Judul Buku
|
:
|
Sedjarah Sastera Indonesia Modern Djilid 1
|
Penulis
|
:
|
Bakri Siregar
|
Penerbit
|
:
|
Akademi Sastera dan Bahasa Multatuli
|
Tahun Terbit
|
:
|
1964
|
Pendahuluan
Sedjarah Sastera Indonesia Modern Djilid 1 berisi patokan tentang mana saja yang golongkan ke dalam sastra Indonesia dan tolok ukur tentang sastra yang baik. Berdasarkan dua hal tersebut, Bakri mengevaluasi dua kalangan yang terdapat dalam salah satu periode sastra Indonesia: Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Tentu saja dalam evaluasi tersebut terdapat pembahasan latar sosialnya.
Patokan Sastra Indonesia
Menurut Bakri, karena bahasa adalah alat sastra, bahasa adalah patokan penggolongan sastra. Karena Bahasa Indonesia, sebagai alat sastra Indonesia, dipengaruhi oleh Bahasa Melayu, Bakri menyatakan bahwa sastra dalam bahasa-bahasa berikut adalah bagian dari sejarah sastra Indonesia: Bahasa Melayu-Lingua Franca (Melayu Tionghoa) yang pada saat penerbitan buku itu belum banyak dibahas; Bahasa Melayu di Indonesia dan Melaka sampai akhir abad 19 –Bahasa Melayu di Melaka sejak abad 20 tidak dianggap sebagai alat sastra Indonesia; Bahasa Melayu Indonesia yang kemudian tampak dalam pembahasan bahasa Pujangga Baru; dan Bahasa Daerah.
Dengan menyatakan bahasa-bahasa tersebut sebagai bagian dari
sejarah sastra Indonesia, Bakri menyangkal pendapat bahwa sastra daerah dan
sastra Melayu tidak termasuk dalam sastra Indonesia.
Sastra Melayu di Melaka sejak abad 20 tidak dianggap sebagai
sastra Indonesia karena dianggap sebagai sastra Melayu modern. Hal ini adalah
konsekuensi tolok ukur lain yang digunakan Bakri dalam penggolongan sastra
Indonesia modern: semangat kebangsaan. Pada bab “Mula Sastera Indonesia Modern”
Bakri menyatakan bahwa semangat kebangsaan adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi kelahiran sastra Indonesia Modern. Semangat kebangsaan itu tampak
dalam organisasi pergerakan nasional, seperti Budi Utomo, Indische Partij,
Taman Siswa, dan PKI (yang dirunut sejarahnya sampai ke ISDV dan Serikat Dagang
Islam). Lalu, semangat kebangsaan itu disebarkan oleh pers gerakan nasional. Di
situ dimuat juga karya sastra yang memiliki semangat kebangsaan. Lebih jauh
lagi, semangat kebangsaan itu ditarik sampai pada sikap kritik sosial atas
kekuasaan kolonial dan feodal yang dicontohkan dengan tokoh Multatuli dan
Kartini.
Kapankah Sastra Indonesia Modern Dimulai?
Dalam pembahasan tentang permulaan sastra Indonesia modern, Bakri memaparkan beberapa pandangan umum tentang permulaan Sastra Indonesia modern. Ada yang menyatakan bahwa sastra Indonesia modern dimulai sejak Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, Balai Pustaka, Pujangga Baru, atau tahun 1945. Bakri menyangkal semua pandangan tersebut.
Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dianggap sebagai pemula zaman
baru dalam sastra Melayu, zaman sastra borjuis, bukan lagi zaman sastra istana.
Kecenderungan politis inilah yang menjadi dasar penentangan Bakri atas
kepeloporan Abdullah. Dia dianggap sebagai sosok rendah diri yang mengkritik
kalangan feodal, menjelekan bangsa sendiri, tapi mengagungkan kalangan kolonial
Inggris.
Pada subbab “Bila Dimula Sastera Indonesia Modern” keberatan
Bakri terhadap kepeloporan Balai Pustaka hanya sebatas tidak adil kalau
menganggap pada masa itu hanya ada karya Balai Pustaka, walaupun dia mengakui bahwa
Balai Pustaka banyak menerbitkan sastra pada masa itu. Keberatannya lebih rinci
tersirat dalam pembahasan di bab “Sastera Balai Pustaka”. Di situ Bakri
menyatakan bahwa Balai Pustaka adalah juru bicara politik kolonial. Itulah yang
menjadi dasar keberatannya.
Pujangga Baru dianggap sebagai pelopor sastra Indonesia
modern karena memiliki semangat kebangsaan. Tahun 1945 dianggap sebagai titik
nol sastra Indonesia berdasarkan pendapat bahwa sastra baru muncul setelah
negara berdiri. Bakri menganggap sastra Indonesia sudah dimulai sejak sebelum
1945 sebagaimana tampak dalam pengakuannya atas, misalnya, bahasa Melayu
Tionghoa dst. sebagai bagian dari sejarah sastra Indonesia. Semangat kebangsaan
yang dianggap dimulai oleh Pujangga Baru disangkal Bakri dengan, salah satunya,
pembahasan tentang Sumpah Pemuda.
Lebih jauh, menurut Bakri, sastra Indonesia modern yang
memiliki semangat kebangsaan antikolonialisme dan antifeodalisme itu dimulai
oleh Mas Marco Kartodikromo. Dialah pemula sastra Indonesia modern.
Periodisasi Sastra Indonesia Modern
Menurut Bakri, sejak awal abad 20 sampai tahun 1964, terdapat empat periode dalam sastra Indonesia modern. Periode pertama adalah dari awal abad 20 sampai 1942. Periode ini dimulai sejak keaktifan Mas Marco Kartodikromo. Periode ini diakhiri dengan runtuhnya kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Periode kedua adalah dari 1942 sampai 1945. Periode ini mencakup zaman penjajahan Jepang di Indonesia. Periode ketiga adalah 1945 sampai 1950. Periode ini adalah masa revolusi bergejolak sampai surutnya. Periode keempat adalah dari 1950 sampai ‘sekarang’ (baca: 1964). Walaupun disebutkan bahwa akhir periode ketiga dan awal periode keempat adalah 1950, Bakri menyatakan bahwa waktu tepat surutnya revolusi ditandai oleh Konferensi Meja Bundar yang dianggap menempatkan Indonesia sebagai negara setengah terjajah. Selain itu, pada periode keempat deklarasi Manifesto Politik juga dianggap sebagai faktor berpengaruh.
Dari keempat periode tersebut, dalam subbab “Periodisasi
Sastra Indonesia Modern”, periode pertama dan keempatlah yang rinci dibahas.
Pada pembahasa periode pertama disebutkan bahwa Balai Pustaka dan Pujangga Baru
adalah penghasil sastra yang paling banyak. Tapi, walaupun ada pertentangan di
antaranya, keduanya dianggap sama saja karena sikapnya yang tunduk terhadap
pemerintah kolonial. Kubu ini dipertentangkan dengan kubu Mas Marco yang
cenderung antikolonial dan antifeodal. Selain kubu-kubu itu, terdapat
pembahasan singkat tentang Roman Medan yang dianggap lebih menyatukan diri dengan
pergerakan politik daripada Balai Pustaka dan Pujangga Baru.
Pada pembahasan periode keempat dibahas pertentangan antara
kubu LEKRA yang berpegang pada Manifesto Politik dan garis seni untuk rakyat
(LKN, LESBUMI, LESBI, dan OKRA) dan kubu Manifes Kebudayaan yang menjunjung
humanisme universal. Pada subbab “Pengaruh dalam Sastera Indonesia Modern”
dibahas singkat sejarah masuknya humanisme universal ke Indonesia. Paham itu
bersama dengan eksistensialisme masuk melalui STICUSA sejak periode ketiga. LEKRA
sendiri mendapatkan pengaruh dari realisme sosialis Maxim Gorky dan Lu Hsun.
Fokus pembahasan buku ini adalah periode pertama. Fokusnya
adalah Balai Pustaka, Pujangga Baru, dan di sana-sini dibahas Mas Marco
Kartodikromo.
Tolok Ukur Sastra yang Baik
Seiring dengan faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi kelahiran sastra Indonesia modern, Bakri menyatakan bahwa sastra Indonesia adalah cermin kehidupan dan perjuangan masyarakat Indonesia. Dalam pembahasannya, tampak bahwa Bakri menekankan pada aspek perjuangannya. Perjuangan melawan siapa? Melawan kolonialisme, feodalisme, dan kapitalisme. Karya atau penulis yang menggambarkan perjuangan itulah yang dianggap bagus. Konsekuensi tolok ukur ini tampak paling jelas dalam pengkultusan Mas Marco Kartodikromo sebagai pelopor sastra Indonesia modern.
Lebih lanjut tolok ukur ini digunakan untuk mengevaluasi
karya-karya Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Bakri memuji karya-karya yang
memiliki pandangan politis yang cenderung menyerang kolonialisme, feodalisme,
atau kapitalisme. Sebaliknya, Bakri menjelekkan karya-karya yang patuh pada
kolonialisme, feodalisme, atau kapitalisme. Meskipun demikian, dalam penilaiannya,
tidak selalu karya yang dipujinya sepenuhnya baik.
Misalnya, Sitti Nurbaya Marah Rusli dianggap jelek karena
memiliki gambaran simpatis atas tokoh yang pro pemerintah kolonial (Sjamsul
Bahri), sedangkan tokoh yang anti pemerintah kolonial dan dianggap
mengejawantah nilai-nilai yang serupa dengan kalangan pergerakan nasional saat
itu (Datuk Meringgih) digambarkan buruk. Di sisi lain, Sitti Nurbaya dianggap
baik karena berisi penyerangan terhadap feodalisme walaupun di sana-sini masih
ada pembelaan sebagai konsekuensi latar belakang feodal penulisnya. Salah
Asuhan Abdul Muis dianggap baik karena berani menyerang mentalitas kolonial
pribumi dan satu-satunya karya Balai Pustaka yang mengandung semangat
nasionalisme. Meskipun demikian, Bakri menyesalkan sikap kompromistis karya itu
terhadap kolonialisme yang cenderung membela politik etis. Tapi Bakri
memakluminya dengan membahas sensor PID atas Salah Asuhan dan membahas
nasionalisme Abdul Muis yang masih nasionalisme agama, hal yang dimanfaatkan
pemerintah kolonial.
Belenggu Armijn Pane dianggap bagus karena menyerang
kalangan borjuis, tapi disayangkan karena tokoh politik dalam buku itu
digambarkan sebagai sosok yang lemah. Manusia Baru Sanusi Pane dianggap baik
karena berisi pembahasan tentang hubungan majikan dan buruh, walaupun
penyelesaiannya yang tentram dianggap Bakri lemah karena terkesan promajikan.
Bebasari Rustam Effendi dianggap baik karena mengandung semangat perjuangan,
berbeda dari kebanyakan drama Pujangga Baru berlatar masa lalu yang tentram.
Layar Terkembang Sutan Takdir Alisjahbana dianggap buruk karena
pandangan-pandangan di dalamnya cenderung mengukuhkan politik etis dan
menjelek-jelekkan bangsa sendiri, walaupun Bakri memuji kerumitan komposisinya.
Balai Pustaka: Latar Belakang & Hasil-Hasilnya
Balai Pustaka didirikan sebagai tanggapan atas meningkatnya jumlah pribumi terpelajar akibat banyaknya sekolah pribumi yang didirikan dalam rangka politik etis. Tujuan lembaga ini adalah memupuk sikap pegawaiisme dalam diri pembaca yang kebanyakan adalah pribumi terpelajar yang bekerja sebagai amtenar, dan mengimbangi terbitan-terbitan antipemerintah dan nasionalistis dari kalangan penerbit swasta. Salah satu jalan yang ditempuh Balai Pustaka untuk mewujudkan tujuan itu adalah mempekerjakan guru yang tidak punya kesadaran politik. Meskipun demikian, di antaranya ada orang-orang yang punya kesadaran politik. Inilah yang mempengaruhi penyimpangan karya mereka dari konvensi Balai Pustaka.
Tema kawin paksa adalah puncak gunung es dalam karya-karya Balai
Pustaka. Di dalamnya terdapat pertentangan Barat-Timur, dan persoalan agama,
adat tradisional, dan feodalisme. Yang bertikai dalam hal kawin paksa itu
adalah angkatan muda dan angkatan tua. Angkatan muda diposisikan sebagai tokoh
utama karena sasaran pembacanya adalah pemuda-pemuda terpelajar.
Penyimpangan dari cara pandang tipikal penulis-penulis Balai
Pustaka dilakukan oleh orang-orang yang latar belakangnya berkaitan dengan
pergerakan, misalnya Abdul Muis yang terlibat di Sarekat Islam dan HAMKA yang menjadi
tokoh Islam di Sumatera Timur dan pemimpin majalah Pandji Masjarakat. Dalam
karyanya terdapat kecenderungan antikolonial walau sangat samar.
Pujangga Baru: Latar Belakang & Hasil-Hasilnya
Pujangga Baru didirikan dalam keadaan gerakan-gerakan radikal antipemerintah kolonial dibreidel. Misalnya, PKI dan PNI dilarang. Meskipun demikian, beberapa organisasi masih tetap ada, seperti Indonesia Muda, Partindo, Pendidikan Nasional Indonesia, dan Persatuan Bangsa Indonesia. Organisasi semacam itu digerakan oleh kalangan borjuasi, kalangan terpelajar yang mendapatkan pendidikan ala Belanda. Di kalangan terpelajar tetap terdapat semangat kebangsaan. Dalam organisasi-organisasi gerakan pemuda semangat kebangsaan ini muncul juga dalam bentuk seruan-seruan untuk mempelajari sejarah dan kebudayaan bangsa sendiri.
Dalam Pujangga Baru semangat kebangsaan itu tampak
beriringan dengan munculnya semangat budaya baru. Pada awalnya budaya baru itu
hanya muncul dalam hal bentuk pengucapan sastra. Lama-lama tidak hanya bentuk
pengucapan sastra, tetapi juga bahasa sampai budaya secara umum. Puncak dari
semangat budaya baru ini adalah Polemik Kebudayaan yang melibatkan juga tokoh-tokoh
politik. Di sisi lain, seruan mempelajari sejarah dan kebudayaan sendiri
berpengaruh pada munculnya drama-drama berlatarkan masa lalu.
Latar belakang borjuasi dan keadaan pemerintah kolonial yang
membungkam sikap radikal menyebabkan pandangan yang tidak tajam atas pemerintah
kolonial walaupun memiliki kesadaran politik, seperti tampak dalam Belenggu
Armijn Pane, Layar Terkembang Sutan Takdir Alisjahbana, dan Manusia Baru Sanusi
Pane. Meskipun demikian, menurut Bakri, Bebasari Rustam Effendi dan puisi-puisi
Asmara Hadi memiliki semangat antikolonial.
Balai Pustaka & Pujangga Baru: Sama Berjasa Sama Bersalah
Dalam hal haluan politik, Bakri menyerang kecenderungan dominan karya-karya Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Karya-karya Balai Pustaka bersikap mendukung pemerintah kolonial. Khususnya dalam Sitti Nurbaya dan Salah Pilih, tokoh-tokoh yang antipemerintah kolonial digambarkan secara tidak simpatik. Selain itu, pekerjaan tokoh dalam karya-karya Balai Pustaka menjunjung amtenarisme dan priyayiisme. Bakri menyatakan bahwa karya-karya Balai Pustaka adalah juru bicara politik kolonial. Sementara itu, Pujangga Baru yang memisahkan diri dari perjuangan politik membuat karya-karyanya tidak memberikan perspektif yang jelas bagi perjuangan. Tokoh politik dalam Belenggu yang lemah dan sikap-sikap reformistis lunak yang berparadigma politik etis dan cenderung borjuis dalam Layar Terkembang adalah contoh pengejawantahannya.
Meskipun demikian, sebagaimana tampak dalam pujian Bakri
atas beberapa karya, di antara karya-karya tipikal itu terdapat karya-karya
yang menyimpang dan mengandung unsur-unsur antikolonialisme, antifeodalisme,
dan antikapitalisme.
Dalam hal politik bahasa, Bakri menyerang kebakuan bahasa
Balai Pustaka dan cenderung memuji pendobrakan bahasa Pujangga Baru. Pada
awalnya pemerintah kolonial ingin menyebarkan bahasa Belanda di kalangan
pribumi agar pikirannya sesuai dengan kepentingan pemerintah kolonial dan
barang dan pikiran Belanda laku. Tapi, karena bahasa Melayu Lingua Franca sudah
telanjur tersebar, melalui Balai Pustaka pemerintah kolonial menyebarkan bahasa
Melayu baku, Melayu Sumatera. Hal ini dilakukan untuk mengukuhkan kesenjangan
bahasa daerah dan bahasa pemersatu. Sebaliknya, Pujangga Baru menjunjung Bahasa
Melayu pemersatu yang tidak memberikan keistimewaan pada suatu suku bangsa
tertentu. Bakri menjelaskannya lebih rinci dalam pembahasan tentang bahasa
penyair-penyair Pujangga Baru. Sikap berbahasa Pujangga Baru ini ditentang oleh
kalangan yang menginginkan kemurnian Bahasa Melayu, dalam arti Bahasa Melayu
Sumatera, padahal penentangan ini adalah yang diinginkan pemerintah kolonial.
Pembahasan Berdasarkan Genre
Pada bab Sastera Balai Pustaka dan Sastera Pudjangga Baru terdapat subbab-subbab tersendiri yang dijuduli berdasarkan genre sastra. Bab Sastera Balai Pustaka dan Sastera Pudjangga Baru sama-sama memiliki subbab roman, cerita pendek, dan drama. Pembicaraan tentang kecenderungan-kecenderungan Balai Pustaka dan Pujangga Baru terutama tampak dalam pembahasan romannya. Singkat saja pembicaraan tentang cerita pendek dalam Pujangga Baru, khususnya cerita pendek Armijn Pane dalam kaitannya dengan penulisan Belenggu, sedangkan dalam Balai Pustaka Bakri sampai menjelaskan soal cerita pendek yang berupa cerita pelepas lelah sejenak setelah kerja dan cerita untuk melarikan diri dari derita. Dalam pembahasan drama, pada bab Sastera Balai Pustaka hanya dua drama yang dibahas secara singkat, yakni karya Saadah Alim dan Adlin Afandi. Selebihnya, yang dibahas adalah rombongan drama Miss Riboet Orion dan Dardanella Opera dan kaitan antara rombongan drama itu dengan pengawasan PID. Sementara itu, dalam drama Pujangga Baru yang dibahas adalah kecenderungan romantik dan idealis yang terwujud dalam drama-drama berlatar masa lalu. Hal ini berkaitan dengan anjuran untuk mempelajari sejarah dan kebudayaan bangsa sendiri. Bakri menilai kecenderungan ini sebagai sikap melarikan diri dari realitas kehidupan masa penjajahan. Pada akhir bagian ini terdapat dua drama berlatarkan waktu aktual masa itu, Lukisan Masa Armijn Pane dan Manusia Baru Sanusi Pane.
Pada bab Sastera Pudjangga Baru terdapat dua genre lagi yang
dijadikan subbab, yakni puisi dan esai. Pada bagian pendahuluan subbab puisi
terdapat pembahasan tentang kesadaran kebangsaan dalam puisi-puisi Pujangga
Baru. Meskipun demikian, dalam pembahasan per penulis, terdapat bahasan tentang
bahasanya dan filsafat-filsafat di dalamnya. Pada subbab esai terdapat
pembahasan singkat-singkat tentang topik-topiknya, mulai dari bahasa, sastra,
musik, kedudukan kaum intelektual, sampai pada Polemik Kebudayaan.
Meskipun banyak subbab ini tidak rinci, setidaknya isinya
memberikan petunjuk untuk penelitian selanjutnya.
Penutup
Meskipun secara umum Balai Pustaka dan Pujangga Baru dianggap buruk oleh Bakri, di sela-selanya terdapat karya-karya yang menyimpang dari konvensi masing-masing kalangan. Karya-karya menyimpang inilah yang dianggap baik oleh Bakri.