Rabu, 28 September 2016

Pada Suatu Hari - Alinafiah Lubis


Judul Buku
:
Pada Suatu Hari
Penulis
:
Alinafiah Lubis
Penerbit
:
Khazanah Bahari
Tahun Terbit
:
2010



Pada Suatu Hari berisi perkembangan taraf hidup tiga pemuda penduduk Bandung yang berbeda latar belakang sosial dan ekonomi.

Tiga pemuda itu adalah Lugud, Wawan, dan Sanusi. Wawan adalah seorang mahasiswa kedokteran Unpad. Dia tinggal di Cikaso dengan ibunya yang pedagang gorengan. Sanusi adalah seorang mahasiswa akuntansi Unpad. Dia tinggal di Sukajadi bersama adik dan dua orang tuanya. Bapaknya adalah pegawai Kotapraja Bandung.  Sanusi dan Wawan lebih sering menginap di kontrakan Lugud di Kebon Bibit, dekat Balubur. Lugud sendiri adalah seorang pendatang dari Medan. Pada bab-bab awal dia menjadi yatim-piatu setelah ibunya meninggal di Medan. Mereka bersahabat sejak SMA.

Di antara ketiganya Lugudlah yang paling disorot sepanjang cerita. Mula-mula masalah pekerjaannyalah yang disorot. Dua sahabatnya kuliah sedangkan Lugud menganggur. Pak Wardja, bapak Sanusi, menawarkan pekerjaan di Kotapraja tapi ditolak. Lugud sempat berniat melamar kerja di Bapindo tapi batal. Akhirnya, dia menjadi wartawan. Setelah lumayan lama, dia berhenti, lalu menjadi pegawai perusahaan swasta, bahkan diangkat menjadi kepala bidang informasinya. Sementara itu, pekerjaan Wawan dan Sanusi kemudian hanya dibahas sekilas. Wawan dinas dokter tentara di Bogor. Sanusi kerja sebagai akuntan PELNI. Perkembangan pekerjaan itu berimbas juga pada taraf ekonomi Lugud. Pada awalnya dia hanya mengontrak di Kebon Bibit. Setelah cukup punya uang, dia pindah ke Antapani. Dia pun membeli mobil Land Rover. Percintaan Lugud pun dibicarakan cukup panjang dan dengan rasa yang bercampur antara lucu dan melodramatis, khususnya di bab-bab akhir, saat Lugud merasa mabuk kepayang karena Naida, adik Sanusi.

Bukan hanya porsi pembahasan tentangnya saja yang banyak, melainkan peran Lugud pun besar bagi tokoh-tokoh lain. Dia memberi gagasan penting bagi perkembangan usaha dagang gorengan Wawan dan ibunya. Pada keluarga Sanusi lebih banyak lagi jasa Lugud. Saat Pak Wardja sakit, Wawan banyak membantu secara keuangan dan tenaga. Lugud juga menyelamatkan Naida dari seorang kenalannya di perusahaan apoteknya yang hendak menjahanaminya. Lugud berjasa banyak bagi tokoh-tokoh lain sehingga dia disenangi.

Meskipun pada akhirnya muncul kesan bahwa buku ini berfokus pada pengaruh Lugud bagi tokoh-tokoh lain, cara penyampaian buku ini tidak memunculkan kesan adanya suatu masalah yang disasar. Alurnya dibuat hanyut begitu saja dari hari ke hari yang dialami tokoh-tokohnya, bahkan pada persoalan yang lazim diklimakskan, seperti hubungan cinta Lugud dan Naida. Pembaca seperti dibiarkan terus membaca sambil berharap akan muncul suatu peristiwa dramatis. Kecuali menjelang akhir cerita, buku ini lebih sering berisi rangkaian peristiwa keseharian saja: orang bertamu ke rumah temannya dan membicarkan topik-topik sambil lalu atau seseorang meminta temannya ditemani ke suatu tempat. Alur buku ini datar.

Kelemahan komposisional lain buku ini adalah ketidaklogisan tindakan tokohnya. Paling kentara hal ini tampak pada masalah percintaan Lugud dan Naida. Pada awalnya Naidalah yang duluan jatuh cinta pada Lugud. Tapi Lugud menolak secara tidak langsung karena menganggap Naida sebagai adiknya sendiri. Pada masa-masa ini Naida merasa penolakannya berhubungan juga dengan kehadiran Mingly, kenalan Lugud dari Jakarta, padahal saat bertemu Mingly, Naida juga bertemu dengan tunangan Mingly. Lalu, jauh kemudian keadaan berbalik. Lugud jatuh cinta pada Naida karena intensitas pertemuan mereka. Naida menolaknya. Tapi, dalam penolakannya itu, peristiwa sebelumnya itu seakan tidak pernah terjadi. Disebut-sebut kembali tidak. Diisyaratkan pun tidak. Justru, menurut keluarganya, penolakan itu disebabkan oleh sifat keras hati dan kemandirian Naida.

Terlepas dari kelemahan komposisional semacam itu, buku ini memberikan gambaran geografis yang menarik tentang Bandung dan secuplik gaung peristiwa historis. Lewat rumah-rumah tokoh-tokohnya, pembaca dibawa berkeliling Bandung. Tentu yang paling sering dibahas adalah daerah rumah tokoh-tokohnya. Selain itu, banyak juga mereka mendatangi tempat wisata. Dari Situ Aksan, Kolam Renang Cihampelas, Ciater, Alun-Alun Bandung, sampai tempat-tempat hiburan di Cicadas tahun 60-70an. Pada awal-awal buku sempat muncul isyarat tentang peristiwa G30S dan kabar tentang devaluasi rupiah.

Sebagaimana judulnya, buku ini berisi kisah Pada Suatu Hari hidup seseorang yang berjasa banyak bagi orang-orang di sekitarnya, yang sayangnya dihinggapi kelemahan-kelemahan komposisional, padahal jarambah Bandung tahun 60-70an yang terjadi di sela-selanya sangat menjanjikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar