Kamis, 24 November 2016

Perjalanan Penganten - Ajip Rosidi


Judul Buku
:
Perjalanan Penganten
Penulis
:
Ajip Rosidi
Penerbit
:
Pustaka Jaya
Tahun Terbit
:
1998 (terbit pertama kali tahun 1958)



Perjalanan Penganten adalah serangkaian kejadian sehari-hari di Majalengka dan sekilas di Jakarta pada tahun ‘50an tentang upacara-upacara tradisional, intrik politik, hasrat untuk hidup yang lebih tenang, dan pengamatan atas paradigma warga setempat yang dituturkan oleh seorang penulis muda yang namanya tidak disebutkan.

Upacara-upacara tradisional itu adalah pernikahan, tujuh bulanan kehamilan, empat puluh harian (potong rambut anak dan penguburan tali pusar), dan mudun lemah. Si Aku (penulis muda itu) banyak mengisyaratkan sikap kurang sepakat dengan upacara-upacara tersebut. Pada saat pernikahan, misalnya, dia menyayangkan telor-telor yang pecah karena mesti diinjak sebagai bagian dari upacara pernikahan. Dia pun sebal saat harus mengulang keterangan-keterangan yang sudah disebutkannya di kantor agama saat akad nikah karena kebiasaannya begitu. Selama pernikahan itu pun dia tak henti-hentinya berusaha menahan tawa karena riasan dirinya dan istrinya. Dia sebenarnya ingin dandan seperti sehari-hari saja saat pernikahannya. Pada suatu rangkaian tujuh bulanan kehamilan istrinya dia diharuskan untuk melemparkan sebuah buyung sebagai lambang seberapa jauh anaknya kelak akan merantau. Karena dia melaksanakan itu demi ibunya, dia hanya memecahkan buyung itu di perempatan dekat rumahnya. Karena itu, dia dinasihati sanak saudaranya. Pada empat puluh harian anaknya dia sebenarnya keberatan kalau rambut anaknya dicukur karena menurutnya rambutnya bagus dan dia tak mau menjadi pengubur bali anaknya karena mesti didandani seperti perempuan sebagai bagian dari kebiasaan. Sementara itu, saat mudun lemah, upacara untuk menduga bidang si anak kelak dengan cara membiarkan si anak memilih beberapa benda yang telah disediakan, dia diam memperhatikan. Si Aku menjalani upacara-upacara itu karena kebiasaan dan rasa hormat pada keluarga. Tidak tampak kesan bahwa dia menganggap upacara-upacara itu sebagai sesuatu yang berarti.

Intrik politik dalam buku ini berkaitan dengan bapak si Aku. Dia adalah seorang pensiunan guru yang menjabat sebagai salah satu pengurus koperasi di daerah tersebut. Dia sempat menjadi juru kampanye salah satu partai politik pada masa kampanye saat itu. Dia menduduki jabatan penting. Hal inilah yang kemudian memunculkan banyak lawan politik. Pada masa-masa kepulangan si Aku dia terlilit hutang pada koperasi dan dituduh korupsi. Pada si Aku dia mengaku hutangnya berbon, dengan kata lain sah. Hutang itu digunakan untuk membangun salah satu rumahnya. Tapi, kemudian mengobrol dengan seorang kenalan, si Aku baru tahu bahwa bapaknya ditumbalkan oleh orang-orang tertentu yang mengambil keuntungan saat bapaknya butuh uang untuk membangun rumah. Keadaan-keadaan politis semacam ini adalah salah satu hal yang membuat si Aku makin berhasrat untuk menetap kembali di Majalengka. Dia merasa bertanggung jawab untuk mengatasi persoalan-persoalan yang ada di sana, walaupun pada bab-bab yang kemudian tidak sedikit pun diceritakan keterlibatannya dalam hal-hal seperti ini.

Hasrat si Aku untuk hidup yang lebih tenang muncul karena membandingkan keadaannya di Jakarta dan keadaan di Majalengka. Meskipun punya pekerjaan di Balai Pustaka, dia merasa Jakarta terlalu sumpek. Meskipun di Majalengka banyak persoalan yang ingin dia selesaikan, dia membayangkan kalau tinggal di sana dia akan punya waktu lebih banyak untuk menulis dan membaca, dengan kata lain lebih produktif dalam hal-hal yang dia inginkan. Saat akhirnya tinggal di kampung halamannya itu, memang dia mempunyai waktu banyak. Tapi, lama-lama dia merasa waktunya terlalu senggang. Untuk menyelingi kegiatan tulis-menulisnya dan urusan sehari-hari, dia sering bersepeda tanpa arah keliling kota. Ditambah lagi, kemudian dia menyadari bahwa menjadi penulis yang tinggal di Majalengka menyulitkannya untuk berhubungan dengan kalangan penerbit, media massa, dan sebagainya, padahal mereka adalah sumber penghasilannya. Pada akhirnya dia memutuskan untuk tinggal lagi di Jakarta. Dia mendapatkan apa yang dinginkannya tapi kemudian tidak sanggup menanggung konsekuensi keinginannya itu. Ironis.

Si Aku menilai paradigma warga Majalengka dalam beberapa kejadian.

Salah satunya adalah paradigma tentang profesi penulis. Suatu hari dia bertemu dengan seorang kenalan yang berprofesi sebagai guru. Awalnya dia bersyukur karena akhirnya dapat berbicara dengan orang yang dikiranya bisa memahami obrolannya. Lama-lama dia kecewa karena guru yang mengaku sering menulis itu justru menganggap tulisan sebagai barang dagangan belaka. Inilah yang membuatnya merasa bertanggung jawab untuk membenahi Majalengka. Tapi, sebagaimana halnya dengan kasus intrik politik, pada bab-bab selanjutnya pun tidak disebutkan keterlibatan si Aku di bidang pendidikan. Peristiwa lain yang bersangkutan dengan paradigma warga setempat tentang profesi penulis adalah saat si Aku, ibu, dan neneknya mengobrol tentang profesinya. Si Aku mencoba menjelaskannya tapi ibunya yang sebenarnya dulu sangat suka membaca buku-buku Balai Pustaka tidak bisa memahami pekerjaan sehari-hari seorang penulis, dari mana honornya, dst., apalagi neneknya. Akhirnya dia tidak berusaha lagi menjelaskan, hanya mengiyakan saja. Dia memaklumi paradigma umum tentang penulis, tapi menentang paradigma sempit kalangan yang menurutnya seharusnya tidak begitu.

Pada bagian kedua buku ini paradigma neneknya dijadikan objek pengamatan si Aku. Neneknya begitu menghayati bulan Ramadan sampai-sampai merasa sebal dengan perubahan kebiasaan berdulag anak-anak. Menurutnya, sekarang (berdasarkan latar waktu buku ini) anak-anak hanya asal berdulag saja. Penghayatan itu disandingkan dengan pengabaian neneknya atas ajaran Islam pada waktu-waktu lain, seperti tidak salat, dst.. Memang, sebagaimana pengakuannya, keluarga si Aku adalah kalangan abangan. Pada kesempatan lain neneknya sakit. Tapi, dia tidak mau diajak berobat ke dokter. Diberi obat pun tidak dimakannya. Dia baru mau diobati oleh dukun. Saat menceritakan neneknya, si Aku hanya bersikap sebagai pengamat. Dia tidak memberi penilaian, apalagi menghakimi. Rasanya neneknya lebih didudukkan sebagai contoh kasus paradigma orang-orang tua yang tinggal di suatu daerah pinggiran.

Perjalanan Penganten adalah penilaian orang yang telah terbiasa tinggal di kota atas apa-apa yang ada di kampung halamannya, suatu daerah pinggiran. Ada nada mencibir dan rasa lebih maju dalam penilaian itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar