dikait-kaitkan dengan peristiwa itu. Lalu, di tengah
masa pembekuan media secara janggal koran PKI dibiarkan terbit dan bersikap
mendukung gerakan itu, suatu hal yang dianggap sebagai rekayasa kubu Soeharto
oleh buku ini. Dengan demikian, dibenarkanlah pembantaian terhadap orang-orang
yang dianggap berafiliasi dengan PKI, suatu hal yang diumpamakan sebagai sodomi
mendadak terhadap orang sipil oleh militer –sebagaimana beberapa adegan lain
dalam buku ini, adegan ini sangat impresif!
Berlainan dengan sumber ilhamnya di dunia nyata, dalam buku
ini kisah ini berakhir sangat bahagia banget. Theo Rosa yang mengundurkan diri
dari jabatannya setelah demo besar-besaran dan diadili itu, bunuh diri secara
langsung di hadapan kamera yang merekam pengumumannya. Soekresno tetap menjabat
sebagai Presiden dan menyukur-nyukuri Theo Rosa. Ada kesamaan motif antara
adegan-adegan yang kontras dengan sumber ilhamnya ini dan kehidupan Darius,
tokoh yang memandu pembaca menyaksikan seluruh peristiwa dalam buku ini: hasrat
untuk mengubah hidup. Awalnya, Darius terpuruk karena menjadi pengangguran
setelah pabrik kecap tempatnya bekerja dinyatakan pailit. Keterpurukan itu
secara ajaib membawanya masuk ke dalam dunia yang ajaib tadi lewat
rasuk-merasuki tokoh lain, dari awak media, selebritis, ajudan, sampai
presiden. Setelah menyaksikan akhir bahagia dalam dunia ajaib itu, mendadak dia
kembali ke dunianya. Saat kembali itulah dia mendapatkan rejeki nomplok yang
secara mengherankan berkaitan dengan dunia ajaib yang ditualanginya. Darius
menjadi perumpamaan kebanyakan orang Indonesia yang menerima hidupnya begitu
saja tanpa merenungkannya. Tanpa adanya perenungan tidak akan ada kesadaran
sejarah. Selain mengubah nasibnya sendiri, campur tangan Darius pada kejadian-kejadian
ajaib yang disaksikannya mengubah sejarah, mengubah nasib banyak orang. Dalam
konteks Gestapu, kalau saja Soeharto diadili, sebagaimana yang dibayangkan buku
ini, akan ada banyak orang yang nasibnya berubah sedrastis hidup Darius. Untuk
mencapai perubahan nasib, diperlukan campur tangan yang tidak sedikit.
September adalah suatu pengandaian tentang nasib yang jauh
lebih baik apabila hal-hal yang berkaitan dengan Gestapu diselesaikan, yang
didasarkan pada serangkaian analisis. Bersamaan dengan itu, penggaliannya
mengantarkan kita pada perenungan skeptis tentang media dan kebenaran.