Rabu, 13 Juli 2016

Senyum Karyamin - Ahmad Tohari


Judul Buku
:
Senyum Karyamin
Penulis
:
Ahmad Tohari
Penerbit
:
Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit
:
2013



Senyum Karyamin diwarnai ekspektasi-ekspektasi kalangan bawah,  sindiran terhadap kalangan tertentu, kebiasaan menggunjing, dan adegan-adegan kematian.

Kalangan bawah ini meliputi pengumpul batu, penyadap kayu, pawang kerbau, perantau Jakarta, penadah buntut tikus, dan seorang menantu. Seorang pengumpul batu berharap terbebas dari masalah keuangan. Penyadap kayu yang sedang bersembunyi dari polisi menduga temannya yang kelaparan akan patuh untuk tidak makan singkong beracun (‘Surabanglus’). Pawang kerbau ternama mengira dia berhasil menaklukan seekor kerbau (‘Tinggal Matanya Berkedip-Kedip’). Seorang perantau mengira Jakarta akan memberinya hidup yang lebih baik (‘Ah Jakarta’). Seorang lelaki yang dimandati lurahnya untuk jadi penadah buntut hama tikus mengira dirinya akan lebih dihargai karena jabatan barunya. Seorang menantu mengira mertuanya akan marah kalau diberi tahu anak mereka melahirkan sebelum waktunya (‘Si Minem Beranak Bayi’). Tapi, kenyataannya tidak sesuai dengan sangkaan. Orang-orang bawah lainnya dihadapkan pada kenyataan yang menyakitkan, kecuali si menantu. Konsekuensinya menyakitkan ini berupa kehilangan kepercayaan diri atau kematian. Ekspektasi orang-orang kalangan bawah ini dirubuhkan oleh kenyataan yang dihadapinya.

Orang-orang menggunjing di dalam kumpulan cerpen ini. Ada saja yang mereka gunjingkan: orang yang sedang sekarat, orang gila yang hamil entah karena siapa (‘Blokeng’), seorang haji yang tidak bersahabat, sampai sebuah pohon jengkol yang secara ajaib berbuah setelah lama tak berbuah. Gunjingan ini kadang berisi petunjuk tentang sifat tokoh penting dalam cerita, kadang juga tentang suatu hal yang menurut mereka sangat tidak biasa. Gunjingan ini menjadi sarana cerita penting karena mengandung petunjuk penting tentang pokok cerita.
Di sini banyak tokoh pada akhirnya mati. Kadang kematiannya sudah dipadahkan sebelumnya, seperti pengumpul kayu yang kurang makan sementara beban pikiran dan kerjaannya banyak (‘Senyum Karyamin’), pemanjat yang jatuh dari pohon kelapa (‘Jasa-Jasa Buat Sanwirya’), penyadap kayu yang keracunan singkong, atau haji yang kelewat tua. Kadang kematiannya adalah suatu kejutan dan tidak wajar, seperti orang yang mati ketawa saking sulitnya hidupnya, orang gila atau serombongan orang yang mati karena kecelakaan, perampok yang mati karena ditembak petrus, atau jawara adu ayam yang saat sekarat bertingkah seperti seekor ayam (‘Orang-Orang Seberang Kali’). Kadang kematiannya disyukuri oleh tokoh lain, seperti haji yang tak mau memasang listrik sehingga tetangganya tak bisa memasang listrik juga atau jawara adu ayam yang sekaratnya merepotkan. Kadang kematiannya disesali oleh tokoh lain, seperti pemanjat pohon kelapa yang diharapkan akan memberikan imbalan bagi penolong-penolongnya kalau berhasil diselamatkan, penyadap kayu yang diharapkan bisa menahan laparnya, atau orang gila yang hendak dihadiahi baju lebaran (‘Wangon Jatilawang’). Kadang juga pada saat kematian itu tidak ditunjukkan reaksi tokoh lain, bahkan dikesankan tidak penting, seperti pengumpul batu yang mati kaget karena ditagih untuk membayar iuran sumbangan untuk kemalangan di Afrika sedangkan dia sendiri serba kekurangan atau penumpang bis yang mati kecelakaan. Kematian mereka yang kadang wajar kadang tak wajar, kadang disesali kadang disyukuri, bahkan tak dipedulikan.

Banyak kalangan disindir oleh cerita-cerita pendek dalam buku ini. Tokoh-tokoh yang pada awalnya berbangga diri pada akhirnya merasa harga dirinya hancur karena kegagalannya atau tanggapan dingin tokoh lain, atau mati. Kebanggaan diri ini bisa berupa kebanggaan atas jabatan atau kebanggaan atas kesalehan (misalnya, ‘Kenthus’, ‘Rumah yang Terang’, ‘Pengemis dan Shalawat Badar’). Pejabat disindir lewat berbuahnya sebuah pohon jengkol yang diancam akan dipersembahkan pada priyayi korup zaman akhir karena sebelumnya tidak kunjung berbuah (‘Syukuran Sutabawor’). Orang yang merasa dirinya saleh atau punya jabatan penting adalah bahan sindiran pada beberapa cerpen.

Senyum Karyamin berisi kemuraman rubuhnya ekspektasi kalangan bawah, watadosnya sindiran terhadap orang-orang yang kelewat berbangga diri, dan sesal dan syukur atas kematian-kematian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar