Judul Buku
|
:
|
Dua Sosok Mungil
|
Penulis
|
:
|
EMI Affandy
|
Penerbit
|
:
|
CV Rosda
|
Tahun Terbit
|
:
|
1985
|
Saat membaca bab- bab awal Dua Sosok Mungil, saya mendapatkan harapan bahwa
akan ada kisah tentang intrik organisasi mahasiswa atau perjalanan karir
mahasiswa film, karena ada bab yang berisi tentang masa pemilihan ketua
Keluarga Mahasiswa dan ada bab yang berisi diskusi tentang teknik pembuatan
film. Tapi, ternyata itu hanya kege-eran saya saja. Setelah bab pemilihan ketua
Keluarga Mahasiswa, tak ada lagi bab yang menyinggung-nyinggung itu. Setelah
bab diskusi film, memang ada bab yang berisi proses pembuatan film, tapi
sekadar sebagai penanda latar bahwa cerita terjadi antara orang-orang yang
berkaitan dengan film, mahasiswa film. Meskipun begitu, sebenarnya trik
pengalihan itu sudah secara gamblang diperlihatkan buku ini. Bab pertama berisi
adegan sepasang lelaki perempuan yang bercumbu di pantai, yang sebenarnya
adalah adegan film yang dibuat oleh salah seorang tokoh. Selain itu, di sampul
belakangnya pun persoalan besar dalam buku ini sudah diceritakan. Saya
mengabaikan peringatan itu. Sial!
Beginilah persoalan terbesar dalam Dua Sosok Mungil: Ada
seorang perempuan bernama Karmina Ardiwinata (biasa dipanggil Ina). Dia adalah
seorang keturunan ningrat di Bandung. Tapi, dia tidak suka dengan sifat kolot
keluarganya, sehingga dia ke Jakarta untuk sekolah di IKJ. Di sana dia tinggal
bersama saudara bapaknya yang sama kayanya. Tapi, dia menyembunyikan itu dari
teman-teman kampusnya, sehingga dia tampak seperti perempuan biasa saja. Tiap
hendak berangkat kampus dia mengganti baju kelas atasnya di salah satu
terminal. Kalau ditanya tentang tempat tinggalnya, dia menjawabnya dengan
candaan. Masalah yang menguak itu semua adalah kemunculan Mohamad Risani (biasa
dipanggil Ris) di kampus Ina. Dia adalah lelaki yang dulu dijodohkan dengan
Ina. Tapi dulu dia sama kolotnya dengan orang tua Ina, walaupun Ina punya rasa
padanya. Sialnya, sebagai pelampiasan dia malah berhubungan dengan perempuan yang
juga ningrat tapi seorang perempuan nakal. Sifatnya ditambah hubungan Ris
dengan perempuan nakal itu membuat Ina kabur darinya. Maka, kemunculan Ris
kembali menguak luka lama Ina.
Buku ini memberi harapan palsu. Itu hal pertama yang
menyebalkan. Hal kedua yang menyebalkan adalah penyelesaian masalah Ina dan
Ris. Tidak ada kesan kuat bahwa mereka berdebat sehingga mencapai pengertian.
Memang pada adegan di sebuah hotel mereka berdebat cukup panjang, tapi sudah
begitu saja. Selanjutnya, latar waktu dalam cerita lompat cukup jauh sampai
akhirnya Ina menyadari bahwa dalam produksi sebuah film yang dilibatinya Ris
juga terlibat. Setelah mereka ribut lagi di kantor Ris, masalah selesai.
Gampang sekali. Tapi, untuk itu, pembenarannya begini: Ina masih cinta pada Ris,
tapi dia juga kesal karena Ris selingkuh. Untuk sebuah kisah tentang pemberian
maaf, cerita ini terlalu berlarut-larut. Hal ketiga yang menyebalkan adalah
unsur-unsur yang awalnya tampak akan menjadi penting akhirnya dibiarkan jadi
sekadar sampingan dan tak digali. Misalnya, tokoh John Chaniago, Parsidi Rimba,
dan Choky, perasaan Jawalharal Ginting terhadap Ina, keluarga Pak Tua Gandhi,
dst. Untungnya, ada penghiburan sesekali dari ledek-ledekan sekilas antara
tokoh-tokohnya.
Konon, ada sebuah ungkapan bahwa daripada bicara kurang baik
lebih baik diam. Tapi, toh, dari hal yang kurang baik itu saya bisa belajar
juga tentang hal yang baik. Maka, saya mau bilang saya belajar tentang
pengaluran dan pacing dari Dua Sosok
Mungil. Hanya saja buku ini mengecewakan saya.