Judul Buku
|
:
|
CIS
|
Penulis
|
:
|
Vincent Mahieu
|
Penerjemah
|
:
|
H.B. Jassin
|
Penerbit
|
:
|
Djambatan
|
Tahun Terbit
|
:
|
1976 (terbit pertama kali tahun 1954)
|
“Si tukang keluyur,” begitulah julukan Vincent Mahieu alias
Tjalie Robinson alias Jan Boon yang disebutkan dalam Bianglala Sastra. Agaknya
sikap suka ngeluyur itu terejawantahkan dalam kumpulan cerpennya, Cis. Tidak
ada satu pokok yang mengikat empat belas cerita di dalamnya. Cerpen-cerpennya
berkeluyur dari satu pokok ke pokok lain. Paling-paling kesamaannya adalah
latarnya di Batavia. Meskipun demikian, setidaknya ada satu dua cerpen yang
memiliki kesamaan pokok.
Pokok yang banyak muncul adalah kisah yang dipandang oleh
seorang anak atau remaja. Kebanyakan dipandang secara nostalgi karena narator
yang sudah dewasa mengingat suatu hal dari masa kecilnya. Sosok yang berkesan
baginyalah yang biasa jadi fokus cerita. Misalnya, anak lincah dan penuh
vitalitas atau binatang-binatang yang sama sialnya dengan narator atau orang
lainnya. Ada kekaguman menyerempet naksir pada anak yang penuh vitalitas,
seperti tampak pada “Selamat Jalan Yosefine. Meskipun demikian, ada juga
semacam kritikan halus bahwa anak-anak macam itu kurang pertimbangan dan
perenungan sehingga tidak belajar dari kesalahan dan berakibat fatal, seperti
tampak pada “Tidak Perlu Buku Untuk Hidup”. Binatang digambarkan sebagai sosok
senasib sependeritaan. Dalam “Sahabat si Ulat”, naratornya melihat kesamaan
nasib antara dirinya dan seekor anjing: sama-sama keras. Sementara orang-orang
meremehkan mereka, ayam dan tikus jadi semacam karib pecundang dewasa di mata
anak kecil narator “Ayam, Anjing, dan Tikus”. Ada simpati terhadap binatang dan
anak-anak itu.
Kalau kisah tentang anak-anak dan binatang tadi lebih
realistis, nostalgis, dan getir, kisah tentang orang-orang dewasa yang
dipandang oleh orang ketiga di luar cerita terasa lebih karikatural dan penuh
sikap mengejek walaupun persoalannya tak kalah gawat. Masalah hubungan
suami-istri, persaingan antartetangga atau antarkolega, sampai peristiwa
memalukan disajikan penuh dengan humor. Dalam “Peristiwa Douwes”, pembunuhan
berdarah dingin seorang istri yang kelewat dominan oleh suaminya yang kurus
kecil, sebagaimana beberapa cerita brutal dalam buku ini, digambarkan dengan
lucu. Pembahasan tentang situasi rumah tangga mereka dimulai dengan pembahasan
anekdot-anekdot tentang istri yang dominan. Kemarahan atas perselingkuhan istri
digambarkan dengan kocak dalam “Berburu”. Ditambah lagi, tokoh suaminya memang
cukup eksentrik. Guru yang pernah ngebut naik motor ke Bogor dari Batavia hanya
mengenakan piyama dan selop itu siaga saja dengan senapannya menanti asisten
residen yang berselingkuh dengan istrinya. Persaingan sosial antara keluarga
referendaris dan keluarga komis 2 dibuncahkan oleh masalah sepele, pemotongan
pohon yang ada di antara “Pagar” rumah mereka. Hubungan musuh-sahabat sepasang
rekan kerja yang sifatnya bertolak belakang di “Quick en Co” berputar seperti
roda, dan tak terduga.
Secara pribadi, yang paling berkesan bagi saya adalah
“Vivere Pericolosamente”. Jadi, di sini saya bahas dalam paragraf tersendiri. Terjemahan
judulnya garang: hidup menyerempet bahaya. Barangkali Anda pernah mendengarnya
dari Soekarno. Tapi, di sini ungkapan garang itu dijadikan judul kisah konyol:
seorang lelaki Indo baik-baik tiga puluh tahunan –dengan kata lain, seorang
lelaki terhormat— yang suka berenang di kali Ciliwung yang kotor suatu ketika
kehilangan kolornya gara-gara hanyut saat berenang. Memang kemudian dia
mendapat pertolongan tetangganya. Tapi, tetangganya itu adalah janda genit yang
menggodanya, dalam arti yang seksual maupun tidak seksual. Bayangkan, Anda
bugil dalam keadaan sangat malu, lalu tahu-tahu orang yang dimintai tolong
malah menggoda Anda!
Tentu saja dalam kumpulan cerpen yang tidak mengusung satu
pokok utama terdapat cerita-cerita yang menyimpang sama sekali dari
kecenderungan cerita-cerita lain. Kebetulan cerita-cerita itu secara
berturut-turut ditempatkan di belakang. “Hrrr-hrrr-hrr” berisi kisah macho anak
motor. Terdapat solilokui tentang kecintaannya terhadap motor, adegan
kebut-kebutan, dan perkelahian di dalamnya. Kisah ini agaknya bisa mudah
memantik simpati pembaca masa kini yang suka motor dan otomotif. Sementara itu,
“Makan” adalah suatu kisah singkat tentang detik-detik terakhir seorang
gelandangan yang kelaparan. Adegannya intens.
Kalau melihat cara Vincent Mahieu memperlakukan dua pokok
tadi, beginilah kesan yang saya dapatkan: saat masih kecil, kita belum banyak
mengalami hal-hal besar sehingga wajar apabila kita memandangnya secara serius
dan emosional. Tapi, setelah kita dewasa, setelah kita mengalami banyak hal
(yang mungkin saja kebanyakan tidak menyenangkan), kita menjadi kebal terhadap
macam-macam kemalangan. Jadilah kita bisa menertawakannya.