Minggu, 14 Juni 2015

Terbangnya Punai - Marianne Katoppo


Judul Buku
:
Terbangnya Punai
Penulis
:
Marianne Katoppo
Penerbit
:
Pustaka Sinar Harapan
Tahun Terbit
:
1991 (terbit pertama: 1977)



Pemplotan kisah yang berlokasi dari ujung utara sampai ujung selatan Stockholm ini tidak dibikin mencapai puncak dramatik. Hubungan Pingkan Nayoan dan Martin Lorch, penyulut utama kedramatisan itu, diungkapkan secara gamblang hanya pada dua bab awal dan tiga bab terakhir. Pada bab-bab di antaranya hanya ditunjukkan bayang-bayangnya lewat interaksi Pingkan dengan tokoh-tokoh lain. Martin tidak hadir karena dia dirawat di rumah sakit gara-gara kecelakaan. Barulah setelah dia kembali, Pingkan menyelesaikan urusan mereka. Penyelubungan sementara hubungan Pingkan dan Martin membuat saya lengah, sehingga saat persoalan itu diangkat kembali ke permukaan, persoalan itu menghentak, apalagi ditambah dengan pengungkapan rahasia Martin.

Selama Martin tidak ada, Pingkan bertemu dengan banyak orang: Miguel, Christel, Agnieszka, Tante Irma, Ulrike, Amanda, Marianne, Dieter, Anderzej, Cecilia, Charlotte, Astrid, dst. Sayang sekali, banyaknya tokoh yang ditemui Pingkan membuat saya sulit mengingat nama mereka, sampai-sampai saya harus menyontek untuk menuliskan kembali nama mereka dalam tulisan ini, padahal dalam interaksi mereka terdapat pembahasan tentang banyak hal yang berkaitan dengan gagasan yang ingin disampaikan Marianne Katoppo pada pembaca. Jadilah nama-nama itu tidak lebih berkesan ketimbang bahasan dalam obrolan mereka.

Cita-cita dan kesuksesan adalah salah satu hal yang diulik cukup jauh dalam Terbangnya Punai. Pingkan tidak diterima oleh sebuah sekolah orthopist. Anderzej mendorongnya untuk mencoba lagi tahun depan. Pingkan bilang bekerja itu untuk bertahan hidup bagaimanapun membosankannya pekerjaan itu. Anderzej bilang buat apa bekerja kalau tak ada rasa cinta terhadap pekerjaan itu. Saat bicara tentang kesuksesan, Pingkan teringat pada teman-temannya yang mengaku-ngaku telah jadi “orang” pada orang tuanya, padahal sebenarnya tidak. Cita-cita dan kesuksesan dirangkum dengan gamblang pada adegan Pingkan memutuskan pulang ke Indonesia. Bukan gelar atau harta yang mematangkan manusia, melainkan pengalaman.

Pulang adalah topik yang berkali-kali muncul dalam Terbangnya Punai. Anderzej, orang Polandia yang tak bisa pulang ke kampung halaman, bilang pada Pingkan betapa menyenangkannya bisa pulang ke kampung halaman. Tante Irma, orang Yahudi, bercerita pada Pingkan tentang pengalamannya di Jerman selama masa pemerintahan Hitler. Lalu, secara tersirat topik ini terkandung dalam kisah Pus, kucing Pingkan, yang tersesat. Selain interaksi dengan mereka, Pingkan juga berkali-kali teringat muasal dia pergi ke Swedia. Surat dari keluarga di Indonesia pun datang mengingatkan agar dia pulang. Akhirnya, dia pulang.

Sebagai seorang perantau, Pingkan juga merasakan perbedaan budaya antara tanah air dan tanah rantau. Berbeda dengan topik lain, naratorlah penutur topik ini. Narator masuk ke dalam benak Pingkan. Ketepatan waktu membuat orang tergesa-gesa. Di sisi lain, orang jadi mesti disiplin. Di Swedia hubungan bebas antara laki-perempuan tidak dipermasalahkan. Kalau di Indonesia, ini bisa jadi gunjingan yang tak ada habisnya. Terakhir, lewat interaksinya dengan Ulrike sang gadis cilik dan ibunya, Charlotte, Pingkan merenung tentang kebijakan pemerintah tentang pengasuhan anak.

Dalam berbagai bentuk, kesetiaan jadi topik yang muncul paling banyak dalam Terbangnya Punai. Hubungan Miguel dan Christel, dan Cecilia dan Kristel menunjukkan ketidaksetiaan, sedangkan hubungan Amanda dan Bertil menunjukkan kesetiaan yang pahit. Pingkan sendiri menjadi pengejawantahan kesetiaan sekaligus ketidaksetiaan. Dia sangat setia pada Martin, bahkan berharap menikah dengannya walaupun Martin terus-menerus menunda. Ternyata Martin tidak setia. Pingkan akhirnya menyerah dan berselingkuh dengan Anderzej. Hal inilah yang akhirnya memantik Pingkan untuk pulang ke kampung halaman.

Saat awal membaca Terbangnya Punai, saya tidak merasa persoalan yang disebutkan di awal adalah bom waktu. Hidung saya justru malah teralihkan pada aroma penyelubungnya, mesiu berupa pembicaraan tentang cita-cita, kesuksesan, pulang , dan kesetiaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar