Judul Buku
|
:
|
Perjalanan Penganten
|
Penulis
|
:
|
Ajip Rosidi
|
Penerbit
|
:
|
Pustaka Jaya
|
Tahun Terbit
|
:
|
1998 (terbit pertama kali tahun 1958)
|
Perjalanan Penganten adalah serangkaian kejadian sehari-hari
di Majalengka dan sekilas di Jakarta pada tahun ‘50an tentang upacara-upacara
tradisional, intrik politik, hasrat untuk hidup yang lebih tenang, dan
pengamatan atas paradigma warga setempat yang dituturkan oleh seorang penulis
muda yang namanya tidak disebutkan.
Upacara-upacara tradisional itu adalah pernikahan, tujuh
bulanan kehamilan, empat puluh harian (potong rambut anak dan penguburan tali
pusar), dan mudun lemah. Si Aku (penulis muda itu) banyak mengisyaratkan sikap
kurang sepakat dengan upacara-upacara tersebut. Pada saat pernikahan, misalnya,
dia menyayangkan telor-telor yang pecah karena mesti diinjak sebagai bagian
dari upacara pernikahan. Dia pun sebal saat harus mengulang keterangan-keterangan
yang sudah disebutkannya di kantor agama saat akad nikah karena kebiasaannya
begitu. Selama pernikahan itu pun dia tak henti-hentinya berusaha menahan tawa
karena riasan dirinya dan istrinya. Dia sebenarnya ingin dandan seperti
sehari-hari saja saat pernikahannya. Pada suatu rangkaian tujuh bulanan
kehamilan istrinya dia diharuskan untuk melemparkan sebuah buyung sebagai
lambang seberapa jauh anaknya kelak akan merantau. Karena dia melaksanakan itu
demi ibunya, dia hanya memecahkan buyung itu di perempatan dekat rumahnya.
Karena itu, dia dinasihati sanak saudaranya. Pada empat puluh harian anaknya
dia sebenarnya keberatan kalau rambut anaknya dicukur karena menurutnya
rambutnya bagus dan dia tak mau menjadi pengubur bali anaknya karena mesti
didandani seperti perempuan sebagai bagian dari kebiasaan. Sementara itu, saat
mudun lemah, upacara untuk menduga bidang si anak kelak dengan cara membiarkan
si anak memilih beberapa benda yang telah disediakan, dia diam memperhatikan.
Si Aku menjalani upacara-upacara itu karena kebiasaan dan rasa hormat pada
keluarga. Tidak tampak kesan bahwa dia menganggap upacara-upacara itu sebagai
sesuatu yang berarti.
Intrik politik dalam buku ini berkaitan dengan bapak si Aku.
Dia adalah seorang pensiunan guru yang menjabat sebagai salah satu pengurus
koperasi di daerah tersebut. Dia sempat menjadi juru kampanye salah satu partai
politik pada masa kampanye saat itu. Dia menduduki jabatan penting. Hal inilah
yang kemudian memunculkan banyak lawan politik. Pada masa-masa kepulangan si
Aku dia terlilit hutang pada koperasi dan dituduh korupsi. Pada si Aku dia
mengaku hutangnya berbon, dengan kata lain sah. Hutang itu digunakan untuk
membangun salah satu rumahnya. Tapi, kemudian mengobrol dengan seorang kenalan,
si Aku baru tahu bahwa bapaknya ditumbalkan oleh orang-orang tertentu yang
mengambil keuntungan saat bapaknya butuh uang untuk membangun rumah.
Keadaan-keadaan politis semacam ini adalah salah satu hal yang membuat si Aku
makin berhasrat untuk menetap kembali di Majalengka. Dia merasa bertanggung
jawab untuk mengatasi persoalan-persoalan yang ada di sana, walaupun pada
bab-bab yang kemudian tidak sedikit pun diceritakan keterlibatannya dalam
hal-hal seperti ini.
Hasrat si Aku untuk hidup yang lebih tenang muncul karena
membandingkan keadaannya di Jakarta dan keadaan di Majalengka. Meskipun punya
pekerjaan di Balai Pustaka, dia merasa Jakarta terlalu sumpek. Meskipun di
Majalengka banyak persoalan yang ingin dia selesaikan, dia membayangkan kalau
tinggal di sana dia akan punya waktu lebih banyak untuk menulis dan membaca,
dengan kata lain lebih produktif dalam hal-hal yang dia inginkan. Saat akhirnya
tinggal di kampung halamannya itu, memang dia mempunyai waktu banyak. Tapi,
lama-lama dia merasa waktunya terlalu senggang. Untuk menyelingi kegiatan
tulis-menulisnya dan urusan sehari-hari, dia sering bersepeda tanpa arah
keliling kota. Ditambah lagi, kemudian dia menyadari bahwa menjadi penulis yang
tinggal di Majalengka menyulitkannya untuk berhubungan dengan kalangan
penerbit, media massa, dan sebagainya, padahal mereka adalah sumber
penghasilannya. Pada akhirnya dia memutuskan untuk tinggal lagi di Jakarta. Dia
mendapatkan apa yang dinginkannya tapi kemudian tidak sanggup menanggung
konsekuensi keinginannya itu. Ironis.
Si Aku menilai paradigma warga Majalengka dalam beberapa
kejadian.
Salah satunya adalah paradigma tentang profesi penulis. Suatu
hari dia bertemu dengan seorang kenalan yang berprofesi sebagai guru. Awalnya
dia bersyukur karena akhirnya dapat berbicara dengan orang yang dikiranya bisa
memahami obrolannya. Lama-lama dia kecewa karena guru yang mengaku sering
menulis itu justru menganggap tulisan sebagai barang dagangan belaka. Inilah
yang membuatnya merasa bertanggung jawab untuk membenahi Majalengka. Tapi,
sebagaimana halnya dengan kasus intrik politik, pada bab-bab selanjutnya pun
tidak disebutkan keterlibatan si Aku di bidang pendidikan. Peristiwa lain yang
bersangkutan dengan paradigma warga setempat tentang profesi penulis adalah
saat si Aku, ibu, dan neneknya mengobrol tentang profesinya. Si Aku mencoba
menjelaskannya tapi ibunya yang sebenarnya dulu sangat suka membaca buku-buku
Balai Pustaka tidak bisa memahami pekerjaan sehari-hari seorang penulis, dari
mana honornya, dst., apalagi neneknya. Akhirnya dia tidak berusaha lagi
menjelaskan, hanya mengiyakan saja. Dia memaklumi paradigma umum tentang
penulis, tapi menentang paradigma sempit kalangan yang menurutnya seharusnya
tidak begitu.
Pada bagian kedua buku ini paradigma neneknya dijadikan
objek pengamatan si Aku. Neneknya begitu menghayati bulan Ramadan sampai-sampai
merasa sebal dengan perubahan kebiasaan berdulag anak-anak. Menurutnya,
sekarang (berdasarkan latar waktu buku ini) anak-anak hanya asal berdulag saja.
Penghayatan itu disandingkan dengan pengabaian neneknya atas ajaran Islam pada
waktu-waktu lain, seperti tidak salat, dst.. Memang, sebagaimana pengakuannya,
keluarga si Aku adalah kalangan abangan. Pada kesempatan lain neneknya sakit.
Tapi, dia tidak mau diajak berobat ke dokter. Diberi obat pun tidak dimakannya.
Dia baru mau diobati oleh dukun. Saat menceritakan neneknya, si Aku hanya
bersikap sebagai pengamat. Dia tidak memberi penilaian, apalagi menghakimi.
Rasanya neneknya lebih didudukkan sebagai contoh kasus paradigma orang-orang
tua yang tinggal di suatu daerah pinggiran.
Perjalanan Penganten adalah penilaian orang yang telah
terbiasa tinggal di kota atas apa-apa yang ada di kampung halamannya, suatu
daerah pinggiran. Ada nada mencibir dan rasa lebih maju dalam penilaian itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar